Tidak berlama-lama, aku langsung membuka kotak hitam itu begitu gembok bisa kubuka dengan anak kuncinya. Seperti disambar geledek, betapa terkejutnya kami semua ketika melihat isi dari kotak kayu hitam tersebut. Bahkan Nina, isteri Panglima sampai terjengkang ke belakang sambil berteriak histeris begitu melihatnya.
"Tengkorak?" Batinku dalam hati sambil terus memperhatikan tulang kepala manusia yang ada di dalam kotak hitam tersebut.
Tidak mungkin bapak bercanda memberiku hadiah tengkorak kepala manusia di hari ulang tahunku, karena aku tahu betul karakter bapak! Apalagi sampai harus menunggu sampai 13 tahun untuk membukanya!?
Demi memupus rasa penasaranku, ku angkat tengkorak kepala itu dari dalam kotak dan kuletakkan di meja kecil di sudut ruang. Dengan sedikit perasaan ngeri yang menyeruak, kucoba mencermati semua bagian dari tengkorak itu, siapa tahu ada pesan khusus di situ.Â
Benar saja, aku melihat ada yang sedikit aneh pada tengkorak ini.  Aku melihat goresan di beberapa bagian tengkorak itu, bahkan di pelipis atau dahi kirinya kulihat masih ada benda asing yang menempel atau tepatnya menusuk tulang dahi. Sayang aku tidak tahu benda apa itu, apalagi pesan dari semuanya, kecuali feeling bahwa pemilik tengkorak ini, sepertinya meninggal dengan cara yang tidak wajar.
Karena tidak mendapatkan pesan apapun, atas persetujuan ibu kukembalikan lagi perlambang kematian berwarna kecokelatan itu ke dalam kotaknya dan demi menyelamatkan suasana tasyakuran ulang tahunku, ibu langsung mengajak kami semua menuju meja makan untuk menyantap menu Katupat Kandangan, kuliner favorit kekuarga kami, termasuk mendiang almarhum bapak.
Baca Juga : Â Sekarang Saatnya "Berhaji Mabrur" Tanpa Harus ke Tanah Suci ala Ali Ibn Al Muwaffaq!
Sayang suasana sudah terlanjur tegang. Di meja makan, kami memang makan Katupat Kandangan, tapi pikiran kami semuanya mengembara ke berbagai tempat untuk mencoba mencari tahu benang merah misteriusnya hadiah bapak untuk ulang tahunku ini. Apa sebenarnya maksud dan tujuan bapak?
"Apa ya maksud bapak?" Tanya Marsekal memecah keheningan makan malam kami.
Tapi semua diam, semua sibuk dengan pikikan masing-masing, begitu juga aku dan juga istriku yang duduk disampingku.
" Sudahlah, kita makan dulu, setelah selesai baru kita bahas lagi ya ... !" Ibu dengan bijaknya memberikan solusi.