Di bengkelnya, Dina mulai bekerja. Ia mencoba membuat alat penyaring itu beberapa kali, tetapi hasilnya belum memuaskan. Namun, ia tidak menyerah.
Setelah percobaan kelima, akhirnya alat itu bekerja dengan baik. Dina membawa alat itu ke rumah Pak Hasan.
“Pak Hasan, coba gunakan ini,” kata Dina sambil menuangkan air keruh ke dalam alat penyaringnya.
Warga yang berkumpul melihat dengan takjub ketika air yang keluar dari alat itu menjadi jernih.
“Luar biasa, Dina! Kamu memang hebat,” kata Pak Hasan dengan senyum lebar.
Kabar tentang penemuan Dina menyebar di desa. Banyak warga datang ke rumahnya untuk meminta alat penyaring air. Dina senang karena penemuannya bisa membantu orang lain.
Namun, masalah baru muncul. Andi dan Rio merasa tidak senang dengan keberhasilan Dina. Mereka memutuskan untuk menantangnya.
Keberhasilan Dina menciptakan alat penyaring air membuatnya semakin dikenal di desa. Namun, di sisi lain, Andi dan Rio merasa tidak senang. Mereka selalu melihat Dina sebagai anak yang berbeda, tetapi sekarang Dina mulai mendapatkan pengakuan dari orang lain, dan itu membuat mereka iri.
Di sekolah, Andi mendekati Dina dengan senyuman yang mencurigakan.
“Dina, kalau kamu memang hebat, aku punya tantangan untukmu,” katanya sambil melipat tangan di dada.
“Tantangan apa?” tanya Dina dengan alis terangkat.