Mohon tunggu...
Kais Wheels
Kais Wheels Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa IAIN Syekh Nur Jati Cirebon

hobi menulis, karya ilmiah ataupun karya fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan Standar Kecantikan di Media Sosial, Inklusivitas atau Komodifikasi Baru?

7 Desember 2024   09:31 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:33 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

2. Kampanye Inklusivitas: Pemberdayaan atau Komodifikasi?

Narasi Pemberdayaan

Kampanye inklusivitas di media sosial sering dikemas sebagai upaya untuk memberdayakan individu dan komunitas yang sebelumnya terpinggirkan oleh standar kecantikan tradisional. Narasi pemberdayaan ini bertujuan untuk meruntuhkan stereotip lama yang homogen, menggantinya dengan representasi yang mencerminkan keragaman fisik, budaya, dan identitas manusia.

Melalui gerakan seperti body positivity, skin neutrality, dan self-love, kampanye inklusivitas berusaha menyampaikan pesan bahwa semua orang berhak merasa cantik tanpa memandang ukuran tubuh, warna kulit, jenis rambut, atau usia. Narasi ini mendorong individu untuk menerima dan mencintai diri mereka apa adanya, sekaligus menormalisasi perbedaan yang sebelumnya dianggap "tidak ideal."

Salah satu elemen penting dari narasi pemberdayaan adalah keterlibatan langsung komunitas. Influencer dan figur publik yang mewakili berbagai latar belakang sering kali menjadi wajah dari kampanye ini, memberikan inspirasi kepada pengikutnya untuk merangkul keunikan mereka. Konten-konten ini menekankan bahwa kecantikan tidak terbatas pada penampilan fisik, tetapi juga melibatkan rasa percaya diri, kesehatan mental, dan kebahagiaan.

Lebih jauh, narasi pemberdayaan ini menciptakan ruang untuk diskusi yang lebih luas tentang isu-isu sosial, seperti diskriminasi berbasis ras, ukuran tubuh, atau disabilitas. Dengan menggunakan platform digital sebagai media untuk menyuarakan inklusivitas, kampanye ini memberikan panggung kepada individu yang sebelumnya tidak terdengar, memungkinkan mereka untuk mendefinisikan ulang kecantikan berdasarkan pengalaman mereka sendiri.

Narasi pemberdayaan melalui inklusivitas tidak hanya memberikan dampak positif pada individu, tetapi juga berpotensi mengubah cara masyarakat memandang kecantikan secara kolektif. Dengan memperluas definisi kecantikan, kampanye ini berkontribusi pada terciptanya lingkungan sosial yang lebih menerima, ramah, dan menghargai perbedaan. Namun, tantangan tetap ada ketika narasi ini bersinggungan dengan elemen komersial, yang kadang mengaburkan niat autentik dari pemberdayaan itu sendiri.

Komodifikasi Keberagaman

Di balik narasi pemberdayaan yang diusung oleh kampanye inklusivitas, ada dimensi komersial yang tidak bisa diabaikan, yaitu komodifikasi keberagaman. Dalam konteks ini, keberagaman yang seharusnya menjadi refleksi otentik dari nilai-nilai sosial dan penerimaan diri, sering kali dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran untuk mendulang keuntungan finansial.

Komodifikasi keberagaman terjadi ketika representasi inklusif—seperti model dengan berbagai warna kulit, ukuran tubuh, atau kondisi fisik tertentu—diintegrasikan ke dalam kampanye iklan, tetapi lebih untuk menciptakan citra positif bagi merek daripada mengadvokasi perubahan sosial yang nyata. Perusahaan dan merek kecantikan menggunakan narasi inklusivitas untuk menarik pasar yang lebih luas, terutama generasi muda yang lebih sadar akan isu-isu sosial. Kampanye seperti ini sering kali digerakkan oleh kebutuhan komersial untuk meningkatkan penjualan, bukan oleh komitmen tulus terhadap nilai-nilai inklusivitas.

Contoh yang sering ditemui adalah peluncuran produk dengan label "untuk semua jenis kulit" atau "body positive," yang pada kenyataannya masih membatasi kelompok tertentu, baik dari segi harga, akses, maupun distribusi. Sementara merek-merek ini mempromosikan pesan inklusif, mereka sering gagal menangani akar masalah, seperti diskriminasi sistemik atau stereotip budaya yang masih tertanam kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun