Mohon tunggu...
kahfi pongq
kahfi pongq Mohon Tunggu... -

minum kopi, baca, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Iis

22 Juli 2013   20:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:11 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk memasuki desa, butuh waktusejam lebih dari pusat kota satelit, sementara dua jam untuk menyingkir darikegaduhan peredaran Ibukota. Di sini, air kali masih segar, bening berpadudengan cokelat tanah. Gemericik air kali kerap menghantam batu-batu kaliraksasa, hitam nan angkuh. Kalau hari mulai senja, angin seringkali berdesiran,menyapa dedaunan bambu sebelum mendorong anak-anak menceburkan diri ke kali.

Tuhan telah memberkahi desa inidengan batas-batas alam yang tegas. Gerbang desa di bagian selatan sebuah pintuirigasi besar, dan pos ronda berdinding pelupuh dan berlapik tanah. Sebelummelintasi bangunan irigasi, orang harus melintasi jalan kering penuh kerikil.Jika orang itu mengendarai motor atau sepeda, debu jalan pasti berhamburanmenyelimuti pandangan.

Hamid menghirup nafas dalam-dalamsaat menuruni angkot. Langkahnya berat, punggungnya memangul tas ransel. Hamidberjalan pelan. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Di depan, genangan airmemenuhi coak aspal rapuh, ia menyisir pinggiran jalan. Ia mencermati berbagai perubahan,menggelengkan kepala saat jalur masuk ke pelosok kampung sudah dipenuhitembok-tembok perumahan.

Hamid telah menjauh dari GarduPLN yang berjeruji di pinggir jalan tempat turun angkot. Kampung Kebon masihberada di pelosok, Hamid masih harus melepaskan waktu setengah jam hinggasampai di gerbang timur, di mana terdapat jembatan tua yang merebahkan diridengan tenang, tempat anak-anak bertolak melompat indah ke arus kali.

Siang itu, Hamid sangat lusuh.Sinar matahari yang menerobos celah pucuk-pucuk dedaunan menyusuri jenggotHamid yang mulai putih. Ia semakin terang telah menjadi ringkih dan tuamelebihi usia hidupnya. Dagu bulat dan kekar yang dahulu mencirikan Hamid, kinilisut hanya meninggalkan gurat pada kulit wajah yang kian hitam kemerahan.

Otot berisi yang dulumenggelombang di lengan Hamid, sekarang tinggal lekuk tulang menjulang darisiku hingga pundak. Sorot mata yang dalam, tempat Hamid menyandarkan perasaan,saat ini seperti sumur tak terpakai, tertutup kantung mata yang menggelembung.Rambut hitam tebal yang rajin Hamid sisir setiap habis mandi, kini kusut masai,rambutnya memutih tak berkilau lagi.

Sepuluh tahun lama kurungan bui,mempercepat datangnya tua bagi Hamid. Kemeja kotak-kotak putih, yang dulu iakenakan terakhir kali saat Polisi datang menjemputnya di rumah, telahmembenamkan tubuh Hamid. Celana panjang blacu berwarna hitam tampak komprang iakenakan.  Hamid menahan langkah, ia letihmenuruni jalan curam menuju jembatan, gerbang timur desa.

Hamid tetap mengenali desa, kenyataanhidup di bui sekian lama tak menghapus sejeda pun peristiwa itu. Peristiwa saatPolisi meringkus Hamid di rumah bertatak tanah miliknya, tempat seorang Ibu dankedua saudaranya mengiba kepada para tetangga, memohon-mohonkan pertolongan danpengakuan mereka semua, agar Hamid tak remuk oleh amuk keluarga Iis.

Peristiwadi mana Iis bersimbah darah, pemilik garba yang melahirkan bayi mati. Bayi yangdisebut-sebut orang merupakan janin buah persetubuhan terlarang dengan Hamid.Mengingat peristiwa itu, Hamid kembali merintih sedih. Ia mengayunkan langkahmenuju gubuk tengah sawah tak seberapa jauh dari jembatan. Ia butuh sendiri,mempertahankan lagi sisa tenaga, keyakinan dan harapan. Hamid lelah lantaslelap.

***
Iis adalah jelita desa. Ia temansekelas Hamid dari SD hingga SMP, tubuhnya biasa saja, tak terlalu montok, tapimasih berisi. Wajahnya disenangi banyak lelaki, alis tebal, bibir tipis mungil,rahang serasi, berkulit selicin mangga muda, hidungnya seperti menaungikeperawanan bibirnya. Kulit Iis menampilkan pesona gadis yang mekar dengan hawateduh dan manis air tanah di desanya, putih jernih.

Rumah Iis terpaut sedepa tempattinggal Hamid. Tiap hari berangkat sekolah, Hamid melintas rumah Iis, melewatikandangan ayam di tengah kebun pisang punya Drs. Mahmud, RT lingkungan rumahHamid. Drs. Mahmud, terhitung kerabat Iis, ia adalah menantu keponakan EmakIis.

Tiap harinya, selepas petangsebelum Adzan Maghrib berkumandang, banyak orang berkumpul di pendopo rumahDrs. Mahmud. Pendopo kekar itu bertopang tiang bundar menjulang dengan gentingkodok yang tebal-tebal.

Biasanya hadir Juned, bekasbromocorah kelas teri yang insyaf dan ditugasi mengamankan desa, Edi, pemudayang kebetulan anak Haji Nurhasan pedagang sekaligus orang terpandang, jadimeski pengangguran Edi tetap parlente bergelar lulusan SD. Satunya lagi adalahPak Zul, guru SD sekaligus SMP, lulusan diploma sekolah guru. Mereka biasabercengkerama, sekali bosan muncul, mereka pun asik main kartu, sedangkan Drs.Mahmud sehari-hari mengelola empang ikan dan ternak ayam.

Setamat SMP, Hamid takmelanjutkan sekolah, seperti anak muda lainnya, Emak  Hamid menukar sepetak tanah dengan sepedamotor. Tiap hari, Hamid mulai mengojek, mangkal di tepian warung Mpok Djuminah,letaknya di pinggiran jalan yang membelah desa. Warga desa membonceng ojekhingga ujung jalan besar untuk bepergian ke Jakarta.

Sejak tak melanjutkan sekolah,Iis semula hanya diam di rumah. Ia rajin membantu pekerjaan Mpok Rokhayah,Emaknya, juga membantu keluarga sang Kakak yang sudah beranak pinak. Rokhayahberpikiran bahwa keseharian tersebut akan membiasakan Iis mengurus rumah, tohsebentar lagi Iis akan bersuami, ia tengah mekar.

Namun tak lama kemudian, Iismemilih bekerja. Ia melamar sebagai buruh di pabrik tekstil milik Orang Korea, letaknyatak jauh dari desa, hanya dua puluh menit menggunakan jasa ojek. Saat itulahIis dan Hamid tampak kian mesra, orang-orang desa tanggap mengira merekamerajut kasih, kedua orang tua mereka pun merasa ringan dengan sangkaantersebut, toh mereka berdua bertetangga dan sejak lama saling kenal, duakeluarga besar di desa akan menyatu bila Iis dan Hamid berhasil memadu kasih.

Pabrik tempat Iis bekerjamenafkahi ratusan orang desa. Pabrik lahir dari sengketa. Lahan terpancaktembok kokoh pabrik bekas tanah bengkok, Lurah berkuasa akhirnya meluluskanrencana pembangunan, segala tetua desa dan para tokoh kemudian berembuk,termasuk Drs. Mahmud, Pak Zul, dan Edi. Kesepakatannya, tiap desa mendapatjatah pekerja di pabrik.

Iis masuk pabrik lewat kuasa Drs.Mahmud dan Pak Zul. Keluarga Iis semakin sungkan kepada mereka. Untuk Drs. Mahmud,keluarga Iis mengizinkan kebun di gerbang selatan desa untuk dijadikan empang.Sedangkan Pak Zul, sepertinya tak minta apa-apa, tapi acapkali Pak Zul datang bertandangke tempat Drs. Mahmud, Rokhayah sibuk mengirimkan kopi dan kue-kue.

Setelah empat bulan bekerja, danselama itu pula Hamid menjemput dan mengantar Iis, suatu malam waktu bubarburuh pabrik, Iis tak menunjukan batang hidung. Hamid celingak-celinguk kedalam gerbang, tapi tak ada Iis. Menurut keterangan karib Iis, dan tetanggaHamid yang kebetulan banyak jadi buruh pabrik, sejak siang Iis ditugasi keJakarta, mengantar kiriman. Akhirnya, Hamid menumpang menunggu di Pos Satpam,sebelum  ia bosan dan pulang ke rumah.

Keesokan pagi, Hamid mampir  ke rumah Iis.  Masih sepi terkunci rapat. Drs. Mahmud,tiba-tiba keluar dari rumahnya, menghampiri Hamid.

-Semua ke Rumah Sakit, kamu emanggak tau, Iis kecelakaan semalam. Kabar dari Drs. Mahmudmencengangkannya.

Hamid bergegas  ke Rumah Sakit, menyusul keluarga Iis,sembari membonceng Drs. Mahmud yang katanya ingin ke pabrik menemui atasan Iis,mengurus biaya pengobatan.

Sekembali Iis dari Rumah Sakit,cacat permanen menimpanya. Iis tak lagi dapat berjalan normal, kaki kirinyapincang, berbagai pengobatan alternatif ia lakoni, tapi nihil hasil. Uangpesangon plus ganti rugi dari pabrik sudah habis, uang itupun diberikan berkatjasa Drs. Mahmud dan Pak Zul.

-Sabar Is, ini memang sudahjalannya, ikhlas aja, pabrik hanya beri pesangon segini. Kalimat dari Drs.Mahmud dan sokongan Pak Zul coba menguatkan Iis.

Dari kejadian tersebut, entahmengapa kian hari hubungan Iis dan Hamid tampak renggang. Iis kerap tak acuhterhadap Hamid, begitupun Rokhayah dan saudara-saudara Iis. Rutinitas pagi,mengantar Iis ke pabrik sudah tak ada lagi. Emak Hamid juga melarang anaknyaberdekatan lagi dengan Iis.

-Jangan susahkan diri lu,Mid.  Emak mengingatkan  Hamid.

Hamid limbung dengan segalakejadian dan situasi yang terjungkir tiba-tiba. Hamid merasakan benih cintakepada Iis sejak duduk di bangku SD dulu, lantas bertumbuh sebagai bunga-bungasaat remaja, menjelma bebuah ranum dan sebentar lagi mereka petik bersama.

Dengan keadaan Iis seperti ini,Hamid lebih tak ingin Iis menjalani kemalangan sendirian. Tapi ia tak beranimelangkahi petuah orang tua hingga ia rencana dikawinkan dengan gadis desatetangga yang konon masih famili jauh.

Iis terancam hidup sebagai perawantua. Seperti berputus harapan, ia tak lagi mau  berdandan, kebanyakan mengurung diri. Dengankondisinya, Rokhayah yang makin menua semakin cerewet menyuruhnya ini dan itu.Menghadapi kemelut hidup, Iis hanya bisa berdiam. Ia kian awas terhadap tiap ucapan,Iis takut mendapat balas ucapan  menyengat dari sanak saudara.

Hamid ingat kejadian tengah malamterakhir itu, pekan sebelum masa hiruk pikuk kampanye tiga partai surut. Iismengajak Hamid bertemu. Ia memaksa Hamid mengantar ke jalan besar, rute utamamenuju desa dari sebelah utara, yang menghubungkan arus kendaraan dari Ibukotake selatan.

Sampai di pinggiran jalan, Iismeminta Hamid menurunkannya di sebuah Wartel, tepat samping Pom Bensin,berhadapan dengan toko bangunan yang lama setelahnya hangus terbakar dandijarah.

Ia memaksa Hamid meninggalkannyasendiri. Iis hanya mengatakan menunggu jemputan.

-Siapa? Hamid bertanya.

-Teman waktu kerja dulu, aku maumain ke rumahnya, besok sore kembali. Kalau sempat, pagi nanti kabari Ibukubegitu saja. Begitu Iis berpesan kepada Hamid.

Hamid melalui jalan tadi. Dipertengahan perjalanan, ia berpapasan dengan motor tua Pak Zul, meski tertutupjaket hitam dengan rapat dan kacamata hitam menutup bagian atas helm berkacalusuh, Hamid masih mengenalinya. Hamid yakin Pak Zul juga melirik kepada Hamid,namun entah mengapa tak bersapa.

Esok pagi, setelah melumatsingkong rebus dan meneguk kopi pekat, seduhan sendiri, Hamid mampir ke rumahIis. Tangan kiri Hamid menenteng kretek terbakar setengah, lainnya mengetuk pinturumah yang kian hari semakin senyap, dingin dengan dinding berkelupasan, empattiang beranda yang hampir terban, dan genting penuh lumut.

-Iis sudah kembali Mpok? Kalaubelum, paling nanti sore dia pulang. Semalam Hamid ngantar Iis ke jalan besar,katanya mau ke tempat teman kerjanya Siti. Begitulah Hamid sampaikan pesan Iis.

-Oh,yaudah, makasih Mid. Rokhayah membalasnya dengan dingin.

Sepertisadar akan suasana tak hangat, Hamid mengundurkan diri, lantas menuju kepangkalan. Hingga siang, meski bisa menjalani rutinitas, Hamid merasakankekhawatiran mendalam terhadap Iis. Beribu tanya membanjiri pikiran Hamid.
Berbulan-bulan setelahnya, tepathari Jumat di tengah era kebisingan yang meneriakan yel reformasi, sebuahperistiwa menggegerkan warga desa. Berbarengan dengan pembakaran-penjarahanmelanda di jalan besar sana, tempat hangusnya toko-toko klontong, berpuingnyarumah-rumah gedong, terdengar jeritan wanita menghenyak dari halaman rumah Iis.

Jeritan yang memuncak dengantangisan, membuat para tetangga menghambur keluar. Para lelaki baru sedikitberdatangan, mereka masih khidmat membuka lebar daun telinga, mendengarkanceramah Jumat Pak Zul, di Mesjid pinggiran jalan yang membelah desa. SelepasJumatan, mereka berbondong mengerubung rumah Iis.

Waktu itu, Hamid masih asik tidursiang hingga hampir senja. Jelang pernikahan, Hamid memang mencari uang ke sanakemari, dengan mengojek, mengobyek tanah, hingga jadi makelar buah-buahan darikebun warga desa. Maklum, keluarganya tak lagi punya kebun rimbun, sepetaktanah samping rumah sudah berpondasi, di sanalah Hamid hendak membangun gubukkecil, tempat malam pengantin nanti ia lalui.

Makian dan nyalak amarah merobekketenangan Hamid. Suara gaduh melatari gebrakan pintu rumah. Kaos oblong putihdan sarung masih berantakan Hamid kenakan. Sertamerta tudingan menghunjamdirinya, warga menempelak dan menyeret Hamid keluar. Hamid belum sempatmenyadari apa yang terjadi.

Terhuyung ia menabrak tanah.Sekilas ia melihat Edi, Drs. Mahmud, dan Pak Zul berada di barisan depan warga.Mereka seakan berhasrat  melumat tubuhHamid. Emak Hamid hanya bisa menjerit-jerit, kesetanan tak berdaya.

-Dasar anak kurangajar, Iis udahcacat lu buat sengsara. Hardik massa.

-Sekarang lu harus tanggungjawab.Tudingan lain diberengi hujan bogem mentah.

Rokhayah menghablur wajah amarahmassa dengan suara lebih pilu. Rokhayah mengamuk bak singa betina, menjeritmeminta nyawa Hamid.  Massa jadi lebihberingas.

Hamid jadi tersangka, bertanggungjawabatas kehamilan, keguguran, dan berakhir dengan meninggalnya Iis.

Pertolongan baru datang saatBapak Koramil, Lurah, Kepala Pospol menerobos kerumunan. Mereka menenangkanwarga desa, membawa serta Hamid ke kantor kelurahan. Emak Hamid menyusul,keluarga Hamid  terkesan enggan menemani,namun tetap mereka antarkan Emak Hamid kepada anaknya.

-Bisa atau tidak, ia harusdijebloskan ke penjara. Pernyataan Pak Lurah itu diangguki Drs. Mahmud, Edi,dan Pak Zul.

-Untukproses hukum, biar nanti kita atur. Pak Lurah meyakinkan yang lain.

-Kejadian ini jangan sampai menyulut kerusuhan yang bukan-bukan, kita masihharus waspada sedang ada kerusuhan di mana-mana. Pak Lurah mengingatkan keadaanyang memaksa.

***
Beberapa jenak telah tuntas,Hamid sempat terlelap pulas. Ia bangun, lantas menggosok pelupuk mata denganjemari. Hamid mengelus rambut kusut, menghela nafas, membuang pandang pada tigapetak empang di depan gubuk di pinggiran jalan dekat jembatan itu.

Hamid menguap, menarik punggungke belakang. Kesadaran berhembus kembali. Penglihatan Hamid pun segera cermat.Ia membetot perhatian, melototi tempelan kertas di dinding pelupuh gubuk.  Terdapat benyak tempelan, yang satu menimpakehadiran yang lain. Beberapa tempelan sobek, di sana terpampang wajah berikutnama empunya wajah. Di sana berderet nama dan wajah berhias lambang-lambangpartai;

-Drs. Mahmud Zaenudin, M.si,Caleg bermartabat, Putra Desa, Membela Kepentingan Rakyat.

-Zulfikar Ali, M.Pd, PemimpinBerhati Bersih, Berjiwa Pancasila dan Religius.

-Edi Hakim, S.E, Ketua KarangTaruna, Tulus Berbakti untuk Negeri.

Seketika Hamid mengingat, duatahun lalu, saat Emak terakhir menjenguk. Pesannya, janganlah ia kembali keKampung, rumah sudah habis terjual, untuk biaya beli motor adik lelaki Hamiddan pernikahan kakak perempuannya.

-Jangan kembali ke sana, pergilahke mana kau suka, berbuat baik kepada tiap orang, jangan dendam. Toh ini hanyadunia, tempat orang menikam demi harta dan meyiram dusta.

-Desa jadi lebih berbahaya untuk lu,Mid. Emak mendesak Hamid jangan pulang ke desa.

Senja itu juga, Hamid mengurungkanniat. Ia balik kembali melintasi jembatan. Sorak anak-anak kampung yangbertelanjang bulat, siap melompat ke arus kali, merupakan salam perpisahanHamid. Dari orde ke orde, desa tetap sama, sederhana dan lugu, sedangkankepintaran bagi sedikit orang merupakan peluang memanfaatkan ketulusan desa danwarganya.

Depok, Juli 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun