Dalam menghadapi dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan oleh media sosial, terutama terkait dengan standar kecantikan dan objektifikasi gender, regulasi konten di platform digital menjadi topik yang semakin penting. Media sosial telah berkembang menjadi kekuatan besar dalam membentuk opini, memperkenalkan tren, dan menyebarkan informasi. Namun, banyak konten yang tersebar di platform ini mempromosikan citra yang tidak realistis, memperkuat stereotip gender, dan memperburuk ketidakpuasan diri, terutama di kalangan remaja dan perempuan. Oleh karena itu, adanya regulasi konten yang lebih ketat dan lebih efektif menjadi hal yang krusial untuk mengatur arus informasi dan mencegah dampak negatif.
Salah satu tantangan terbesar dalam regulasi konten di media sosial adalah sifat terbuka dan desentralisasi dari platform tersebut. Berbeda dengan media tradisional yang memiliki pengawasan yang lebih terstruktur, seperti surat kabar atau saluran televisi, media sosial memungkinkan siapa saja untuk memposting dan berbagi konten tanpa kontrol yang ketat. Hal ini memungkinkan kebebasan berekspresi, tetapi di sisi lain, juga menimbulkan masalah terkait penyebaran informasi yang salah, konten yang mempromosikan kebencian, kekerasan, atau standar kecantikan yang merugikan.
Regulasi konten di media sosial menghadapi kesulitan dalam menyeimbangkan kebebasan berbicara dan perlindungan terhadap penggunanya. Kebijakan yang terlalu ketat dapat membatasi kebebasan berekspresi, sedangkan kebijakan yang terlalu longgar dapat memungkinkan penyebaran konten yang berbahaya atau merugikan. Oleh karena itu, regulasi yang efektif harus dapat menjamin bahwa media sosial tetap menjadi ruang yang aman dan inklusif tanpa mengorbankan hak individu untuk berekspresi.
Salah satu tujuan regulasi konten di media sosial adalah untuk mempromosikan keberagaman dan inklusivitas. Platform digital harus memfasilitasi representasi yang lebih luas dari berbagai identitas gender, ras, ukuran tubuh, dan latar belakang sosial. Regulasi harus mendorong penciptaan ruang yang lebih adil, di mana standar kecantikan dan perilaku sosial tidak terfokus pada satu tipe tubuh atau cara hidup tertentu.
Beberapa platform sosial sudah mulai menerapkan kebijakan yang mendukung keberagaman ini, seperti memperkenalkan fitur untuk mendukung representasi tubuh beragam atau memberikan ruang bagi konten yang mendorong self-love dan penerimaan diri. Sebagai contoh, beberapa platform seperti Instagram telah mengurangi penggunaan filter yang terlalu mengubah penampilan wajah dan tubuh, serta melarang penyebaran konten yang memperburuk body shaming atau diskriminasi berdasarkan penampilan.
Selain mempromosikan keberagaman, regulasi konten di media sosial juga penting untuk membatasi penyebaran konten yang mempromosikan citra tubuh tidak realistis atau kecantikan yang berlebihan. Banyak influencer atau akun media sosial yang dengan sengaja mengedit foto atau menggunakan filter untuk membuat tubuh atau wajah mereka tampak lebih sempurna daripada kenyataannya, yang sering kali menciptakan tekanan pada pengikut untuk mencapai penampilan yang sama.
Regulasi dapat menetapkan standar transparansi bagi konten yang dimanipulasi dengan cara tertentu, seperti mewajibkan keterangan bahwa gambar telah diedit atau menggunakan filter. Hal ini bertujuan agar pengikut, terutama remaja dan perempuan, lebih menyadari bahwa banyak gambar yang mereka lihat di media sosial bukanlah gambaran realistis dari penampilan manusia yang sebenarnya. Mengedepankan transparansi semacam ini dapat membantu mengurangi tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis.
Pemerintah di berbagai negara mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatur konten media sosial. Beberapa negara telah mengimplementasikan kebijakan untuk melindungi pengguna dari konten yang berbahaya, termasuk ujaran kebencian, pelecehan, dan konten eksploitasi seksual. Misalnya, Uni Eropa telah memperkenalkan Undang-Undang Layanan Digital (Digital Services Act) yang memberikan kewajiban pada platform digital untuk lebih bertanggung jawab atas konten yang ada di situs mereka dan untuk melindungi pengguna dari konten yang merugikan.
Platform digital, di sisi lain, memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kebijakan mereka sendiri. Banyak platform sosial, termasuk Facebook, Instagram, dan TikTok, mulai memperkenalkan alat yang memungkinkan pengguna untuk melaporkan konten yang merugikan atau tidak sesuai. Selain itu, platform ini juga berinvestasi dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi dan menghapus konten yang berbahaya secara otomatis. Namun, meskipun ada langkah-langkah ini, banyak yang berpendapat bahwa regulasi ini masih belum cukup untuk mengatasi masalah secara menyeluruh, dan lebih banyak langkah yang perlu diambil untuk memastikan bahwa media sosial tidak memperburuk dampak negatif pada penggunanya.
Masa depan inklusivitas digital bergantung pada kemajuan regulasi yang dapat menciptakan ruang yang lebih aman dan lebih adil di media sosial. Di masa depan, kita mungkin akan melihat lebih banyak platform sosial yang secara aktif mendukung keberagaman dan menghentikan penyebaran konten yang merugikan. Regulasi konten yang lebih ketat dan terfokus pada perlindungan pengguna, serta promosi keberagaman, dapat membantu mengurangi ketidakpuasan diri dan dampak negatif lainnya yang terkait dengan media sosial.
Selain itu, regulasi juga harus mencakup aspek perlindungan terhadap kesehatan mental pengguna, dengan memastikan bahwa konten yang mempengaruhi tubuh, citra diri, dan kepercayaan diri dikelola dengan lebih bijaksana. Ini termasuk kebijakan yang mempromosikan representasi tubuh yang sehat dan realistis, serta memastikan bahwa pengguna tidak merasa tertekan untuk memenuhi standar kecantikan yang sempit.