Sebuah nama unik dan lucu yang konon telah menjadi bagian dari kenangan masa kecilnya yang tak mungkin terlupakan. Ya, dengan ditambah kata Yu kependekan dari kata Mbakyu yang berarti kakak, nama Gembrot yang di sandingkan memang julukannya waktu masih kanak-kanak, representasi dari perawakan badannya yang saat itu memang gemuk.
Keren ya! Ternyata sejak muda, sebenarnya "Yu Gembrot" sudah mempunyai visi menjadi pengusaha. Bahkan sudah mempersiapkan nama unik dan ikonik sebagai brand dari usahanya. Sayang, nasib baik tidak berpihak kepadanya.
Berbagai keterbatasan yang menjeratnya, menjadikan dirinya terbatasi juga untuk mendapatkan akses informasi yang cukup untuk memberdayakan dirinya sendiri, termasuk terkait pekerjaan dan juga cita-cita serta mimpi-mimpinya.Â
Hingga dalam perjalanannya, layaknya para marjinal lainnya di negeri ini, seperti para perempuan, difabel ataupun para pemuda yang minim pendidikan, kemampuan dan tentunya pengalaman, mereka  akhirnya terpinggirkan dari tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat, terutama dalam hal ekonomi dan pendidikan.
Penolakan tenaga kerja difabel dan para marjinal lainnya di sektor formal dan informal, menyebabkan mereka kesulitan untuk menembus apalagi mengembangkan potensi ketenagakerjaannya. Ini membuktikan bahwa visi terbentuknya ekosistem perekonomian inklusif masih membutuhkan usaha ekstra dan niat baik dari semua pihak.
Untuk banting stir, bekerja di sektor formal atau sekedar ikut orang menjadi pembantu apa saja, posisinya yang bukan sekedar bagian dari para marjinal biasa, tapi "marjinal kuadrat" atau "marjinal bertingkat", yaitu sebagai perempuan, janda, sekaligus difable pula, lebih sering menjadi batu sandungan untuk berkiprah lebih jauh.Â
Setali tiga uang juga ketika memutuskan untuk memulai cita-citanya berjualan nasi pecel dengan brand visionernya, Pecel Yu Gembrot! Kemampuannya mengolah nasi pecel yang enak dan berkualitas, serta manajemen usaha seadanya yang hanya mengikuti naluri, ternyata tetap belum bisa menjadikan usahanya maju secara signifikan, bahkan setelah hampir satu dekade berlalu!
Keterbatasan akses permodalan, pengetahuan manajerial usaha dan juga pendampingan untuk keberlangsungan usahanya, menjadikan usaha nasi pecelnya sulit berkembang dan seperti jalan di tempat, sebentuk eufemisme dari paribahasa hidup segan mati tak mau. Â
Beruntung, Yu Gembrot tidak terlilit hutang modal  dan beragam jebakan hutang lainnya dari komplotan rentenir "berbaju" koperasi, yang secara ilegal dan mobile bertebaran di Banjarmasin menyasar para marjinal.Â
Banyak sudah kejadian, rendahnya literasi keuangan dan desakan ekonomi menyebabkan para marjinal seperti Yu Gembrot yang sejatinya baru belajar berusaha, justeru terjebak hutang modal dengan bunga mencekik dari "koperasi-koperasi" ilegal tersebut, hingga akhirnya tidak hanya usahanya saja yang gagal total, tapi rumah tangga dan juga harta benda yang dimiliki ikut terhisap si lintah darat. Â