Mohon tunggu...
Ahmad Kafil Mawaidz
Ahmad Kafil Mawaidz Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani - Umar bin Khattab

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinau di Negeri Maiyah

2 April 2018   09:34 Diperbarui: 8 April 2018   20:35 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bulan Maret ini saya diperjalankan untuk menghadiri beberapa simpul senior dalam lingkarang maiyah. Dikatakan senior karena simpul ini keberadaanya sudah mencapai dua digit angka dalam tahun. Ke-4 simpul yaitu; Padhang Mbulan, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan, dan yang terakhir Mocopat Syafa'at. Keberadaan simpul ini sudah tidak asing lagi bagi mereka para jama'ah maiyah nusantara. Letak maiyahan pun masih istiqomah di tempat-tampat biasanya diselenggarakan maiyahan sebelumnya. 

Padhang Mbulan yang terlaksana pada 2 Maret diadakan di area Ndalem Sepuh Desa Sumobito Kecamatan Menturo Kabupaten Jombang. Kenduri Cinta yang betempat di jalan Raya Cikini No.23 Jakarta, tepatnya di area parkir Taman Ismail Marzuki dilaksanakan pada 9 Maret. Bangang Wetan yang biasanya diadakan sehari setelah Padhang Mbulan, kali ini bergeser ke tanggal 11 Maret bertempat di Balai Pemuda Surabaya. Menuju Yogyakarta, Mocopat Syafa'at yang berlangsung tanggal 17 Maret, bertepatan dengan hari Raya Nyepi diselengarakan di TKIT Alhamdulillah Jetis, Tamantirto, Bantul, Yogyakarta.

 

Padhang MBulan

Padhang Mbulan edisi kali ini bertemakan 'Abdan-'abdiyya,  Sinau Mbarek Maestro Kanjeng. 'Abda 'abdiyya bermakna hamba yang benar-benar menghamba dan sinau mbarek maestro kanjeng adalah sinau kepada kiai kanjeng yang semuanya suah mencapai taraf maestro. Seperti yang kita ketahui bulan Maret adalah bulan ulang tahun kiai kanjeng. 

Seperti maiyahan akhir-akhir ini Cak Nun berpesan kepada anak cucu jama'ah maiyah untuk menemukan dirinya sendiri sembari bekerja lebih keras, tekun setekun tekunnya sampai menjadi ahli yang tanpa disadari nantinya akan bisa menjadi cahaya yang dicari-cari orang. Pesan lain yang disampaikan Marja' maiyah  adalah kita jangan terlalu mencemaskan hidup, konsentrasilah kepada Allah. 

Kita harus mengenali tanda-tanda ketika Allah meridloi langkah kita maupun yang tidak. Di sela acara, Mas Helmi, Mas Jamal, dan Mas Harianto secara bergantian membacakan kembali tulisan Mbah Nun perihal "Kepemimpinan Hidup Warga Negeri Maiyah", yang kemudian diusulkan oleh Mbah Nun untuk dijadikan mukaddimah atau pembukaan pada piagam maiyah yang sedang digodok oleh tim.

Selain itu, juga dibacakan sebuah puisi dengan judul Kemana Anak-Anak Itukarya Emha oleh 3 jama'ah yang dipilih secara random sebelumnya.

Suasana kali ini masih nuansa berkabung, mengingat salah satu maestro kiai kanjeng Bapak Ismarwato atau yang lebih dikenal dengan Pak Is, empunya seruling kiai kanjeng meninggal dunia pada 25 Februari yang lalu.

Selain sinau musik kiai kanjeng, kali ini kita juga sinau kepada Pak Is. Kita mengingat sambil mengambil pelajaran dari laku kehidupan pak Is yang bisa kita ambil nilainya dan kita terapkan di kehidupan masing-masing. Seperti salah satu contohnya, Pak Is selalu pulang membawa tanaman dari tempat setelah dia maiyahan, kemudian dia tanam kembali di pekarangan rumahnya. 

Tak hanya itu Pak Is juga sering kali membawa buah-buahan hasil tanaman di pekarangan rumahnya saat latihan bersama Kiai Kanjeng. Para personel Kiai Kanjeng meyampaikan pegalamannya bersentuhan dengan para personel lainnya yang sudah mendahului menghadap kepada-Nya. Tidak lupa mereka bernostalgia dengan peristiwa-peristiwa lucu yang akan terus dikenang sepanjang masa. 

