Berbicara tentang remaja, tentu tak bisa dilepaskan dari problematika yang sedang dihadapinya. Remaja  dan problematika merupakan sebuah entitas yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Remaja sendiri memiliki satu tempat yang istimewa di dalam tahap perkembangan manusia.
Bagaimana tidak, disebut remaja karena baru beranjak dari fase anak-anak, dan belum menginjak pada fase dewasa.
Dengan kata lain remaja dalam tahap perkembangan merupakan fase transisi dari fase anak-anak menuju fase dewasa.
Fase remaja sendiri merupakan fase yang identik dengan kekacauan, kekalutan, penuh emosi, dan stigma negative lainnya yang dialamatkan oleh masyarakat kepada remaja.
Dalam literatur ilmu psikologi, Erik erikson dalam teorinya menyebutkan bahwa pada fase remaja, individu mengalami krisis identitas atau kekacauan identitas.
Individu mulai mennggali lebih jauh siapa dirinya, dan juga mulai mencoba untuk mengambil peranan dalam suatu struktur masyarakat.
Pada krisis identitas ini, individu akan mengalami distorsi ego sehingga tak jarang dari fase ini banyak orientasi remaja yang justru diwujudkan menjadi sebuah perilaku maladaptive karena kegagalan individu dalam mengintegrasikan bakat dan aspek psikosisal di lingkungan tempat individu berada. Entah di lingkungan sekolah, keluarga, ataupun masyarakat.
Dalam kacamata psikologi pendidikan, teori behavioristik masih dipandang sebagai teori yang memberikan sumbangsih terbesar dalam proses pembelajaran kita saat ini.
Percaya atau tidak, kita harus mengakui bahwa pendidikan kita saat ini masih berkiblat pada teori behavioristik yang menekankan pada kedisplinan dari setiap peserta didik.
Dari jenjang pendidikan terendah (TK) sampai jenjang pendidikan paling tinggi yaitu universitas, behavioristik masih menjadi alternative terbaik dalam membentuk karakter peserta didik.
Memang, tak ada teori tunggal yang bisa diaplikasikan dalam sebuah metode pembelajaran, artinya dalam suatu metode pembelajaran pasti terdiri atas gabungan dari beberapa teori. Disertai dengan reward dan punishman, behavioristik menekankan pada perilaku yang nampak sebagai hasil dari proses belajar.
Kemudian, wajar saja jika kita mulai mempertanyakan keefektifan teori belajar behavioristik sebagai upaya untuk membentuk karakter dan juga sebagai peredam atas problematika yang sering dihadapi oleh remaja, jika kita melihat bahwa dari waktu ke waktu tingkat kenakalan semakin meningkat. Berbagai macam kenakalan remaja bisa kita temukan mulai dari kasus narkoba, pornografi, tawuran dan lain sebagainya.
Data demografi Indonesia mengatakan bahwa penduduk usia remaja mencapai angka 30%.
Namun ironisnya, sekitar 50-60% remaja tersebut merupakan pengguna narkotika (Badan Pusat Statistik Kriminalitas).
Lebih parah lagi, sebanyak 48% merupakan pecandu aktif. Sebanyak 90% kasus pornografi yang beredar dalam beberpa tahun terakhir diperankan oleh remaja. Dan sebanyak 91% Â remaja pernah mengalami bullying, entah sebagai korban atau pelaku.
Lalu apa yang salah dengan model pendidikan yang kita punya saat ini ? apakah teorinya ? apakah penerapannya ? atau ketidakpahaman para perumus kebijakan pendidikan kita saat ini untuk memaksimalkan potensi dari setiap peserta didik  ?
Saya pribadi agak bertanya-tanya, mengapa objek dari psikologi pendidikan hanyalah peserta didik ? mengapa psikologi pendidikan tidak menempatkan juga para pembuat kebijakan pendidikan sebagai objek yang harusnya ikut dikaji juga ?. toh bisa jadi, bisa jadi masalah pendidikan kita ini justru terletak pada system pendidikan yang berlaku saat ini, yang sudah pasti dirumuskan oleh para perumus kebijakan.
Tidak hanya saya, mungkin banyak dari teman-teman yang juga sempat terfikir bahwa kebijakan gonta-ganti system pendidikan berpengaruh besar atas dinamika pendidikan beserta rupa-rupa kenakalan remaja yang mengiringinya.
Beralih dari kiblat behavioristik, saya tertarik dengan pernyataan salah satu guru besar universitas ternama Indonesia yang mengatakan, bahwa sudah saatnya kita beralih dari kiblat behavioristik menuju kiblat pembelajaran konstruktivistik.
Jika kita analisa lebih jauh lagi, konstruktivistik mempunyai prinsip-prinsip pembelajaran yang bertolak belakang dengan teori behavioristik.
Jika dalam behavioristik peran guru merupakan pemain tunggal sebagai pentransfer ilmu, maka dalam kacamata konstruktivisme guru dianggap sebagai  partner atau fasilitator bagi peserta didik dalam menerima dan mempelajari ilmu-ilmu baru.
Saya pribadi lebih setuju jika model pendidikan bisa berkiblat pada teori konstruktivistik. Karena akan lebih mudah bagi siswa untuk mengembangkan potensi, bakat, maupun minatnya.
Karena konstruksi artinya membangun pengetahuan yang didapatkan dari hasil pengalaman-pengalaman yang telah melalui proses asimilasi dan juga akomodasi, sehingga membentuk suatu konsep pengetahuan baru.
Tidak ada salahnya jika kita mulai berpindah haluan menuju paradigma konstrukstivistik. Karena jika melihat analisa erik erikson diatas, perilaku maladaptive remaja disebabkan karena kegagalan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki dalam lingkungan tempat ia berada.
Kita juga tidak bisa mengabaikan bahwa lingkungan keluarga berperan besar sebagai faktor utama dalam proses pembentukan karakter siswa.
Namun melihat data dan fakta bahwa tingkat kenakalan remaja semakin meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan persepsi tersendiri bahwa treatment-treatment kedisiplinan yang sudah ditanamkan sejak kecil di sekolah seolah tidak berdampak sama sekali pada perilaku siswa ketika ia berada diluar lingkungan sekolah.
Terakhir, saya pernah membaca uraian singkat dari buku  Why Asians Are Less Creative Than Westerners karangan prof. Ng Aik Kwang yang mengulas beberapa hal tentang mengapa bangsa asia tidak lebih kreatif dari bangsa barat.
pertama bagi kebanyakan bangsa asia, ukuran sukses bisa diukur dari seberapa banyak materi yang dimiliki. Sehingga passion kurang mendapat reward dalam pekerjaan.
Tak heran jika bidang kreatifitas kalah popular dengan profesi seperti dokter, pengacara, hakim dan sejenisnya yang dirasa bisa menjadikan status social seseorang naik lebih cepat disbanding mereka yang lebih menghargai Passion dalam bekerja.
Kedua bagi kebanyakan bangsa asia, jumlah kekayaan yang dimiliki lebih dihargai ketimbang proses untuk mendapatkan kekayaan tersebut.
Sebagai contoh,seringkali guru mengatakan pada muridnya untuk mengerjakan tugas sebisanya, sesuai kemampuannya daripada mencontek.
Tapi bagaimanapun juga, guru akan tetap mengapresiasi murid yang mendapat nilai 10 daripada murid yang mendapat nilai 5. Entah nilai 10 itu didapatkan dari hasil mencontek ataupun bukan.
Tak heran pula jika masih banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Bahkan agaknya korusi tidak lagi dianggap sebagai extraordinary Crime, melainkan korupsi mulai dianggap seni bagi mereka yang menjalankannya.
Ketiga bagi bangsa asia, pendidikan itu identik dengan hafalan berbasis kunci jawaban dan bukan pada pengertian. Mulai dari ujian nasional hingga ujian masuk perguruan tinggi, peserta didik diharuskan berfikir secara konvergen alih-alih diarahkan untuk berpikir divergen.
Oleh karena berbasis hafalan, secara tidak langsung murid di didik menjadi " jack of all trades, but master of none"Â (tahu sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun.
Para sarjana maupun mahasiswa diharuskan untuk menghafal berbagai macam rumus ketimbang diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana rumus itu diterapkan.
Prof. Ng Aik Kwang juga menawarkan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut.
Menghargai proses, hasil memang penting, tapi proses yang dilalui untuk mencapai hasil itu yang harus lebih diapresiasi.
Menghentikan pendidikan berbasis kunci jawaban, ini membuat murid tidak nkreatif dan cenderung terpaku pada satu jawaban yang benar. Sehingga murid tidak bisa mengembangkan konstruksi pengetahuan yang telah dibangunnya.
Mendorong untuk lebih menghargai passion, membiarkan murid memilih bidang yang sesuai bakat dan minatnya lebih baik daripada mengarahkan peserta didik untuk bekerja pada lembaga atau perusahaan besar.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kampus atau universitas tak ubahnya pabrik yang memasok tenaga kerja 'kerah putih' ke perusahaan-perusahaan besar.
Pendidikan itu bukan sedang mengisi ember,
Tetapi pendidikan itu menyalakan api
William Butler Yeats.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H