"Minumnya apa pian, teh es, teh dingin atau teh panas?"
Desa Mawa Cara
Sesanti berbahasa Jawa di atas, merupakan penggalan dari sesanti desa mawa cara, negara mawa tata yang makna parsialnya kurang lebih adalah setiap tempat (daerah/desa) pasti punya cara dan cirinya masing-masing (kearifan lokal).Â
Sesanti ini sepertinya identik dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia yang begitu masyhur, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya! Ada lagi yang lain?
Sesanti di atas secara tersirat memberi pesan, bahwa setiap perbedaan adalah sebuah keniscayaan, rahmat dan anugerah dari Tuhan yang (diciptakan, sebenarnya untuk saling melengkapi dan) tidak bisa kita hindari.
Termasuk dalam konteks dan perspektif Indonesia kita yang memang didirikan sebagai bangsa dan negara, benar-benar di atas rajutan erat dari jalinan berbagai suku dengan keragaman tradisi dan budayanya, agama, ras dan juga golongan.Â
Hingga para founding father bangsa ini merasa perlu mengaktualisasikannya dalam semboyan keren yang kita kenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika, sebaris frasa yang dikutip dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis di era keemasan Kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-14. Keren kan Indonesia kita!?
Itulah sebabnya, saya sangat bersyukur menjadi bagian dari negeri bernama Indonesia, karena kemanapun saya pergi ke berbagai pelosoknya, setiap jengkal tanahnya akan selalu memberi pengalaman dan pemahaman autentik, unik dan menarik yang selalu baru dan berbeda-beda.
Nah, itu juga yang seringkali saya temui dan dapati setiap kali berkesempatan mengunjungi tempat-tempat baru di berbagai pelosok nusantara, terutama dulu, saat masih aktif bekerja dengan range area proyek memang se-nusantara. Pernak-pernik keseruan "kerja sambil jalan-jalan" saya ini pernah saya spill pada artikel  "Berselancar" di Kompasiana, Berkeliling Indonesia, Mengabadikan Indahnya Keragaman Nusantara. Silakan klik bila ingin ikut merasakan sensasi serunya!
Salah satunya yang paling menyenangkan (setidaknya bagi saya), sekaligus paling sering bersentuhan dengan keseharian masyarakat kita adalah keragaman tradisi dan budaya kulinernya, khususon lagi budaya ngeteh-nya.
Baca Juga Yuk! Eksistensi "Sambal Banjar" Sarat Rempah di Antara Serbuan Bumbu Instan Pabrikan
Ya! Budaya ngeteh atau segala pernak-pernik tradisi minum teh yang saya maksudkan di sini tentu saja tidak hanya sekadar merujuk pada ritus minum teh-nya semata, tapi juga mencakup tahapan pemilihan bahan baku teh terbaik, tahapan pengolahannya, sampai seduhan teh terbaik ini hadir di meja, siap untuk disesap kehangatan dan juga aromanya yang menenangkan sekaligus menyegarkan.
Balada Ngeteh ala Urang Banjar
Memang budaya minum teh masyarakat nusantara, mungkin belum setenar budaya minum tehnya masyarakat Jepang atau Tiongkok yang literasi dan bahkan promosinya sebagai bagian dari daya tarik wisata sudah dikemas dengan baik hingga mendunia, tapi jangan salah ya!Â
Jika mengacu pada kekayaan tradisi dan budaya kuliner berbagai suku-suku bangsa se-nusantara yang begitu besar, saya yakin besarnya keragaman pada ciri unik dan ciri khasnya tradisi ngeteh atau pernak-pernik seputar tradisi minum teh masyarakat Indonesia bukan sekedar isapan jempol semata! Terbukti, bahkan banyak daerah yang bukan penghasil teh, tapi mempunyai produk teh daerah hingga mempunyai tradisi ngeteh yang juga autentik.
Mungkin karena minimmya literasi dan juga dokumentasi yang baik saja, hingga potensi keragaman dan kekayaan budaya ngeteh kita yang autentik masih belum terdeteksi, apalagi muncul ke permukaan sebagai destinasi pariwisata budaya dan kuliner. Salah satunya seperti yang tersurat dalam kalimat berbahasa Banjar pada pembuka artikel diatas. "Minumnya apa pian, teh es, teh dingin atau teh panas?"
Pertama kali mendengar kalimat di atas, lebih dari dua dekade silam saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan bungas! dan marasai (mencoba; bahasa Banjar) makan di warung Banjar. Tentu saja, saya sempat keheranan juga mendengarnya. Saya yang di kampung terbiasa dengan sebutan es teh, kenapa di sini jadi teh es? Terus ada juga disebut teh dingin, teh seperti apa pula itu? Apa bedanya teh dingin dengan es teh, eh teh es yang pastinya juga dingin, kan ada es batunya?Â
Satu lagi, teh panas! Ini yang tidak kalah membuat saya terkaget-kaget! Soalnya saat itu setting waktunya pada ba'da Dhuhur alias saat siang bolong lho dan cuaca Banjarmasin juga sedang panas-panasnya! Kok ditawari teh panas?
Teh Es, Teh Manis yang Ditambahkan Es Batu sebagai Pendingin sekaligus Penyegar. Di Daerahmu apa sebutannya, Teh Es atau Es Teh? | @kaekaha
Saat itu, tentu saja langsung muncul banyak pertanyaan dalam benak saya! Tapi sejurus kemudian saya tersadar, inilah nusantara, Indonesia kita kawan! Inilah salah satu bukti keragaman tradisi dan budaya ala nusantara yang memang bukan isapan jempol semata, tapi aktual dan faktual! Persis seperti makna yang terkandung dalam sesanti desa mawa cara atau lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya! Â
Meskipun begitu, bukan berarti rasa penasaran saya pada ketiga jenis teh ala Urang Banjar ini hilang ditelan waktu. Justeru sebaliknya, semakin membuat rasa penasaran saya pada pernak-pernik budaya Banjar terus memuncak. Apalagi dengan beragam tradisi dan budaya kulinernya yang terus menggoda!
Memang banyak versi jawaban ketika saya menanyakan asal-usul sebutan teh es untuk es teh ala Urang Banjar ini kepada berbagai kalangan, mulai dari pemilik warung yang juga menjual teh es sampai akademisi dan budayawan Banjar. Ini bukan mencari tahu tentang salah dan benarnya lo ya, tapi lebih kepada menggali pemahaman masyarakat terhadap kearifan lokal yang diwarisi dan dimilikinya.
Hingga akhirnya saya menemukan tiga jawaban menarik sebagai hipotesa asal-usul frasa teh es, yaituÂ
Pertama, teh es memang bahasa Banjarnya es teh!
Kedua, teh es itu maksudnya teh (manis) yang ditambahkan es batu ke dalamnya. Untuk maulahnya (membuat;bahasa Banjar), dimulai dari membuat teh dulu baru ditambahkan es batu dan proses ini tidak bisa dibalik.
Ketiga, frasa teh es ini sesuai kaidah hukum DM (diterangkan menerangkan) yang dicetuskan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pembeda bahasa Indonesai dan rumpun bahasa Austronesia lainnya, termasuk bahas Banjar dengan rumpun bahasa Indo Eropa yang menganut hukum sebaliknya, MD alias menerangkan diterangkan. Teh es (DM), Ice tea (MD), nah kalau es teh?
Tidak hanya itu, kisah teh dingin ala ngetehnya Urang Banjar ternyata juga tidak kalah unik dan seru lho dari teh es. Kosakota dingin dalam bahasa Banjar sebenarnya mempunyai makna yang sama dengan kata dingin dalam bahasa Indonesia. Tapi uniknya, khusus untuk frasa teh dingin ala Urang Banjar ini, ternyata maksud dan maknanya bukanlah teh yang dingin, tapi teh hangat.
Dalam tradisi aslinya, kulineran ala Urang Banjar, tidak mengenal istilah atau frasa teh hangat! Jadi kalau pas makan di warung atau rumah makan Banjar, dalam daftar menunya atau mungkin malah ditawari teh dingin, maksudnya ya teh dengan level panas yang hangat-hangat kuku bukan teh yang dingin apalagi teh yang dingin karena ada es-nya alias es teh! Nah unik bukan?
Sepertinya  sih, asal-usul frasa teh dingin ini merupakan bentuk pembanding dari level panasnya air teh panas. Jadi teh dingin ini maksudnya teh (yang lebih) dingin (dari teh panas), bukan teh yang dingin seperti merujuk pada arti kata dasar pembentuknya. Â
Tidak heran jika kemudian, khusus untuk teh dingin ini sering menimbulkan perdebatan. Â
Baca Juga Yuk! Cerita Pohon Seho, Bakar Nyala dan Gendutnya Cucur Tu ur Ma'asering di Tomohon
Untuk teh panas, saya mempunyai cerita unik yang mungkin saya sendiri juga tidak akan mempercayainya seandainya saat itu tidak melihat dan mendengar dengan indra sendiri, hingga akhirnya saya bisa memahami keunikan salah satu tradisi ngeteh panas ala Urang Banjar ini.
Di suatu siang yang terik khas Kota Banjarmasin yang  gerah, saya yang lagi ngadem di sebuah warung makan tradisional khas Banjar langganan saya, benar-benar dibuat keheranan oleh beberapa pengunjung di meja tepat di depan saya yang tampak sangat menikmati sajian kuliner berkuah pedas dan panas yang didampingi dengan teman minum berupa teh panas yang benar-benar panas.
Darimana saya tahu, air minum pengunjung di meja depan saya benar-benar teh yang sangat panas?  Saya mengetahui dari permintaan si pengunjung kepada pemilik warung, "banyu teh panasnya nang hanyar manggurak lah!" (air teh panasnya yang baru mendidih ya!)
Uniknya, menurut si pengunjung, air teh  yang dihidangkan saat itu katanya masih kurang panas! Hingga membuat kebingungan si pemilik warung. Dari sinilah, akhirnya saya mengerti kalau Urang Banjar juga paling suka makan dan minum serba panas yang akan membuat penikmatnya mandi keringat sekaligus terpuaskan hajatnya.Â
Pantas saja, di siang bolong yang sedang panas-panasnya, saya juga dirawari pilihan teh panas juga saat pertama kali makan di warung makan Banjar dua dekade silam  (BDJ311224)
Semoga Bermanfaat!
Salam matan Kota 1000 Sunagi, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H