Pak Bobiet yang merupakan teman abadi sekamar dengan almarhum, bercerita mengenai hari-hari terakhir bersama Pak Is di rumah sakit dan juga pesan burung yang mendatangi rumahnya pada malam hari sebelum Pak Is meninggal seperti yang sudah dituliskan oleh Mas Helmi Mustofa di web caknun.com dengan judul kabar "Burung" dari Pak Is untuk teman sekamarnya.

Pada pembahasan sinau kepada kiai kanjeng, mereka menceritakan pengalamannya perjalannya. Mereka membagi empat besar bagian perjalanannya yaitu, pertama era teater dinasti, era kiai kanjeng, era sholawat, era maiyah. Dengan pementasan yang sudah mencapai tiga ribuan lebih, kiai kanjeng sudah menjelajah berbagai pelosok nusantara hingga mancanegara. Tidak sedikit yang kagum atas musikalitas kiai kanjeng. 

Misalnya, kecepatan pemukulan saron yang sangat cepat dengan satu tangan pada nada yang tinggi dan dilakukan dengan mata tertutup alias merem oleh Pak Joko SP.

Dari situ mereka kemudian langsung disuruh oleh salah satu guru musik di Napoli, Italia untuk mengadakan workshop kemusikan. Modifikasi alat musik pada kiai kanjeng juga menarik. Gamelan ciptaan Pak Nevi tidak seperti umumnya yang terbuat dari kuningan, gamelan kiai kanjeng terbuat dari besi agar suaranya terlihat lebih tajam dengan vibrasi yang lebih sedikit. 

Satu lagi biola Pak Ari yang berkontruksi barat tapi bisa digunakan untuk lagu-lagu arab. Seruling yang dipakai Pak Is pun buatan sendiri, bambunya dipilih sendiri, sehingga dia yang tahu mana yang untuk dangdut, pop, atau musik lainnya.

Pada malam itu juga dilakukan pelelangan satu paket seruling buatan Pak Is yang terakhir dibuatnya sebelum meninggal. Melalui pelelangan yang cukup alot, akhirnya sepaket seruling yang berisi 13 buah tersebut berhasil terjual dengan harga 12 juta rupiah yang sudah menjadi kesepakatan sebelumnya. Hasil dari lelang sepenuhnya diberikan kepada Bu Is, yang malam itu juga berkesempatan hadir di Sentono Arum.

 Kenduri Cinta

Menuju ibukota Indonesia, Jakarta, kita mampir ke Kenduri Cinta. Ini adalah pertama kali saya menghadiri simpul maiyah kace. Setelah setelah mencari tahu akses menuju ke Taman Ismail Marzuki akhirnya tanggal 9 Maret siang saya berangkat ke Jakarta via udara, dan ini juga pertama kalinya saya naik pesawat terbang. Karena pesawat mengalami delay satu setengah jam, saya sampai di Bandara Soekarno Hatta sore hari, kemudian naik bus bandara tujuan stasiun Gambir. 

Karena Stasiun Gambir bersebelahan dengan Monas, saya putuskan untuk sejenak menikmati keindahan monas, kemudian baru saya melanjutkan perjalanan ke Taman Ismail Marzuki via jalan kaki. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, saya sampai di lokasi Kenduri Cinta saat para jama'ah membaca Surat Yasin yang tidak lain ditujukan kepada almarhum Pak Is. 

Selesai mendoakan Pak Is, diskusi malam itu dimulai dengan mengangkat tema Tuan Rumah Diri Sendiri. Sebelum masuk memperbincangkan tema lebih dalam, para penggiat Kenduri Cinta memperkenalkan formatur pengurus Kenduri Cinta yang baru, yakni periode 2018 -- 2020.

Mas Fahmi Agustian terpilih menjadi ketua, didampingi Mas Tri Mulyana sebagai wakil ketua dan Mas Sigit Hariyanto sebagai Sekretaris. Adanya tim pengurus ini supaya penyelenggaraan forum maiyahan Kenduri Cinta kedepannya bisa lebih rapi dan terus menerus lebih baik lagi dan bisa istiqomah.

Fahmi Agustian menjelaskan bahwa adanya tim pengurus ini tidak mengubah prinsip maiyah agar menjadi organisasi yang padat, melainkan hanya pembagian tugas, agar tujuan kita semua tercapai.

Fahmi menambahkan seperti tim sepak bola ada yang bertugas menjadi kiper, striker, gelandang, dan sebagainya yang masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda. 

Setelah sambutan dari beberapa penggiat terpilih, sebelum narasumber selanjutnya, jeda maiyahan diisi oleh musik dari Mas Bobby dan Orkes Semberengen yang semakin mengasyikkan suasana.

Setelah beberapa lagu dinyanyikan, diskusi sesi pertama dimulai dengan narasumber Mas Husein Ja'far seorang mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan mas Harico seorang Direktur Eksekutif Komunikonten.

Mas Husein membuka penjelasannya dengan mengacu pada hadits : man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya, demikian terjemahannya.

Mas Husein mengajak seluruh jamaah agar menemukan jati dirinya sendiri, memaksimalkan potensionalitas diri agar dikelola semaksimal mungkin sampai benar-benar menjadi ahli. 

Mekanisme khilafah yang ditugaskan kepada manusia bisa terlaksana kalau semua orang berdaulat atas dirinya sendiri, saling mengisi, bukan saling mengungguli namun saling melengkapi.

Selain itu mas husein mengajak jamaah untuk kembali menengok sejarah. Bahwa dalam menyusun peraturan atau hukum yanag berlaku, pemimpin muslim memberikan kedaulatan penuh kepada rakyatnya terkait hal-hal yang bersifat kemanusiannya sendiri.

Di sela-sela sesi diskusi pertama cak nun telah sampai di kenduri cinta kemudian duduk di bawah sebelah kanan panggung bagian belakang. 

Sesi selanjutnya giliran mas Harico mengelaborasi tema malam itu dari sisi pandang media sosial. Menurutnya, orang-orang sekarang banyak yang menjadi follower dan hampir pasti meng-iya-kan apapun yang dilontarkan dari apa yang diikuti.

Akibatnya mereka terjebak dalam informasi yang tidak valid, sehingga menimbulkan kegaduhan yang tak pernah berhenti.

Setelah pemaparan mas Harico selesai, berakhir pula sesi diskusi pertama dan dilanjutkan perform dari teman-teman Kandank Jurank Doank bersama Dik Doank. Ini pertama kalinya saya berjumpa langsung dengan Dik, setelah lama sejak masa kecil sering melihat di televisi swasta nasional sebagai presenter.

Sebelum membawakan lagu ikhlas itu indah, Dik menyapa jamaah dengan ilustrasi kisah nabi Ibrahim dan ismail sewaktu dialog sebelum proses penyembelihan. 

Dik bertanya, siapa yang lebih hebat? nabi Ibrahim atau Nabi Ismail? para jamaah saling besahutan, ada yang menjawab Ibrahim dan tak jarang pula yang menjawab Ismail. Kemudia Dik menginterupsi, bukan keduanya namun yang hebat adalah ibu Siti Hajar. Bayangkan ibu siti hajar ditinggalkan oleh nabi Ibrahim di dataran tandus mekkah bersama Ismail tanpa diberi bekal yang cukup dan belum tau kepastian kapan kembali. 

Tiba-tiba kembali membawa berita kepada anaknya mendapat perintah tuhan untuk disembelih. Apa yang diajarkan oleh Siti Hajar kepada Ismail tentang bapaknya sehingga dia menurut begitu saja bahwa bapaknya adalah orang baik, pejuang fi sabilillah, yang melaksanakan apapun perintah tuhannya.

Tanpa landasan dasar seperti itu, apakah ada anak mau begitu saja disembelih meskipun itu perintah tuhannya? Lebih lanjut lagi, Dik menceritakan bagaimana perjuangan ibu Siti Hajar berlari dari Sofa ke Marwah tujuh kali berturut-turut tanpa pernah menyerah dan putus asa hanya untuk mencari air demi anaknya, yang akhirnya dibalas tuhan dengan muncullah air zam-zam di kaki Ismail kecil yang sampai sekarang belum habis dan masih diminum oleh orang-orang di seluruh belahan dunia seketika tiba di makkah, dan itupun siti hajar tak pernah mampu untuk memilkinya. 

Itulah ikhlas, kita memberikan yang terbaik, meskipun belum tentu kita bisa memilikinya. Ikhlas tidak ada malaikat yang mencatat, karena itu adalah hubungan langsung antara hamba dan tuhannya. Ikhlas itu seperti buih di lautan yang tidak lagi memerlukan pantai. ikhlas adalah menerima apa adanya tanpa mengeluarkan kata-kata atau sikap yang bisa memperburuk keadaan. 

Ikhlas adalah kendaraan ruh spiritual yang kelak akan meninggi dan membumbung tinggi di dalam kedalaman sehingga allah bersedia memberikan ridloNya sehingga akan membukakan kita sebuah pintu keberkahan.

Kemudian dilanjutkan menyayikan lagu ikhlas itu indah dengan diawalai membaca surat Al-Ikhlas yang diikuti oleh seluruh jama'ah. Menyambung lau ikhlas itu indah adalah janda Zaenab yang kemudia dilanjutkan membaca sholawat untuk mengiringi Mbah Nun agar bersedia naik ke panggung. Perenungan yang dipaparkan oleh Dik kala itu membuat konten diskusi semakin berbobot dan berisi, saya pun sangat terkagum dibuatnya.

Mbah Nun pada kali ini menekankan kepada para jamaah untuk menjadi manusia ruang bukan manusia perabot. Manusia ruang adalah shiddiq atau manusia yang bersedekah, meskipun dalam konteks lain shiddiq bisa bermakna jujur.

Orang yang shiddiq adalah orang seimbang hidupnya dan juga tidak akan pernah habis. Anda senang di maiyah karena sedang berada pada resonansi rohani, paparnya. 

Kita menjadi ruang bagi siapapun. Seperti gelas rohani ynag tak akan pernah penuh diisi meskipun kita disini sampai jam 3 pagi, lanjutnya. Seperti guru yang mengajarkan ilmu kepada muridnya, bukannya ia malah semakin bodoh atau ilmunya berkurang. Melainkan sebaliknya, ilmunya semakin bertambah dan semakin paham terhadap ilmu tersebut. Sedangkan manusia perabot adalah manusia peminta-minta identitas. 

Mereka tidak berdaulat atas dirinya sendiri, tidak memiliki keluasan dan kedalaman jiwa, sehingga mereka selalu berpikir secara materil. Setelah beberapa lagu dari Dik Doank, penjelasan Mas Sabrang mengenai personalitas dan identitas, perform Beben Jazz dengan Dik, Kenduri Cinta berakhir hampir pukul empat pagi yang dipungkasi dengan salaman kepada Mbah Nun.

Bangbang Wetan

Setelah menengok ibukota mari kita kembali ke Timur, kita melingkar di Bangbang Wetan Edisi Maret yang kali ini diselenggarakan pada tanggal 11 Maret 2018 bertempat di halaman Balai Pemuda Surabaya.

Bangbang Wetan adalah forum maiyahan rutin yang pertama kali dan paling banyak saya ikuti diantara simpul lainnya. Tidak lain karena faktor jarak dari domisili ke tempat maiyahan yang dekat, dan lebih mudah dicapai dengan sepeda motor. Diskusi saat itu bertemakan Etnotalentalogi. Kali ini saya agak telat hadir di tempat acara, karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. 

Singkat cerita saya sampai di tempat sekitar pukul sepuluh malam waktu setempat. Setelah sesi sharing jama'ah mengenai pengalaman maiyah maupun respon mereka terhadap tema.

Respon yang sangat menggugah saya kala itu disampaikan oleh Pak Didit HP, yang merupakan Pembina sekolah alam Sanggar Alang-alang yang tanpa henti-hentinya mengasah dan mengasuh bakat dari anak jalanan yang kurang diperhatikan pendidikannya, baik oleh pemerintah maupun oleh lingkungan sekitarnya. 

Sudah banyak talenta atau bakat yang kemudian menjadi juara dan diakui oleh banyak orang hasil olahan Pak didit, sebut saja Grup Musik Klantink yang menjadi juara pada ajang pencarian bakat di salah satu TV swasta, klub sepak bola jalanan yang menjuarai piala dunia anak jalanan di Brazil pada tahun 2004.

Kesungguhan Pak Didit dalam menemani anak-anak untuk menemukan bakat mereka sendiri perlu diacungi jempol. Pasalnya Pak Didit selalu berpesan kepada anak didiknya agar mneciptakan yang khas oleh dirimu sendiri, begitu pesannya.

Usai paparan dari Pak Didit, grup musik "Padhang Howo" mencairkan suasana sekaligus mengiringi kedatanagan narasumber utama malam itu, yakni Mas Sabrang, Pak Suko, dan Pak Joko. Pak Suko mempersilahkan Pak Joko untuk yang pertama merespon jamaah atau memberi tanggapan mengenai tema sebelum nanti Mas Sabrang. Pak joko sangat atraktif menyajikan data-data prediksi masa depan mengenai posisi Indonesia. 

Dengan gaya bicara yang sangat ekspresif, secara tidak langsung Pak Joko memberikan rasa optimisme kepada para jama'ah mengenai Indonesia ,yang berpotensi menjadi Negara Super Power pada tahun 2050 mendatang.

Tak hanya menyajikan data- data realis maupun prediktif dari lembaga survey, Pak Joko juga memberikan analisis politik para Negara maju agar dia terus menjadi Negara kuasa dan tak mau kalah. 

Mas Sabrang menambahkan, bahwa Indonesia mempunyai talenta yang luar biasa, namun sistemnya tidak cetha.Meyambung Mas Sabrang, Kyai Muzzammil yang hadir di tengah-tengah acara menegaskan bahwa kita jangan terlalu bias terhadap Negara-negara barat atau Negara manapun yang dianggap maju. Indonesia harus maju dengan ke-Indonesian-nya sendiri, tidak perlu tiru-tiru yang justru akan menghilangkan sejatinya Indonesia. Setelah dirasa cuku, Bangbang Wetan mala mini diakhiri dengan shalawatan tepat menjelang pukul setengah empat pagi dua belas maret.

 Mocopat Syafa'at

Setelah jedah hampir seminggu, kali ini belajar di Negeri Maiyah memperjalankan saya ke simpul Mocopat Syafa'at. Ini adala kali kedua saya kesini, setelah yang pertama kali pada Ramadlan tahun lalu. Karena pada kesempatan pertama yang lalu pulang pergi dengan menggunakan kereta api, kali ini saya menggunakan bus umum.

Selain terkendala jadwal kereta, saya juga ingin memperluas wawasan tranportasi dari Lamongan menuju Yogyakarta dengan naik kendaraan umum. Jam tepat pukul setengah dua siang, setelah menghadiri resepsi pernikahan teman SMA di daerah Lamongan kota, saya naik bus menuju terminal Bojonegoro. 

Harus oper bus sampai tiga kali agar bisa sampai ke terminal iwangan, Yogyakarta. Pertama, dari Lamongan menuju Bojonegoro. Selanjutnya, dari terminal Bojonegoro menuju terminal Ngawi, dan yang terakhir dari terminal Ngawi menuju Yogyakarta.

Setelah sampai di terminal Giwangan, saya naik ojek menuju lokasi Mocopat Syafa'at yang berada di TKIT Tamantirto, Bantul dan akhirnya saya sampai tepat pukul setengah sebelas malam.

Tema malam itu adalah "Tauhid Penghidupan". Kalimat pertama yang saya garis bawahi dari Mbah Nun adalah 'kita harus me-ma'rifat-i segala sesuatu, artinya kita harus melihat dan lebih keras daam usaha memahami sesuatu dari pagkal sampai ujungnya'.

Memasuki tema Mbah Nun menjabarkan bahwa penghidupan yaitu usaha kita untuk merawat kehidupan. Slain itu, Mbah Nun juga mengajak jama'ah untuk mundur satu langkah dalam berindak, bermuhasabah kembali atas segala tindakannya agar kedepannya langkah kita lebih komprehensif, lebih presisi, lebih adil terhadap segala laku hidup.

Di Mocopat Syafa'at kali ini juga hadir Pak Tanto Mendut, Kyai Muzzammil, Pak Toto Rahardjo, serta Mas Sabrang. Selain membahas tema, MS kali ini juga masih dalam suasana mengenang almarhum Pak Ismarwanto serta belajar darinya bersama kiai kanjeng juga, belajarbukan hanya pada musiknya melainkan juga kehidupan yang isa kita ambil nilainya. Berbeda pada saat maiyahan di Padhang Mbulan, kali ini yang diberi kesempatan bercerita perihal kesan atau kenangannya terhadap almarhum yang masih diingat hingga saat ini adalah para jama'ah.

Pak Toto Rahardjo memberikan ruang bagi jam'ah yang ingin mengungkapkan kesannya kepada Almarhum Pak Is. Ada beberapa respon saat itu, seperti Mbak Tamalia yang mengatakan bahwa entah kenapa pada saat maiyahan di Polinema, ia memoto Pak Is padahal tidak ada niatan sebelumnya. perlu diketahui bahwa maiyahan di Polinema Malang pada Januari lalu adalah maiyahan terakhir Pak Is. 

Mas Arbi yang meminta bartanya Quotes peninggalan atau khas Pak Is kepada bapak-bapak Kiai Kanjeng. Bahkan ada salah satu jama'ah yang menyebut Pak Is adalah wali kali Condet, karena waktu sebelum Pak Is meninggal tidak pernah ada kebanjiran, namun, setelah Pak Is tiada terjadi kebanjiran. Begitulah beberapa respon yang saya ingat pada malam itu.

Giliran Kyai Muzzammil, beliau menuturkan bahwa tidak ada hadits yang mengharamkam musik, yang ada itu malahi, sesuatu yang melalaikan kepada allah. jadi bukan musiknya yang diharamkan, namun akibat dari kita menikmati sesuatu sehingga lalai kepada-Nya lah yang tidak diperbolehkan. Setelah pemaparan Kyai Muzammil selalesai, dilanjutkan dengan respons dari Mas Sabrang. 

Mas Sabrang merenspon tafsir yang sebelumnya ditanyakan Mbah Nun kepada Kyai Muzzammil bahwa sebenarnya siapa saja boleh menafsirkan Al-Qur'an. Tapi hal itu tidak untuk dibenar-benarkan kepada orang lain, atau orang lain harus mengikuti tafsirnya, kalau tidak maka orang itu salah. Menurutnya, tafsir adalah apapun yang ada di luar diri kita. Jadi kita tidak pernah benar-benar mengenal orang lain, itu hanya impresif diri kita terhadap orang lain. Kalau benar-benar mengenal orang lain, maka kamu tidak akan kecewa.

Acara selanjutnya diisi dengan lagu dari kiai kanjeng 'Dunia La Tarham' dan diteruskan dengan musikalisasi Puisi oleh Pak MushofaW.Hasyim featKiai Kanjeng dengan judul 'Taun Banyu, Banyu mili'. Sebelum musikalisasi Puisi, Mbah Nun sendikit meceritakan pengalaman beberapa perjalanan Kiai Kanjeng di Luar Negeri. Beberapa pelajaran dari Pak Is yang kita ambil adalah, Pak Is itu orangnya kalau ngene ya ngene dengan kata lain Pak Is itu orangnya sangat disiplin, sangat teguh pendiriannya, sangat berdaulat atas dirinya. Beliau selalu siap sebelum waktunya atau intime pada rundown atau jadwal yang sudah ditetapkan oleh manajemen Kiai Kanjeng saat acara dimana-mana. Mocopat Syafa'at berakhir kala itu sekitar setengah empat waktu setempat.

Begitulah beberapa pelajaran yang dapat saya ambil dan terekam memori pikiran dari perjalanan di Negeri Maiyah pada Bulan Maret lalu. Mohon maaf atas ke-tidakruntut-an atau ke-tidakteratur-an sesi pada maiyahan yang teralur sesuai ingatan saya. Semoga masih diberi kesempatan belajar lagi di Negeri Maiyah pada kesempatan yang akan datang dan akhir kata, Salam, Shodaqta Shodaqta Shodaqta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun