Sementara Ce Netty, ternyata mendapat pesan sangat singkat dalam telegramnya, "Telp pa2 Kngen!"
Nggak berlama-lama, khawatir di Palembang terjadi ada apa-apa, Ce Netty langsung memintaku untuk menemaninya ke wartel di kota kecamatan yang jaraknya 20-an kilo dengan motor Cak Muni.
Inilah momentum kedekatanku dengan Ce Netty, bahkan juga dengan keluarganya di Palembang yang ternyata semuanya dokter. Kerennya, kecuali Bang Dio yang lagi mengambil spesialisasi mata, papa, mama dan dua kakaknya yang lain sudah lebih dulu menyandang spesialis di bidangnya masing-masing.
Hingga akhirnya, di pagi hari Minggu ke-4Â yang berkabut tebal dan berudara dingin, ditemani gemericik air sungai yang bening, diatas batu raksasa tempat kami berdua duduk bersama, aku dan Ce Netty berkomitmen untuk bersama-sama meluruhkan perbedaan, menyatukan persamaan dan terus berusaha merubah kemustahilan menjadi ruang optimisme yang akan terus berproses dan bertumbuh. Kami jadian!
Meskipun agar terlambat, akhirnya teman-teman mencium juga gelagat kami jadian, hingga akhirnya mereka "menodong" untuk menjadikan perayaan tujuh belasan di posko nanti, sebagai pesta jadian kami.Â
Tidak hanya itu, mereka juga mewajibkan kami berdua memasak rawon spesial tetelan dengan tangan kami sendiri untuk menjamu mereka berdelapan. Nggak boleh ada yang bantu!
"Yaaaaaah anggap saja sedang belajaran jadi orang tua yang baik, menyiapkan makan siang untuk 8 anak-anaknya, bosku!" Kata Bang Deni sambil ngacir menuju sungai sebelah posko untuk memancing ikan.
"Harus otentik seperti Rawon Nguling yang legendaris yak!" Kata Kak Hani.
"Jangan pedas kaya rawon setan ya Mas Kordes Ganteng!" Bang Ihsan si-anti cabe mewanti-wanti.
"Seperti rawon Madura yang merah menyala tanpa kluwek boleh juga tuh!" Canda Mbak Nina.
Sejak saat itu, hari-hari pengabdian kami di Kabuaran serasa lebih bergairah. Lebih bersemangat! Usut punya usut, ternyata aku dan Ce Netty yang kurang tanggap dan kurang update! Ternyata, pasca kami jadian, ada 3 lagi pasangan cinlok. Ayooo ketangkap hansip ya!?