Mohon tunggu...
Kais Wheels
Kais Wheels Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa IAIN Syekh Nur Jati Cirebon

hobi menulis, karya ilmiah ataupun karya fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan Standar Kecantikan di Media Sosial, Inklusivitas atau Komodifikasi Baru?

7 Desember 2024   09:31 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:33 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrak: Media sosial telah menjadi medium yang kuat dalam membentuk persepsi tentang kecantikan. Kampanye keberagaman seperti "body positivity" dan "skin positivity" telah menciptakan perubahan positif dalam narasi standar kecantikan tradisional, merangkul berbagai bentuk tubuh, warna kulit, dan karakteristik fisik lainnya. Namun, transformasi ini tidak terlepas dari kritik. Banyak pihak menilai bahwa inklusivitas sering kali dikomodifikasi untuk tujuan pemasaran melalui strategi seperti woke-washing. Fenomena ini memunculkan pertanyaan apakah perubahan tersebut benar-benar memberdayakan atau sekadar memanfaatkan tren sosial demi keuntungan komersial. Selain itu, perempuan tetap menjadi objek pemasaran utama, memperlihatkan bahwa objekifikasi gender masih menjadi masalah laten. Artikel ini mengulas dinamika tersebut, menyoroti pentingnya mendukung upaya yang tulus dalam mempromosikan inklusivitas, sekaligus menjaga ruang digital tetap kritis dan sehat untuk semua gender.

Abstract: Social media has become a powerful medium in shaping perceptions of beauty. Diversity campaigns such as “body positivity” and “skin positivity” have created a positive shift in the narrative of traditional beauty standards, embracing different body shapes, skin colors, and other physical characteristics. However, this transformation has not been without its critics. Many argue that inclusivity is often commodified for marketing purposes through strategies such as woke-washing. This phenomenon raises questions about whether such changes are truly empowering or merely exploiting social trends for commercial gain. Furthermore, women remain the primary objects of marketing, showing that gender objectification is still a latent problem. This article examines these dynamics, highlighting the importance of supporting genuine efforts to promote inclusivity, while keeping the digital space critical and healthy for all genders.

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, media sosial telah menjadi kekuatan budaya yang signifikan, mengubah cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, dan membangun identitas. Salah satu dampak paling nyata dari media sosial adalah perannya dalam membentuk persepsi tentang standar kecantikan. Di era sebelum digital, standar kecantikan biasanya dikendalikan oleh media tradisional seperti televisi, majalah, dan film yang menyajikan gambaran kecantikan yang seragam—kulit putih, tubuh ramping, rambut lurus, dan fitur wajah tertentu. Standar ini sering kali tidak merepresentasikan keragaman manusia yang sebenarnya dan meninggalkan banyak individu merasa terpinggirkan.

Namun, dengan munculnya media sosial, gambaran kecantikan ini mulai berubah. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube memungkinkan individu untuk menjadi produsen konten sekaligus konsumen. Akibatnya, muncul representasi yang lebih luas dari kecantikan, termasuk tubuh berukuran besar, kulit berwarna gelap, rambut keriting alami, hingga fitur wajah yang tidak sesuai dengan norma tradisional. Inisiatif seperti gerakan "body positivity," "skin neutrality," dan "self-love" telah menciptakan ruang di mana keragaman dirayakan dan standar kecantikan tradisional mulai dipertanyakan.

Perubahan ini sering kali dipandang sebagai kemenangan atas sistem yang eksklusif dan menindas. Narasi inklusivitas yang dibawa oleh gerakan ini diharapkan dapat mempromosikan penerimaan diri, mengurangi tekanan sosial untuk tampil sempurna, dan membangun masyarakat yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Banyak merek kecantikan pun mulai mengadopsi tren ini, dengan meluncurkan kampanye yang menampilkan model dari berbagai latar belakang dan menawarkan produk yang mengakomodasi berbagai kebutuhan unik konsumen.

Namun, di balik euforia ini, muncul pertanyaan mendalam tentang autentisitas perubahan tersebut. Apakah pergeseran ini benar-benar mencerminkan kesadaran sosial yang lebih luas, atau hanya menjadi strategi baru untuk mendulang keuntungan? Komersialisasi kecantikan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari industri ini, di mana inklusivitas sering kali digunakan sebagai alat pemasaran. Alih-alih membebaskan masyarakat dari tekanan untuk memenuhi standar kecantikan, inklusivitas justru menciptakan "standar baru" yang tetap membebani individu untuk membeli produk, mengikuti tren, dan menyesuaikan diri dengan definisi kecantikan yang selalu berubah.

Selain itu, media sosial yang seharusnya menjadi ruang inklusif juga sering kali menjadi ladang subur bagi kritik dan komentar negatif. Individu yang tidak memenuhi standar kecantikan—baik yang lama maupun yang baru—masih menjadi sasaran perundungan atau body shaming. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun narasi inklusivitas mulai diterima, masyarakat secara keseluruhan belum sepenuhnya bebas dari pola pikir diskriminatif.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji perubahan standar kecantikan di media sosial melalui dua sudut pandang utama, yaitu inklusivitas dan komodifikasi. Dengan pendekatan analitis dan kritis, pembahasan pertama akan mengeksplorasi sejauh mana narasi inklusivitas menciptakan ruang yang benar-benar inklusif bagi semua individu, termasuk dampaknya pada persepsi diri dan kesehatan mental pengguna. Pembahasan kedua akan menyoroti bagaimana media sosial dan industri kecantikan memanfaatkan inklusivitas sebagai alat pemasaran, yang pada akhirnya tetap melanggengkan siklus komersialisasi kecantikan.

Dengan melihat fenomena ini secara holistik, artikel ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perubahan standar kecantikan di media sosial tetapi juga memantik diskusi tentang langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk memastikan bahwa perubahan ini benar-benar inklusif dan berdampak positif bagi masyarakat. Apakah inklusivitas di media sosial mampu menjadi alat transformasi sosial yang autentik, atau justru menjadi wajah baru dari hegemoni standar kecantikan yang sama? Pertanyaan ini menjadi inti dari pembahasan yang akan diuraikan lebih lanjut.

Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana perubahan ini benar-benar memberdayakan perempuan, dan apakah gerakan keberagaman ini mampu melampaui kendala komersialisasi? Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi aspek-aspek tersebut dengan pendekatan analitis dan kritis.

1. Evolusi Standar Kecantikan di Media Sosial

Kecantikan Tradisional vs. Digital

Kecantikan adalah konsep yang terus berubah seiring waktu, dipengaruhi oleh budaya, teknologi, dan media. Dalam konteks tradisional, kecantikan sering kali diasosiasikan dengan standar yang homogen. Kulit cerah, tubuh langsing, rambut lurus, dan wajah simetris adalah gambaran ideal yang dipromosikan oleh media seperti televisi, majalah, dan film. Standar ini bersifat eksklusif, mengutamakan tampilan tertentu dan sering mengabaikan keberagaman. Dalam banyak budaya, kecantikan tradisional juga dipengaruhi oleh norma sosial, seperti kesopanan, pakaian tertentu, atau gaya hidup yang mencerminkan status sosial.

Di sisi lain, era digital membawa definisi kecantikan ke tingkat yang lebih luas. Media sosial telah menciptakan ruang di mana individu dari berbagai latar belakang dapat mendefinisikan ulang kecantikan menurut pandangan mereka sendiri. Gambar tubuh yang lebih beragam, warna kulit yang lebih gelap, dan ekspresi yang lebih unik kini mendapatkan panggung yang sama besar dengan citra tradisional. Tren kecantikan seperti "body positivity" atau "skin neutrality" merevolusi cara orang memandang diri mereka sendiri, mendorong penerimaan diri yang lebih inklusif.

Namun, era digital juga memiliki sisi gelap. Meskipun lebih beragam, standar kecantikan digital sering kali didominasi oleh filter, aplikasi pengeditan, dan algoritma yang memperkuat tren tertentu. Hal ini menciptakan tekanan baru bagi individu untuk tampil sempurna di dunia maya. Kecantikan digital juga berpotensi menjadi alat komodifikasi, di mana merek-merek memanfaatkan tren inklusivitas untuk kepentingan komersial.

Baik kecantikan tradisional maupun digital memiliki karakteristik unik yang mencerminkan zamannya. Keduanya menunjukkan bagaimana persepsi tentang kecantikan tidak hanya soal fisik, tetapi juga tentang nilai-nilai budaya, teknologi, dan ekonomi yang membentuk masyarakat.

Dominasi Visual dan Pengaruh Algoritma

Di era digital, visual menjadi alat komunikasi utama yang mendominasi hampir setiap aspek kehidupan, terutama di media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Pinterest menempatkan konten visual sebagai inti pengalaman pengguna. Gambar, video, dan estetika yang menarik secara visual sering kali menjadi penentu popularitas suatu postingan. Dalam konteks ini, dominasi visual tidak hanya sekadar soal estetika, tetapi juga memiliki pengaruh mendalam terhadap cara individu memandang diri sendiri dan orang lain.

Algoritma media sosial berperan besar dalam memperkuat dominasi ini. Algoritma dirancang untuk menampilkan konten yang memiliki potensi besar untuk menarik perhatian dan meningkatkan interaksi, seperti menyukai, berkomentar, atau berbagi. Akibatnya, konten yang sesuai dengan standar kecantikan populer atau estetika tertentu lebih cenderung muncul di beranda pengguna. Standar tersebut sering kali mencerminkan citra "sempurna" yang tidak realistis, seperti kulit yang mulus, tubuh ideal, dan gaya hidup mewah.

Efeknya, algoritma secara tidak langsung menciptakan tekanan sosial yang baru. Individu yang merasa dirinya tidak sesuai dengan standar yang ditampilkan mungkin mengalami penurunan kepercayaan diri atau bahkan terlibat dalam perilaku yang berlebihan, seperti penggunaan filter yang intens, edit foto, atau konsumsi produk kecantikan tertentu. Lebih jauh, konten yang viral sering kali menjadi patokan "normal" baru, yang kemudian diikuti oleh lebih banyak pengguna untuk memperoleh validasi sosial.

Dengan dominasi visual dan pengaruh algoritma, media sosial menjadi arena di mana kecantikan bukan hanya soal ekspresi diri, tetapi juga kompetisi untuk perhatian. Hasilnya adalah siklus tak berujung yang memperkuat standar tertentu, menciptakan tantangan baru bagi pengguna untuk menavigasi konsep kecantikan yang lebih sehat dan inklusif.

2. Kampanye Inklusivitas: Pemberdayaan atau Komodifikasi?

Narasi Pemberdayaan

Kampanye inklusivitas di media sosial sering dikemas sebagai upaya untuk memberdayakan individu dan komunitas yang sebelumnya terpinggirkan oleh standar kecantikan tradisional. Narasi pemberdayaan ini bertujuan untuk meruntuhkan stereotip lama yang homogen, menggantinya dengan representasi yang mencerminkan keragaman fisik, budaya, dan identitas manusia.

Melalui gerakan seperti body positivity, skin neutrality, dan self-love, kampanye inklusivitas berusaha menyampaikan pesan bahwa semua orang berhak merasa cantik tanpa memandang ukuran tubuh, warna kulit, jenis rambut, atau usia. Narasi ini mendorong individu untuk menerima dan mencintai diri mereka apa adanya, sekaligus menormalisasi perbedaan yang sebelumnya dianggap "tidak ideal."

Salah satu elemen penting dari narasi pemberdayaan adalah keterlibatan langsung komunitas. Influencer dan figur publik yang mewakili berbagai latar belakang sering kali menjadi wajah dari kampanye ini, memberikan inspirasi kepada pengikutnya untuk merangkul keunikan mereka. Konten-konten ini menekankan bahwa kecantikan tidak terbatas pada penampilan fisik, tetapi juga melibatkan rasa percaya diri, kesehatan mental, dan kebahagiaan.

Lebih jauh, narasi pemberdayaan ini menciptakan ruang untuk diskusi yang lebih luas tentang isu-isu sosial, seperti diskriminasi berbasis ras, ukuran tubuh, atau disabilitas. Dengan menggunakan platform digital sebagai media untuk menyuarakan inklusivitas, kampanye ini memberikan panggung kepada individu yang sebelumnya tidak terdengar, memungkinkan mereka untuk mendefinisikan ulang kecantikan berdasarkan pengalaman mereka sendiri.

Narasi pemberdayaan melalui inklusivitas tidak hanya memberikan dampak positif pada individu, tetapi juga berpotensi mengubah cara masyarakat memandang kecantikan secara kolektif. Dengan memperluas definisi kecantikan, kampanye ini berkontribusi pada terciptanya lingkungan sosial yang lebih menerima, ramah, dan menghargai perbedaan. Namun, tantangan tetap ada ketika narasi ini bersinggungan dengan elemen komersial, yang kadang mengaburkan niat autentik dari pemberdayaan itu sendiri.

Komodifikasi Keberagaman

Di balik narasi pemberdayaan yang diusung oleh kampanye inklusivitas, ada dimensi komersial yang tidak bisa diabaikan, yaitu komodifikasi keberagaman. Dalam konteks ini, keberagaman yang seharusnya menjadi refleksi otentik dari nilai-nilai sosial dan penerimaan diri, sering kali dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran untuk mendulang keuntungan finansial.

Komodifikasi keberagaman terjadi ketika representasi inklusif—seperti model dengan berbagai warna kulit, ukuran tubuh, atau kondisi fisik tertentu—diintegrasikan ke dalam kampanye iklan, tetapi lebih untuk menciptakan citra positif bagi merek daripada mengadvokasi perubahan sosial yang nyata. Perusahaan dan merek kecantikan menggunakan narasi inklusivitas untuk menarik pasar yang lebih luas, terutama generasi muda yang lebih sadar akan isu-isu sosial. Kampanye seperti ini sering kali digerakkan oleh kebutuhan komersial untuk meningkatkan penjualan, bukan oleh komitmen tulus terhadap nilai-nilai inklusivitas.

Contoh yang sering ditemui adalah peluncuran produk dengan label "untuk semua jenis kulit" atau "body positive," yang pada kenyataannya masih membatasi kelompok tertentu, baik dari segi harga, akses, maupun distribusi. Sementara merek-merek ini mempromosikan pesan inklusif, mereka sering gagal menangani akar masalah, seperti diskriminasi sistemik atau stereotip budaya yang masih tertanam kuat.

Selain itu, komodifikasi keberagaman juga terlihat dalam penggunaan influencer yang mewakili keragaman, tetapi dipilih berdasarkan daya tarik komersial mereka, bukan karena perjuangan autentik mereka dalam mempromosikan inklusivitas. Hal ini menciptakan paradoks di mana keberagaman dijadikan alat untuk mempercantik citra merek, tetapi tidak benar-benar mengubah standar kecantikan yang eksklusif.

Fenomena ini menimbulkan kritik bahwa inklusivitas telah berubah menjadi tren pasar yang dangkal. Alih-alih memerdekakan individu dari tekanan kecantikan, komodifikasi keberagaman justru memperkenalkan "standar baru" yang tetap didorong oleh konsumsi dan citra sempurna. Hasilnya, keberagaman yang seharusnya menjadi bentuk pemberdayaan justru terjebak dalam siklus komersialisasi yang sama dengan standar kecantikan tradisional.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya kolektif untuk memastikan bahwa keberagaman tidak hanya menjadi alat pemasaran, tetapi juga membawa perubahan struktural yang mendalam. Hal ini mencakup keterlibatan komunitas dalam setiap tahap kampanye, transparansi dalam praktik bisnis, serta komitmen jangka panjang untuk mempromosikan keadilan dan inklusivitas sejati.

Studi Kasus: Kampanye Dove Real Beauty

Kampanye Dove Real Beauty adalah salah satu contoh paling terkenal dari upaya merek untuk mempromosikan inklusivitas dan keragaman dalam definisi kecantikan. Diluncurkan pada tahun 2004, kampanye ini bertujuan untuk menantang standar kecantikan tradisional yang sempit dan merayakan keunikan setiap individu. Dengan menggunakan model dari berbagai latar belakang, usia, ukuran tubuh, dan warna kulit, Dove mencoba menyampaikan pesan bahwa kecantikan sejati bukan hanya soal penampilan fisik, tetapi juga soal kepercayaan diri dan penerimaan diri.

Dove memposisikan kampanye ini sebagai langkah untuk memberdayakan perempuan di seluruh dunia. Melalui iklan, video dokumenter, dan konten digital, kampanye ini menghadirkan kisah nyata tentang bagaimana standar kecantikan yang sempit dapat merusak harga diri perempuan. Salah satu video terkenal dalam kampanye ini, Dove Evolution, menunjukkan bagaimana pengeditan foto ekstrem dalam industri kecantikan menciptakan citra yang tidak realistis dan merusak persepsi publik tentang kecantikan.

Dove juga meluncurkan inisiatif seperti Dove Self-Esteem Project untuk mendukung pendidikan dan diskusi tentang penerimaan diri di kalangan anak-anak dan remaja. Program ini dirancang untuk mengurangi tekanan sosial terhadap kecantikan, membantu generasi muda mengembangkan rasa percaya diri yang sehat.

Meski diterima secara luas sebagai kampanye progresif, Dove Real Beauty juga menghadapi kritik terkait potensi komodifikasi keberagaman. Banyak yang berpendapat bahwa pesan pemberdayaan yang diusung kampanye ini pada akhirnya tetap merupakan strategi pemasaran. Dengan mempromosikan citra merek yang "peduli" dan "inklusi," Dove berhasil memperluas pangsa pasar mereka dan meningkatkan loyalitas pelanggan.

Kritik lainnya adalah bahwa kampanye ini terkadang masih melanggengkan standar tertentu yang sulit dicapai. Misalnya, meskipun kampanye menampilkan keragaman tubuh, mayoritas model yang digunakan tetap dianggap "menarik" dalam arti konvensional, seperti kulit mulus atau fitur wajah simetris. Hal ini memunculkan pertanyaan: seberapa besar komitmen Dove terhadap perubahan sosial sejati, dibandingkan dengan tujuan komersial untuk meningkatkan penjualan produk perawatan kulit mereka?

Meskipun ada kritik, tidak dapat disangkal bahwa Dove Real Beauty telah menciptakan percakapan global tentang standar kecantikan dan dampaknya terhadap harga diri. Kampanye ini menjadi pelopor dalam mengintegrasikan inklusivitas ke dalam strategi pemasaran, membuka jalan bagi merek lain untuk mengadopsi pendekatan serupa.

Namun, keberhasilan sejati kampanye seperti ini harus diukur lebih dari sekadar peningkatan laba atau popularitas merek. Hal ini mencakup evaluasi dampak jangka panjang pada cara masyarakat mendefinisikan kecantikan, apakah benar-benar membawa perubahan mendalam atau hanya berfungsi sebagai alat pemasaran yang membingkai keberagaman sebagai komoditas.

Dove Real Beauty menunjukkan kompleksitas antara pemberdayaan dan komodifikasi. Di satu sisi, kampanye ini memicu diskusi penting tentang inklusivitas dan standar kecantikan. Di sisi lain, ia juga memperlihatkan bagaimana keberagaman dapat dimanfaatkan sebagai strategi bisnis, yang memunculkan tantangan untuk memastikan bahwa pesan inklusivitas tidak hanya menjadi bagian dari tren pasar tetapi juga gerakan sosial yang autentik dan berkelanjutan.

3. Media Sosial dan Objekifikasi Gender

Perempuan sebagai Objek Visual

Di era media sosial, perempuan sering kali ditempatkan sebagai objek visual, di mana nilai mereka dikaitkan dengan penampilan fisik. Fenomena ini tidak hanya melanjutkan pola objektifikasi yang telah lama ada di media tradisional, tetapi juga memperkuatnya melalui dinamika platform digital yang berpusat pada visual, seperti Instagram, TikTok, dan Pinterest.

Objektifikasi perempuan sebagai visual sering kali tercermin dalam cara mereka digambarkan di media sosial. Konten-konten yang menunjukkan tubuh perempuan dengan fokus pada bagian-bagian tertentu—seperti wajah, kaki, atau pinggang—menghilangkan aspek kepribadian dan identitas mereka. Dalam banyak kasus, tubuh perempuan digunakan sebagai daya tarik untuk mendapatkan lebih banyak likes, shares, atau perhatian, baik oleh individu itu sendiri maupun oleh pihak lain yang mengeksploitasi citra mereka.

Hal ini diperburuk oleh algoritma media sosial, yang cenderung mempromosikan konten visual yang menarik perhatian. Foto dengan penampilan fisik yang menarik atau memenuhi standar kecantikan populer sering kali mendapatkan lebih banyak eksposur, memperkuat norma bahwa nilai seorang perempuan bergantung pada daya tarik visualnya.

Objektifikasi ini juga terkait erat dengan penciptaan standar kecantikan yang tidak realistis. Penggunaan filter, pengeditan foto, dan aplikasi kecantikan di media sosial memungkinkan individu untuk menciptakan citra "sempurna" yang sulit dicapai secara alami. Perempuan yang merasa harus memenuhi standar ini sering kali menghadapi tekanan besar untuk mengedit atau memodifikasi penampilan mereka demi mendapatkan validasi sosial.

Efek ini tidak hanya memengaruhi perempuan yang aktif di media sosial tetapi juga masyarakat secara umum, termasuk anak-anak dan remaja yang sedang membangun identitas mereka. Mereka belajar sejak dini bahwa daya tarik fisik adalah faktor utama dalam menentukan nilai sosial seseorang.

Tubuh perempuan juga sering kali dijadikan alat untuk tujuan komersial di media sosial. Merek-merek kecantikan, pakaian, dan produk lainnya memanfaatkan estetika tertentu untuk memasarkan produk mereka. Bahkan dalam kampanye yang tampak inklusif, tubuh perempuan sering digunakan sebagai simbol kecantikan atau "kesempurnaan," menciptakan paradoks di mana perempuan diharapkan merayakan keberagaman tetapi tetap harus memenuhi standar tertentu untuk diakui.

Peran Influencer dalam Objektifikasi Gender di Media Sosial

Influencer memainkan peran yang signifikan dalam dinamika objektifikasi gender di media sosial. Sebagai figur publik yang memiliki pengaruh besar terhadap audiens mereka, influencer tidak hanya membentuk tren dan opini, tetapi juga memengaruhi persepsi tentang kecantikan, tubuh, dan gender. Namun, seiring dengan popularitas mereka, muncul tantangan terkait bagaimana mereka merepresentasikan diri mereka dan bagaimana hal itu memengaruhi pengikut mereka, khususnya perempuan.

Sebagian besar influencer, terutama yang bergerak di bidang kecantikan, fashion, dan lifestyle, menjadi contoh yang jelas tentang bagaimana tubuh perempuan dikapitalisasi dalam dunia digital. Mereka sering memposting foto atau video yang menampilkan penampilan fisik mereka dengan sangat terperinci dan terkadang diedit agar memenuhi standar kecantikan ideal. Dalam banyak kasus, tubuh mereka menjadi komoditas visual yang dipertontonkan untuk menarik perhatian dan meraih popularitas.

Kehadiran influencer dengan citra yang sempurna, terlepas dari kenyataan bahwa banyak dari mereka menggunakan filter atau teknik pengeditan untuk meningkatkan penampilan mereka, sering kali memperkuat narasi bahwa kecantikan hanya dapat dicapai dengan memenuhi standar fisik tertentu. Hal ini menciptakan tekanan yang besar pada pengikut, terutama perempuan, untuk meniru penampilan tersebut demi mendapatkan validasi atau perhatian.

Seiring dengan berkembangnya pasar influencer, banyak yang terlibat dalam promosi produk-produk kecantikan, pakaian, atau pelatihan gaya hidup yang berfokus pada peningkatan penampilan fisik. Dalam banyak kasus, influencer mengiklankan produk yang menjanjikan transformasi tubuh atau wajah, seperti suplemen penurunan berat badan, makeup, atau produk perawatan kulit. Pendekatan ini memperkuat ide bahwa penampilan fisik adalah yang paling penting, dan tubuh perempuan dianggap sebagai ruang untuk perubahan atau perbaikan.

Meskipun beberapa influencer mencoba untuk memperkenalkan pesan positif tentang penerimaan diri atau body positivity, mereka tetap terperangkap dalam siklus kapitalisasi tubuh. Promosi produk dengan klaim yang berfokus pada perbaikan fisik seringkali menambah tekanan untuk tetap mempertahankan citra tubuh ideal yang terus bergeser. Penggunaan tubuh sebagai alat pemasaran, bahkan dengan niat yang baik, sering kali mengarah pada komodifikasi, di mana keberagaman tubuh hanya dianggap sebagai pasar yang belum sepenuhnya dieksploitasi.

Influencer juga berperan besar dalam mempengaruhi persepsi sosial tentang kecantikan, gender, dan kepercayaan diri. Mereka memiliki kekuatan untuk memperkenalkan narasi baru yang lebih inklusif, seperti mempromosikan self-love, penerimaan tubuh, atau menampilkan keragaman dalam citra kecantikan. Misalnya, banyak influencer yang aktif dalam memerangi body shaming dan mencoba untuk menampilkan keindahan dalam segala bentuknya, menentang standar kecantikan yang sempit.

Namun, meskipun beberapa influencer berusaha memperkenalkan pesan pemberdayaan, mereka sering kali terjebak dalam praktik yang sama yang mereka coba ubah. Misalnya, mereka mungkin mempromosikan produk yang mengklaim dapat memperbaiki kecantikan fisik, atau mereka mungkin terus memperlihatkan citra tubuh tertentu sebagai "ideal." Ini menciptakan ketegangan antara pemberdayaan dan objektifikasi, karena meskipun mereka memberi ruang untuk keberagaman, mereka tetap beroperasi dalam sistem yang didorong oleh kapitalisasi visual.

Pengaruh influencer terhadap pengikut mereka, terutama perempuan muda, sangat besar. Pengikut sering melihat influencer sebagai teladan dan mencari validasi melalui standar kecantikan yang mereka tampilkan. Tekanan untuk meniru penampilan atau gaya hidup mereka dapat memengaruhi tingkat kepercayaan diri, terutama bagi mereka yang merasa tidak memenuhi standar tersebut.

Selain itu, influencer yang terus memperlihatkan citra tubuh yang sangat terawat atau sempurna dapat memicu perasaan ketidakpuasan diri pada pengikut yang merasa bahwa tubuh mereka tidak memenuhi standar yang dipromosikan. Meskipun influencer yang mendukung body positivity berusaha memberikan pesan yang inklusif, mereka tetap harus mempertimbangkan bagaimana cara mereka membingkai tubuh dan kecantikan dalam narasi mereka agar tidak memperburuk dampak psikologis negatif pada pengikut mereka.

Influencer memiliki peluang besar untuk menjadi agen perubahan yang mempromosikan narasi yang lebih positif dan inklusif mengenai kecantikan dan gender. Mereka dapat menggunakan platform mereka untuk memperkenalkan representasi yang lebih beragam, menantang stereotip gender, dan mempromosikan penerimaan tubuh yang sehat. Namun, untuk benar-benar membuat perubahan, influencer perlu menyadari kekuatan yang mereka miliki dan bertanggung jawab atas bagaimana mereka memengaruhi persepsi tentang kecantikan di media sosial.

Selain itu, mereka harus mempertimbangkan dampak dari iklan yang mereka promosikan dan mengevaluasi apakah produk atau jasa yang mereka tawarkan berkontribusi pada komodifikasi tubuh atau justru mendukung penerimaan diri dan keragaman. Dengan kesadaran yang lebih besar dan pendekatan yang lebih autentik, influencer dapat berperan penting dalam mendefinisikan ulang kecantikan dan mengurangi objektifikasi gender di media sosial.

4. Dampak Sosial dan Psikologis

Penguatan Kepercayaan Diri

Penggunaan media sosial dan peran influencer dalam mempromosikan standar kecantikan yang lebih inklusif, seperti dalam gerakan body positivity dan self-love, dapat memiliki dampak yang signifikan dalam penguatan kepercayaan diri, terutama di kalangan perempuan. Media sosial, meskipun sering kali dikritik karena memperburuk objektifikasi tubuh, juga dapat menjadi platform yang memberi ruang bagi individu untuk menerima diri mereka sendiri, merayakan keberagaman, dan memperkuat rasa percaya diri mereka.

Melalui kampanye yang mengusung keberagaman dan penerimaan tubuh, banyak perempuan mulai merasa lebih diterima dalam kerangka kecantikan yang lebih luas, yang mencakup berbagai ukuran tubuh, warna kulit, usia, dan bentuk tubuh. Gerakan body positivity yang semakin populer di media sosial, misalnya, menyoroti pentingnya merayakan keindahan dalam segala bentuk dan menentang standar kecantikan yang sempit. Hal ini membantu perempuan merasa lebih nyaman dengan penampilan mereka, meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk mengekspresikan diri apa adanya.

Pengguna media sosial yang terpapar dengan representasi keberagaman yang lebih luas, seperti model dengan ukuran tubuh beragam atau kulit dengan berbagai warna, dapat merasa lebih diterima. Mereka menyadari bahwa mereka bukan satu-satunya yang mungkin tidak sesuai dengan "standar sempurna" yang sering dipamerkan oleh media tradisional. Dengan melihat lebih banyak representasi diri mereka yang positif di media sosial, perempuan merasa lebih dihargai dan dihormati, yang pada gilirannya dapat memperkuat rasa percaya diri mereka.

Salah satu faktor utama dalam penguatan kepercayaan diri di media sosial adalah validasi sosial yang diperoleh melalui interaksi, seperti likes, komentar positif, atau berbagi konten. Ketika seseorang memposting foto atau video yang menampilkan diri mereka dalam kondisi yang lebih autentik atau tanpa filter, respons positif dari pengikut mereka—termasuk pujian atas keberanian dan kepercayaan diri mereka—dapat menjadi pendorong kepercayaan diri yang besar. Validasi sosial ini memberi perasaan diterima, dihargai, dan disukai, yang dapat meningkatkan perasaan positif terhadap diri sendiri.

Selain itu, ketika influencer atau figur publik lainnya berbagi cerita pribadi tentang perjuangan mereka dalam menerima tubuh mereka atau menghadapi kritik tentang penampilan, mereka memberi pengikut mereka contoh yang kuat tentang bagaimana menghadapi ketidakamanan tubuh dengan cara yang sehat. Cerita-cerita semacam ini dapat memberikan inspirasi bagi individu lain untuk lebih menerima diri mereka sendiri dan merasa lebih percaya diri dalam kondisi mereka, tanpa merasa perlu memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis.

Penerimaan diri dan penguatan kepercayaan diri juga terjadi ketika individu belajar untuk melawan body shaming dan stigma terkait penampilan fisik mereka. Media sosial memberi kesempatan untuk berbagi pengalaman pribadi tentang kekerasan verbal atau fisik terkait penampilan tubuh, yang mungkin dialami seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berbagi pengalaman ini, individu dapat merasa lebih kuat dan mendapat dukungan dari komunitas online yang peduli dan menerima mereka tanpa syarat.

Gerakan body positivity dan pesan-pesan tentang penerimaan diri yang disebarkan di media sosial dapat membantu mengurangi stigma seputar ukuran tubuh tertentu atau ciri-ciri fisik yang biasanya menjadi target body shaming. Ketika lebih banyak orang berbicara terbuka tentang bagaimana mereka menerima tubuh mereka apa adanya, hal ini memperkuat pesan bahwa kecantikan datang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Seiring waktu, ini dapat mengurangi rasa malu yang seringkali menjadi penghalang bagi banyak perempuan untuk merasa percaya diri dan nyaman dengan penampilan mereka.

Kepercayaan diri yang lebih tinggi berhubungan erat dengan kesejahteraan mental yang lebih baik. Ketika seseorang merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan serta kelebihan mereka, mereka cenderung mengalami pengurangan tingkat stres, kecemasan, dan depresi. Media sosial yang mempromosikan pesan positif tentang penerimaan diri, jika digunakan dengan bijak, dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengatasi rasa cemas atau rendah diri yang sering muncul akibat tekanan sosial untuk tampak sempurna.

Penerimaan terhadap penampilan diri sendiri, yang dipicu oleh pesan-pesan positif dan representasi yang lebih inklusif, bisa mengarah pada peningkatan kesejahteraan emosional. Dengan semakin banyaknya individu yang berbicara terbuka tentang pentingnya kesehatan mental dan penerimaan tubuh, mereka menciptakan ruang yang lebih aman bagi orang lain untuk merasakan hal yang sama, yang pada akhirnya mengarah pada penguatan kepercayaan diri dan kebahagiaan secara keseluruhan.

Tekanan Sosial Baru

Media sosial telah menciptakan dimensi baru dari tekanan sosial yang berpengaruh besar terhadap individu, khususnya perempuan. Di satu sisi, media sosial membuka kesempatan untuk berbagi identitas dan memperkenalkan narasi pribadi, tetapi di sisi lain, ia juga menguatkan standar kecantikan, perilaku, dan gaya hidup tertentu yang sering kali tidak realistis dan menciptakan tekanan yang signifikan pada penggunanya. Tekanan sosial baru ini berasal dari berbagai faktor, termasuk pengaruh algoritma, budaya perbandingan sosial, dan ekspektasi publik terhadap penampilan serta perilaku pribadi.

Salah satu tekanan sosial utama yang muncul di media sosial adalah dorongan untuk mematuhi standar kecantikan tertentu yang didorong oleh algoritma. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube lebih cenderung mempromosikan konten visual yang menarik, yang sering kali berfokus pada penampilan fisik yang sempurna. Foto atau video dengan tampilan yang ideal seringkali mendapatkan lebih banyak interaksi, likes, dan komentar positif, sementara konten yang tidak memenuhi standar kecantikan yang ditentukan cenderung kurang mendapat perhatian.

Kondisi ini menambah tekanan pada individu, terutama perempuan, untuk selalu tampil menarik secara fisik demi mendapatkan validasi sosial. Penggunaan filter, pengeditan foto, dan aplikasi kecantikan menjadi semakin umum, karena banyak pengguna merasa bahwa mereka perlu menyembunyikan ketidaksempurnaan atau menyempurnakan penampilan mereka agar diterima dan disukai di dunia maya. Akibatnya, mereka merasakan beban untuk tampil "sempurna" setiap saat, yang berimbas pada meningkatnya kecemasan dan ketidakpuasan diri.

Media sosial memperburuk budaya perbandingan sosial, di mana individu sering membandingkan diri mereka dengan orang lain berdasarkan citra yang terlihat di platform. Bagi banyak orang, terutama remaja dan perempuan muda, media sosial menjadi ajang untuk melihat dan menilai diri mereka melalui lensa standar kecantikan yang dipopulerkan oleh selebriti, influencer, atau teman-teman di dunia maya.

Perbandingan ini seringkali membuat orang merasa tidak cukup baik atau tidak memenuhi harapan yang digambarkan oleh orang lain di media sosial. Misalnya, ketika seseorang melihat foto orang lain yang tampak sempurna, dengan kulit mulus, tubuh ideal, atau gaya hidup yang tampaknya tak terbatas, mereka cenderung merasa bahwa kehidupan mereka kurang menarik atau tidak memadai. Perasaan ini, yang sering disebut sebagai social comparison theory, dapat memengaruhi kepercayaan diri, kebahagiaan, dan bahkan identitas diri.

Selain penampilan fisik, media sosial juga mengarah pada tekanan untuk menampilkan kehidupan pribadi yang sempurna. Banyak orang merasa terdorong untuk memposting foto dan cerita yang menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, seperti liburan mewah, pencapaian profesional, atau hubungan romantis yang tampak ideal. Perempuan, khususnya, sering kali merasa bahwa mereka harus menunjukkan citra kehidupan yang sempurna untuk dihargai dan diakui.

Tekanan untuk memamerkan kehidupan yang tidak hanya menarik tetapi juga tampak "tanpa cacat" ini menyebabkan banyak orang merasa cemas dan tertekan. Mereka takut jika tidak memenuhi ekspektasi tersebut, mereka akan dianggap tidak cukup menarik atau tidak sukses. Hal ini tidak hanya berlaku untuk individu dengan jumlah pengikut yang banyak, tetapi juga bagi orang biasa yang menggunakan media sosial sebagai tempat berbagi kehidupan sehari-hari.

Untuk mengatasi tekanan sosial baru yang ditimbulkan oleh media sosial, penting untuk mendorong pemahaman yang lebih kritis terhadap penggunaan platform tersebut. Pengguna perlu diberdayakan untuk mengenali dampak negatif dari media sosial terhadap kepercayaan diri mereka dan untuk menciptakan batasan yang sehat dalam penggunaan teknologi. Selain itu, mempromosikan pesan self-love, keberagaman, dan penerimaan tubuh dalam media sosial dapat membantu menanggulangi tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang sempit.

Penting juga bagi influencer dan kreator konten untuk lebih sadar akan pengaruh mereka dan berkontribusi pada representasi yang lebih inklusif dan realistis, yang dapat mengurangi tekanan untuk menampilkan kehidupan atau penampilan yang tidak realistis. Dengan demikian, media sosial bisa menjadi ruang yang lebih positif dan memberdayakan bagi penggunanya, alih-alih menjadi tempat yang memperburuk ketidakpuasan dan kecemasan.

5. Regulasi dan Masa Depan Inklusivitas Digital

Regulasi Konten di Media Sosial

Dalam menghadapi dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan oleh media sosial, terutama terkait dengan standar kecantikan dan objektifikasi gender, regulasi konten di platform digital menjadi topik yang semakin penting. Media sosial telah berkembang menjadi kekuatan besar dalam membentuk opini, memperkenalkan tren, dan menyebarkan informasi. Namun, banyak konten yang tersebar di platform ini mempromosikan citra yang tidak realistis, memperkuat stereotip gender, dan memperburuk ketidakpuasan diri, terutama di kalangan remaja dan perempuan. Oleh karena itu, adanya regulasi konten yang lebih ketat dan lebih efektif menjadi hal yang krusial untuk mengatur arus informasi dan mencegah dampak negatif.

Salah satu tantangan terbesar dalam regulasi konten di media sosial adalah sifat terbuka dan desentralisasi dari platform tersebut. Berbeda dengan media tradisional yang memiliki pengawasan yang lebih terstruktur, seperti surat kabar atau saluran televisi, media sosial memungkinkan siapa saja untuk memposting dan berbagi konten tanpa kontrol yang ketat. Hal ini memungkinkan kebebasan berekspresi, tetapi di sisi lain, juga menimbulkan masalah terkait penyebaran informasi yang salah, konten yang mempromosikan kebencian, kekerasan, atau standar kecantikan yang merugikan.

Regulasi konten di media sosial menghadapi kesulitan dalam menyeimbangkan kebebasan berbicara dan perlindungan terhadap penggunanya. Kebijakan yang terlalu ketat dapat membatasi kebebasan berekspresi, sedangkan kebijakan yang terlalu longgar dapat memungkinkan penyebaran konten yang berbahaya atau merugikan. Oleh karena itu, regulasi yang efektif harus dapat menjamin bahwa media sosial tetap menjadi ruang yang aman dan inklusif tanpa mengorbankan hak individu untuk berekspresi.

Salah satu tujuan regulasi konten di media sosial adalah untuk mempromosikan keberagaman dan inklusivitas. Platform digital harus memfasilitasi representasi yang lebih luas dari berbagai identitas gender, ras, ukuran tubuh, dan latar belakang sosial. Regulasi harus mendorong penciptaan ruang yang lebih adil, di mana standar kecantikan dan perilaku sosial tidak terfokus pada satu tipe tubuh atau cara hidup tertentu.

Beberapa platform sosial sudah mulai menerapkan kebijakan yang mendukung keberagaman ini, seperti memperkenalkan fitur untuk mendukung representasi tubuh beragam atau memberikan ruang bagi konten yang mendorong self-love dan penerimaan diri. Sebagai contoh, beberapa platform seperti Instagram telah mengurangi penggunaan filter yang terlalu mengubah penampilan wajah dan tubuh, serta melarang penyebaran konten yang memperburuk body shaming atau diskriminasi berdasarkan penampilan.

Selain mempromosikan keberagaman, regulasi konten di media sosial juga penting untuk membatasi penyebaran konten yang mempromosikan citra tubuh tidak realistis atau kecantikan yang berlebihan. Banyak influencer atau akun media sosial yang dengan sengaja mengedit foto atau menggunakan filter untuk membuat tubuh atau wajah mereka tampak lebih sempurna daripada kenyataannya, yang sering kali menciptakan tekanan pada pengikut untuk mencapai penampilan yang sama.

Regulasi dapat menetapkan standar transparansi bagi konten yang dimanipulasi dengan cara tertentu, seperti mewajibkan keterangan bahwa gambar telah diedit atau menggunakan filter. Hal ini bertujuan agar pengikut, terutama remaja dan perempuan, lebih menyadari bahwa banyak gambar yang mereka lihat di media sosial bukanlah gambaran realistis dari penampilan manusia yang sebenarnya. Mengedepankan transparansi semacam ini dapat membantu mengurangi tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis.

Pemerintah di berbagai negara mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatur konten media sosial. Beberapa negara telah mengimplementasikan kebijakan untuk melindungi pengguna dari konten yang berbahaya, termasuk ujaran kebencian, pelecehan, dan konten eksploitasi seksual. Misalnya, Uni Eropa telah memperkenalkan Undang-Undang Layanan Digital (Digital Services Act) yang memberikan kewajiban pada platform digital untuk lebih bertanggung jawab atas konten yang ada di situs mereka dan untuk melindungi pengguna dari konten yang merugikan.

Platform digital, di sisi lain, memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kebijakan mereka sendiri. Banyak platform sosial, termasuk Facebook, Instagram, dan TikTok, mulai memperkenalkan alat yang memungkinkan pengguna untuk melaporkan konten yang merugikan atau tidak sesuai. Selain itu, platform ini juga berinvestasi dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi dan menghapus konten yang berbahaya secara otomatis. Namun, meskipun ada langkah-langkah ini, banyak yang berpendapat bahwa regulasi ini masih belum cukup untuk mengatasi masalah secara menyeluruh, dan lebih banyak langkah yang perlu diambil untuk memastikan bahwa media sosial tidak memperburuk dampak negatif pada penggunanya.

Masa depan inklusivitas digital bergantung pada kemajuan regulasi yang dapat menciptakan ruang yang lebih aman dan lebih adil di media sosial. Di masa depan, kita mungkin akan melihat lebih banyak platform sosial yang secara aktif mendukung keberagaman dan menghentikan penyebaran konten yang merugikan. Regulasi konten yang lebih ketat dan terfokus pada perlindungan pengguna, serta promosi keberagaman, dapat membantu mengurangi ketidakpuasan diri dan dampak negatif lainnya yang terkait dengan media sosial.

Selain itu, regulasi juga harus mencakup aspek perlindungan terhadap kesehatan mental pengguna, dengan memastikan bahwa konten yang mempengaruhi tubuh, citra diri, dan kepercayaan diri dikelola dengan lebih bijaksana. Ini termasuk kebijakan yang mempromosikan representasi tubuh yang sehat dan realistis, serta memastikan bahwa pengguna tidak merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan yang sempit.

Dengan regulasi yang tepat, media sosial dapat bertransformasi menjadi ruang yang lebih positif, inklusif, dan memberdayakan bagi semua pengguna, tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi atau kreativitas.

Pendidikan Literasi Digital

Pendidikan literasi digital memainkan peran kunci dalam menciptakan pengalaman media sosial yang lebih aman, sehat, dan inklusif. Dengan meningkatkan kesadaran akan dampak sosial dan psikologis dari media sosial, serta mengajarkan keterampilan untuk mengelola informasi dengan bijaksana, individu dapat menghindari tekanan sosial yang merugikan dan menciptakan ruang yang lebih positif di dunia maya. Literasi digital tidak hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga tentang pemahaman yang lebih dalam tentang dampak media sosial pada diri dan hubungan kita dengan orang lain. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, pendidikan ini dapat membuka jalan bagi masa depan yang lebih adil dan sadar dalam menggunakan teknologi digital.

Penutup

Perubahan standar kecantikan yang dipengaruhi oleh media sosial menunjukkan bagaimana dunia digital bisa membawa dampak yang kompleks pada masyarakat. Sementara media sosial membuka ruang bagi representasi yang lebih beragam dan inklusif, tantangan dalam memerangi konten yang memperkuat standar kecantikan yang tidak realistis atau objektifikasi gender tetap menjadi isu besar. Di sinilah regulasi konten dan pendidikan literasi digital berperan penting dalam menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan memberdayakan.

Pendidikan literasi digital menjadi landasan untuk mempersiapkan individu agar mampu memahami dan mengelola dampak media sosial dengan lebih bijaksana. Melalui pemahaman yang mendalam tentang bagaimana media sosial bekerja, serta cara mengelola informasi dan berinteraksi secara sehat di dunia maya, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih inklusif dan mendukung kesejahteraan mental. Regulasinya harus berpihak pada keberagaman, serta melindungi individu dari tekanan sosial yang bisa memengaruhi kepercayaan diri dan kesehatan mental mereka.

Ke depannya, dunia digital perlu menjadi ruang yang tidak hanya mempromosikan nilai-nilai komersial, tetapi juga mengedepankan keberagaman, inklusivitas, dan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut, kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan dunia maya yang lebih adil, aman, dan memberi ruang bagi setiap individu untuk merasa dihargai dan diterima. Dengan langkah-langkah yang tepat, media sosial dapat bertransformasi menjadi alat yang lebih kuat untuk pemberdayaan, bukan hanya komodifikasi, yang memungkinkan kita untuk merayakan keberagaman dan perbedaan, serta menciptakan standar kecantikan dan nilai diri yang lebih sehat dan realistis.

Daftar Pustaka

Basaria, Debora, Lia Martha Indriana, Metta Dewi Satyagraha, dan Natha Nia. “Penerapan Self Love Sebagai Bagian Dari Pencegahan Remaja Menampilkan Perilaku Negatif Di Lingkungan.” Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia 5, no. 1 (22 Agustus 2022). https://doi.org/10.24912/jbmi.v5i1.18501.

Egi Regita, Nabilah Luthfiyyah, dan Nur Riswandy Marsuki. “Pengaruh Media Sosial Terhadap Persepsi Diri dan Pembentukan Identitas Remaja di Indonesia.” Jurnal Kajian dan Penelitian Umum 2, no. 1 (23 Januari 2024): 46–52. https://doi.org/10.47861/jkpu-nalanda.v2i1.830.

Garcia, Giorgiana, dan Septia Winduwati. “Representasi Standar Kecantikan Wanita di Media Sosial Instagram @springsummerstyle.” Koneksi 7, no. 1 (29 Maret 2023): 248–55. https://doi.org/10.24912/kn.v7i1.21313.

Indermill, Kelly. “The Dove® Campaign for Real Beauty: What’s Next for Inclusivi” 151, no. 2 (1 Desember 2015): 10–17.

Jannatania, Jasmin, Dadang R. Hidayat, dan Sri S. Indriani. “Wacana Gerakan Body Positivity Sebagai Respons Dari Perilaku Body Shaming di Instagram.” Jurnal Ilmiah Muqoddimah : Jurnal Ilmu Sosial, Politik, dan Humaniora 7, no. 3 (2 Oktober 2023): 687. https://doi.org/10.31604/jim.v7i3.2023.687-697.

KumparanWoman. (2020, September 23). Self Esteem Project, cara Dove bantu perempuan tingkatkan rasa percaya diri. Kumparan. https://kumparan.com/kumparanwoman/self-esteem-project-cara-dove-bantu-perempuan-tingkatkan-rasa-percaya-diri-1vX3hAMZyTe/full

Mashuri, Chamdan, Ginanjar Setyo Permadi, Tanhella Zein Vitadiar, Ahmad Heru Mujianto, Ramadhan Cakra, Arbiati Faizah, dan Terdy Kistofer. “Literasi Digital” 14, no. 5 (11 September 2016): 1–23.

Murniasih, Farhanah. “Sisi Gelap Media Sosial: Mediasi Perbandingan Sosial Pada Hubungan Fear of Missing Out dan Social Media Fatigue.” Jurnal Diversita 9, no. 1 (9 Juni 2023): 93–103. https://doi.org/10.31289/diversita.v9i1.8899.

Raisa Qisthy Hermawan Putri, dan Santi Indra Astuti. “Komodifikasi Kecantikan Warna Kulit.” Bandung Conference Series: Public Relations 3, no. 2 (3 Agustus 2023): 863–70. https://doi.org/10.29313/bcspr.v3i2.9358.

Sukisman, Joanne Mareris, dan Lusia Savitri Setyo Utami. “Perlawanan Stigma Warna Kulit terhadap Standar Kecantikan Perempuan Melalui Iklan.” Koneksi 5, no. 1 (4 Maret 2021): 67. https://doi.org/10.24912/kn.v5i1.10150.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun