Mohon tunggu...
Kais Wheels
Kais Wheels Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa IAIN Syekh Nur Jati Cirebon

hobi menulis, karya ilmiah ataupun karya fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan Standar Kecantikan di Media Sosial, Inklusivitas atau Komodifikasi Baru?

7 Desember 2024   09:31 Diperbarui: 7 Desember 2024   09:33 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial telah menciptakan dimensi baru dari tekanan sosial yang berpengaruh besar terhadap individu, khususnya perempuan. Di satu sisi, media sosial membuka kesempatan untuk berbagi identitas dan memperkenalkan narasi pribadi, tetapi di sisi lain, ia juga menguatkan standar kecantikan, perilaku, dan gaya hidup tertentu yang sering kali tidak realistis dan menciptakan tekanan yang signifikan pada penggunanya. Tekanan sosial baru ini berasal dari berbagai faktor, termasuk pengaruh algoritma, budaya perbandingan sosial, dan ekspektasi publik terhadap penampilan serta perilaku pribadi.

Salah satu tekanan sosial utama yang muncul di media sosial adalah dorongan untuk mematuhi standar kecantikan tertentu yang didorong oleh algoritma. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube lebih cenderung mempromosikan konten visual yang menarik, yang sering kali berfokus pada penampilan fisik yang sempurna. Foto atau video dengan tampilan yang ideal seringkali mendapatkan lebih banyak interaksi, likes, dan komentar positif, sementara konten yang tidak memenuhi standar kecantikan yang ditentukan cenderung kurang mendapat perhatian.

Kondisi ini menambah tekanan pada individu, terutama perempuan, untuk selalu tampil menarik secara fisik demi mendapatkan validasi sosial. Penggunaan filter, pengeditan foto, dan aplikasi kecantikan menjadi semakin umum, karena banyak pengguna merasa bahwa mereka perlu menyembunyikan ketidaksempurnaan atau menyempurnakan penampilan mereka agar diterima dan disukai di dunia maya. Akibatnya, mereka merasakan beban untuk tampil "sempurna" setiap saat, yang berimbas pada meningkatnya kecemasan dan ketidakpuasan diri.

Media sosial memperburuk budaya perbandingan sosial, di mana individu sering membandingkan diri mereka dengan orang lain berdasarkan citra yang terlihat di platform. Bagi banyak orang, terutama remaja dan perempuan muda, media sosial menjadi ajang untuk melihat dan menilai diri mereka melalui lensa standar kecantikan yang dipopulerkan oleh selebriti, influencer, atau teman-teman di dunia maya.

Perbandingan ini seringkali membuat orang merasa tidak cukup baik atau tidak memenuhi harapan yang digambarkan oleh orang lain di media sosial. Misalnya, ketika seseorang melihat foto orang lain yang tampak sempurna, dengan kulit mulus, tubuh ideal, atau gaya hidup yang tampaknya tak terbatas, mereka cenderung merasa bahwa kehidupan mereka kurang menarik atau tidak memadai. Perasaan ini, yang sering disebut sebagai social comparison theory, dapat memengaruhi kepercayaan diri, kebahagiaan, dan bahkan identitas diri.

Selain penampilan fisik, media sosial juga mengarah pada tekanan untuk menampilkan kehidupan pribadi yang sempurna. Banyak orang merasa terdorong untuk memposting foto dan cerita yang menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, seperti liburan mewah, pencapaian profesional, atau hubungan romantis yang tampak ideal. Perempuan, khususnya, sering kali merasa bahwa mereka harus menunjukkan citra kehidupan yang sempurna untuk dihargai dan diakui.

Tekanan untuk memamerkan kehidupan yang tidak hanya menarik tetapi juga tampak "tanpa cacat" ini menyebabkan banyak orang merasa cemas dan tertekan. Mereka takut jika tidak memenuhi ekspektasi tersebut, mereka akan dianggap tidak cukup menarik atau tidak sukses. Hal ini tidak hanya berlaku untuk individu dengan jumlah pengikut yang banyak, tetapi juga bagi orang biasa yang menggunakan media sosial sebagai tempat berbagi kehidupan sehari-hari.

Untuk mengatasi tekanan sosial baru yang ditimbulkan oleh media sosial, penting untuk mendorong pemahaman yang lebih kritis terhadap penggunaan platform tersebut. Pengguna perlu diberdayakan untuk mengenali dampak negatif dari media sosial terhadap kepercayaan diri mereka dan untuk menciptakan batasan yang sehat dalam penggunaan teknologi. Selain itu, mempromosikan pesan self-love, keberagaman, dan penerimaan tubuh dalam media sosial dapat membantu menanggulangi tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang sempit.

Penting juga bagi influencer dan kreator konten untuk lebih sadar akan pengaruh mereka dan berkontribusi pada representasi yang lebih inklusif dan realistis, yang dapat mengurangi tekanan untuk menampilkan kehidupan atau penampilan yang tidak realistis. Dengan demikian, media sosial bisa menjadi ruang yang lebih positif dan memberdayakan bagi penggunanya, alih-alih menjadi tempat yang memperburuk ketidakpuasan dan kecemasan.

5. Regulasi dan Masa Depan Inklusivitas Digital

Regulasi Konten di Media Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun