Panik, ditumpahkannya semua isi tas. Barang-barang di dalamnya tidak ada yang satu pun ia kenali. Kotak kosmetik, alfalink, dan foto berbingkai, foto seorang wanita pirang sedang mengecup pipi seorang laki-laki berambut hitam.
Wanita pirang itu! Wanita yang tadi ditabraknya!
Seketika Wanda pucat. Ditutupnya tas itu kembali, dan ia tersenyum meminta maaf pada si kasir. Buru-buru ia menyingkir ke luar toko, mengutuki diri sendiri. Kenapa ia bisa begitu bodoh?!
Tapi kalau dipikir-pikir, bukan Wanda yang salah, tapi si pirang genit itu! Dia yang langsung menyambar tas Wanda tanpa dilihat dulu isinya. Merengut dan menggerutu, Wanda berjalan, kembali menyeberangi Chapel Bridge.
Semua barang pentingnya ada di sana. Nilai-nilai mata kuliah maupun catatan-catatannya, dompet, dan yang terpenting... paspornya! Bagaimana ini? Dia sudah memesan tiket untuk balik ke Indonesia, dan kalau paspornya hilang, gimana caranya dia bisa balik, coba?
Lagi-lagi ponselnya berbunyi, dan Wanda segera mengangkatnya. Dari nomor yang sama sekali tidak ia kenal. Ia mengangkatnya.
"Halo? Apa ini Wanda Ayuningtyas?"
Wanda mengernyit, menyadari orang itu bicara dalam Bahasa Indonesia. Siapa dia?
"Ya, saya Wanda. Siapa ini?"
"Saya Gibran, di Lucerne. Mmm, apa Mbak Wanda salah bawa tas, ya? Soalnya tas Mbak Wanda ada di sini."
Nyaris melonjak, Wanda mengangguk. "Iya, tas saya ketuker! Mas sekarang di mana? Kapan kita bisa ketemu? Aduh, dokumen penting saya di situ semua soalnya."