Laki-laki di seberangnya tertawa. "Ya, saya ada di restoran di depan Jesuit Church, Mbak Wanda tahu?"
Wanda mengangguk. "Iya, tahu. Oke, saya akan segera ke sana. Makasih ya, Mas."
*****
Sambil menunggu si Mbak-Mbak dari Indonesia bernama Wanda itu, Gibran menyeruput teh apel favoritnya, kemudian mengecek jam. Nyaris pukul satu siang. Ceweknya bisa mengamuk kalau-kalau dia telat menjemput.
Lagian ada-ada aja, sih, tas bisa ketuker segala. Tapi untunglah ketukernya sama orang Indonesia, coba kalau sama orang asli Lucerne yang nggak bisa Bahasa Inggris? Mana Michaela seenaknya banget pula, menyuruhnya mengembalikan tas ini. Jadi heran kenapa dulu ia bisa tergila-gila pada gadis pirang itu.
Pintu restoran berayun terbuka dan dilihatnya seorang gadis tinggi berkulit putih masuk. Rambutnya ikal, dipotong pendek sebahu, dan hidungnya mancung seperti orang Arab. Aha, itu dia!
"Wanda Indonesia!" teriak Rangga, melambaikan tangan.
Benar saja, gadis itu langsung menoleh. Rangga melambaikan tas Louis Vuitton putihnya, dan gadis itu tersenyum, buru-buru berlari dan memeluk tasnya.
"Lengkap!" pekik Wanda setelah mengobrak-abrik isi tasnya. "Ya ampun Mas, makasih banget ya, kalo nggak ada Mas, saya bisa-bisa ngegembel kali, di Lucerne," dengan lelah Wanda duduk di hadapan cowok tak dikenalnya itu.
Rangga tersenyum tipis, mengangguk dan menerima tas itu. Gadis di hadapannya lumayan menarik, perpaduan wajah Eropa dan Asia yang khas. Matanya juga terlihat menyenangkan.
"Lho, tapi kok Mas ya yang ngembaliin tas saya? Kan tadi yang nubruk saya bukan Mas," kening Wanda berkerut.