Dina dan Alat Ajaib
Oleh: Sandika Wandara
Di sebuah desa kecil bernama Kampung Pelangi, tinggal seorang anak perempuan bernama Dina yang memiliki mimpi besar. Dina tidak seperti anak-anak lain seusianya. Ketika teman-temannya bermain boneka atau layang-layang, Dina sibuk di bengkel kecilnya di belakang rumah.
Bengkel itu bukan bengkel biasa. Penuh dengan barang-barang bekas yang Dina kumpulkan dari berbagai tempat: botol plastik, roda mainan rusak, kawat-kawat bekas, dan bahkan potongan kayu dari pohon yang ditebang di desa. Dina memandang barang-barang ini bukan sebagai sampah, melainkan bahan untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Suatu sore, Dina tengah bekerja di bengkelnya. Ia sedang mencoba membuat alat pengaduk otomatis untuk membantu ibunya memasak. Tangannya sibuk memotong kawat, sementara otaknya terus berpikir tentang cara terbaik menyatukan roda kecil dengan batang kayu.
“Dina!” panggil ibunya dari dapur. “Kamu tidak bosan di bengkel itu terus?”
Dina mengusap keringat di dahinya dan keluar dengan senyum lebar. “Tidak, Bu. Aku sedang membuat sesuatu yang akan mempermudah pekerjaan Ibu di dapur!”
Ibunya tersenyum tipis, meskipun ia masih merasa ragu. “Baiklah, tapi jangan lupa istirahat, ya.”
Namun, tidak semua orang mendukung Dina. Di sekolah, ia sering diejek oleh teman-temannya, terutama oleh Andi dan Rio.
“Hahaha, Dina lagi-lagi dengan barang-barang bekasnya,” ejek Andi ketika melihat Dina membawa roda kecil ke kelas.
“Perempuan kok mainannya obeng,” tambah Rio sambil tertawa.
Dina tidak menggubris mereka, meskipun ejekan itu terkadang membuatnya sedih. Baginya, sains dan teknologi adalah milik semua orang, tidak peduli laki-laki atau perempuan.
Ketika pulang sekolah, Dina sering mampir ke perpustakaan kecil di desanya. Ia membaca buku-buku tentang penemuan, teknologi, dan sains. Salah satu penemuan favoritnya adalah kisah tentang Thomas Edison dan Nikola Tesla.
“Suatu hari nanti, aku juga akan menciptakan sesuatu yang luar biasa,” janji Dina pada dirinya sendiri.
Di rumah, Dina sering membantu adiknya, Tia. Namun, Tia sering merasa bahwa Dina lebih peduli pada barang-barang bekasnya daripada dirinya.
“Kak Dina, kenapa sih kamu lebih suka di bengkel itu? Kita hampir tidak pernah main bersama lagi,” keluh Tia suatu hari.
Dina tersentak. “Maaf ya, Tia. Aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku janji, aku akan menunjukkan sesuatu yang keren untuk kamu!”
Masalah datang ketika Tia mencoba memetik mangga dari pohon di halaman rumah. Mangga itu menggantung tinggi, dan Tia tidak bisa mencapainya meskipun sudah menggunakan tongkat panjang.
“Kak Dina! Bantu aku!” seru Tia.
Dina keluar dari bengkelnya dan melihat adiknya kesulitan. “Tunggu sebentar, aku punya ide.”
Dina masuk ke bengkelnya dan mulai mencari alat-alat yang bisa ia gunakan. Ia menemukan tongkat kayu, kaleng bekas, dan tali. Setelah memikirkannya beberapa saat, Dina mulai merakit alat sederhana berbentuk cakar yang bisa menjepit mangga dari atas.
Setelah dua jam bekerja, alat itu selesai. Dina membawanya ke Tia.
“Ini, coba pakai alat ini,” kata Dina dengan bangga.
Tia ragu-ragu, tetapi ia mencoba. Dalam beberapa menit, mangga itu berhasil dipetik! Tia tersenyum lebar.
“Wow! Kak Dina, ini keren banget! Terima kasih!”
Namun, di kejauhan, Andi dan Rio melihat apa yang Dina lakukan.
“Ah, itu Cuma alat biasa. Siapa saja bisa membuatnya,” kata Andi dengan nada mengejek. Dina hanya tersenyum. Ia tahu bahwa hasil pekerjaannya akan membuktikan segalanya.
Beberapa minggu kemudian, masalah baru muncul di Kampung Pelangi. Warga desa mulai mengeluh bahwa air sumur mereka menjadi keruh dan tidak layak untuk diminum.
Pak Hasan, tetangga Dina, datang ke rumahnya untuk berbicara dengan ibunya.
“Bu Rini, air sumur kita sudah parah sekali. Setiap hari harus menyaring dengan kain, tapi tetap saja tidak jernih,” keluh Pak Hasan.
Dina mendengar pembicaraan itu dan merasa tergugah. Ia ingin membantu.
Keesokan harinya, Dina pergi ke perpustakaan desa dan membaca buku tentang penyaringan air. Ia menemukan cara membuat penyaring sederhana menggunakan botol plastik, pasir, kerikil, dan arang.
Di bengkelnya, Dina mulai bekerja. Ia mencoba membuat alat penyaring itu beberapa kali, tetapi hasilnya belum memuaskan. Namun, ia tidak menyerah.
Setelah percobaan kelima, akhirnya alat itu bekerja dengan baik. Dina membawa alat itu ke rumah Pak Hasan.
“Pak Hasan, coba gunakan ini,” kata Dina sambil menuangkan air keruh ke dalam alat penyaringnya.
Warga yang berkumpul melihat dengan takjub ketika air yang keluar dari alat itu menjadi jernih.
“Luar biasa, Dina! Kamu memang hebat,” kata Pak Hasan dengan senyum lebar.
Kabar tentang penemuan Dina menyebar di desa. Banyak warga datang ke rumahnya untuk meminta alat penyaring air. Dina senang karena penemuannya bisa membantu orang lain.
Namun, masalah baru muncul. Andi dan Rio merasa tidak senang dengan keberhasilan Dina. Mereka memutuskan untuk menantangnya.
Keberhasilan Dina menciptakan alat penyaring air membuatnya semakin dikenal di desa. Namun, di sisi lain, Andi dan Rio merasa tidak senang. Mereka selalu melihat Dina sebagai anak yang berbeda, tetapi sekarang Dina mulai mendapatkan pengakuan dari orang lain, dan itu membuat mereka iri.
Di sekolah, Andi mendekati Dina dengan senyuman yang mencurigakan.
“Dina, kalau kamu memang hebat, aku punya tantangan untukmu,” katanya sambil melipat tangan di dada.
“Tantangan apa?” tanya Dina dengan alis terangkat.
Rio, yang berdiri di samping Andi, menyahut, “Coba buat alat yang bisa mengangkat ember air dari sumur secara otomatis. Tapi kamu Cuma punya waktu satu minggu!”
Dina terdiam. Ia tahu tantangan ini tidak mudah, tapi ia juga tidak ingin menyerah. “Baiklah,” jawabnya tegas.
Ketika Dina pulang ke rumah, ia segera masuk ke bengkelnya. Di dalam, ia mulai membuat sketsa alat yang diinginkan Andi dan Rio. Ia memutuskan untuk menggunakan sistem katrol sederhana yang digerakkan oleh roda putar.
Namun, membuat alat itu tidak semudah yang ia bayangkan.
“Tia, aku butuh lebih banyak tali, tapi aku tidak punya cukup uang,” kata Dina kepada adiknya.
Tia berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita mencari tali dari barang bekas? Aku pernah lihat beberapa tali di gudang Pak Hasan.”
Dina dan Tia pergi ke rumah Pak Hasan, dan seperti biasa, Pak Hasan dengan senang hati membantu. “Ambil saja, Dina. Aku tahu kamu akan menggunakannya untuk sesuatu yang berguna.”
Selama seminggu penuh, Dina bekerja keras di bengkelnya. Ia mengalami banyak kegagalan: tali yang digunakan putus, roda yang macet, bahkan tiang penyangga yang hampir roboh.
“Aku tidak bisa melakukannya,” kata Dina dengan putus asa pada suatu malam.
Tia, yang selalu ada di sisinya, menggenggam tangan Dina. “Kak Dina, kamu pasti bisa. Kamu selalu berhasil, dan aku percaya pada kamu!”
Kata-kata Tia membangkitkan semangat Dina. Ia kembali bekerja dengan tekun, memperbaiki setiap kesalahan yang ia temukan.
Seminggu kemudian, Andi dan Rio datang ke rumah Dina untuk melihat hasil pekerjaannya. Mereka membawa beberapa teman lain untuk menyaksikan.
“Baiklah, Dina. Mana alatmu?” tanya Andi dengan nada menantang.
Dina membawa mereka ke sumur di belakang rumahnya. Di sana, ia telah memasang alat yang ia buat: sebuah katrol sederhana yang bisa menarik ember air hanya dengan memutar roda.
Dina memberikan demonstrasi. Ia menurunkan ember ke dalam sumur, lalu memutar roda. Dalam waktu singkat, ember itu terangkat kembali dengan penuh air.
Semua yang menyaksikan bertepuk tangan, termasuk Andi dan Rio.
“Wow, Dina, aku akui kamu memang hebat,” kata Rio dengan nada tulus.
Andi terdiam sejenak, lalu berkata, “Ya, kamu berhasil. Tapi... bisakah kamu mengajari aku cara membuatnya?”
Dina tersenyum. “Tentu saja. Sains dan teknologi adalah untuk semua orang, kok.”
Hari itu menjadi awal perubahan besar bagi Andi dan Rio. Mereka mulai melihat Dina sebagai teman, bukan pesaing.
Setelah kejadian itu, Andi dan Rio sering datang ke bengkel Dina. Mereka mulai belajar cara membuat alat sederhana dari barang bekas. Dina dengan sabar mengajarkan mereka, meskipun terkadang Andi dan Rio masih kesulitan memahami.
“Jadi, ini namanya obeng. Gunanya untuk memutar sekrup,” kata Dina sambil memperagakan cara menggunakannya.
“Kenapa bentuknya seperti bintang?” tanya Rio dengan bingung.
Dina tertawa kecil. “Itu karena sekrupnya juga berbentuk seperti bintang. Semua alat itu punya pasangannya.”
Seiring waktu, bengkel Dina menjadi tempat berkumpul anak-anak di desa. Mereka datang untuk belajar, berbagi ide, dan mencoba membuat alat-alat sederhana.
“Dina, kamu hebat. Kamu membuat belajar jadi menyenangkan,” kata seorang teman Dina.
Namun, tantangan baru segera datang ketika sekolah Dina mengumumkan lomba sains tingkat desa.
Sekolah Dina mengadakan lomba sains yang bertujuan untuk mencari inovasi terbaik dari anak-anak di desa. Dina langsung memutuskan untuk ikut, tetapi kali ini ia tidak sendirian.
“Kita buat tim,” usul Dina kepada Andi, Rio, dan beberapa teman lainnya.
“Apa yang akan kita buat?” tanya Andi.
Dina berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita membuat prototipe rumah ramah lingkungan?”
Semua setuju, dan mereka mulai bekerja. Dina membagi tugas: Andi dan Rio bertanggung jawab membuat panel surya dari botol plastik, sementara Dina dan Tia merancang sistem penyaring air untuk digunakan di rumah.
Prosesnya tidak mudah. Botol plastik yang digunakan Andi dan Rio sering pecah, dan sistem penyaring air Dina macet beberapa kali.
“Kita tidak akan bisa menyelesaikan ini,” keluh Rio.
Dina mencoba menyemangati mereka. “Ingat, tidak ada penemuan besar tanpa kegagalan. Kita hanya perlu mencoba lagi.”
Akhirnya, setelah berminggu-minggu bekerja keras, mereka berhasil menyelesaikan proyek mereka. Rumah ramah lingkungan itu dilengkapi dengan panel surya sederhana, sistem penyaring air, dan ventilasi alami.
Di hari lomba, juri terkesan dengan inovasi mereka. Dina dan timnya memenangkan juara pertama!
Setelah memenangkan lomba sains tingkat desa, Dina dan timnya mendapat kesempatan untuk berkompetisi di tingkat provinsi. Ini adalah kesempatan besar bagi Dina untuk membuktikan kemampuannya lebih jauh.
“Dina, kita akan ke kota! Bayangkan, kota besar dengan gedung-gedung tinggi!” kata Andi dengan wajah berbinar-binar.
Dina hanya tersenyum, meskipun hatinya berdebar. Ia tahu bahwa lomba tingkat provinsi akan sangat sulit. Mereka akan bersaing dengan sekolah-sekolah besar yang memiliki fasilitas lengkap.
Keesokan harinya, mereka berangkat ke kota dengan bus. Perjalanan yang panjang membuat Dina semakin cemas. Ia membayangkan banyak hal: bagaimana jika alat yang mereka buat tidak bisa bekerja dengan baik? Bagaimana jika ide mereka dianggap terlalu sederhana dibandingkan dengan peserta lain?
Namun, ketika mereka sampai di lokasi lomba, Dina mulai merasa lebih tenang. Gedung tempat lomba diadakan sangat besar, dan peserta dari berbagai sekolah sudah ramai. Beberapa di antaranya membawa alat-alat canggih yang membuat Dina merasa kecil.
“Semuanya terlihat sangat profesional,” kata Rio, sedikit khawatir.
Dina mengangguk. “Tapi kita sudah melakukan yang terbaik. Yang penting adalah bekerja dengan hati, bukan hanya teknologi.”
Tim Dina mempresentasikan proyek mereka, sebuah rumah ramah lingkungan yang menggunakan energi terbarukan dan sistem pengelolaan air yang efisien. Mereka menjelaskan bagaimana mereka memanfaatkan barang-barang bekas untuk membuat rumah yang lebih hemat energi dan ramah lingkungan.
Meskipun alat mereka tidak semewah proyek peserta lain, para juri terkesan dengan cara mereka memanfaatkan bahan sederhana dan kreativitas mereka. Setelah presentasi selesai, Dina dan timnya mendapat pujian.
Namun, di saat yang sama, Dina merasa cemas. Andi, Rio, dan teman-temannya juga merasa hal yang sama. Mereka tahu bahwa kompetisi ini sangat ketat.
Pada akhirnya, meskipun tim Dina tidak memenangkan lomba, mereka merasa sangat bangga. “Kita sudah memberikan yang terbaik,” kata Dina sambil tersenyum. “Ini bukan soal menang atau kalah. Kita sudah belajar banyak.”
Setelah kembali dari kota, Dina dan timnya disambut meriah di desa. Meskipun mereka tidak menang, orang-orang di desa sangat bangga dengan pencapaian mereka. Kepala desa bahkan mengundang mereka untuk berbicara di depan warga desa.
Dina berdiri di panggung kecil yang didirikan di halaman depan balai desa. Warga desa berkumpul, banyak yang penasaran dengan apa yang telah Dina dan teman-temannya pelajari di kota.
“Kami tidak memenangkan lomba, tapi kami membawa pulang lebih dari sekadar hadiah,” kata Dina. “Kami belajar bahwa sains dan teknologi bukan hanya untuk anak laki-laki, bukan hanya untuk orang kaya, dan bukan hanya untuk orang yang punya alat mahal. Sains adalah untuk semua orang yang mau berpikir dan berkreasi.”
Warga desa terdiam sejenak, lalu bertepuk tangan. Mereka merasa bangga karena Dina, seorang anak perempuan dari desa mereka, telah memperlihatkan kepada dunia bahwa siapa pun bisa menjadi pencipta.
Sejak saat itu, Dina mulai mengadakan kelas-kelas sains sederhana untuk anak-anak desa. Ia mengajarkan mereka cara membuat alat dari barang bekas, cara memahami prinsip dasar fisika, dan cara berpikir kreatif untuk menyelesaikan masalah.
“Anak perempuan juga bisa menjadi penemu, seperti Dina!” kata salah seorang ibu di desa, yang ikut dalam kelas Dina. “Dina telah membuka mata kami semua.”
Dina semakin percaya diri dengan bakat dan kemampuannya. Ia tahu bahwa ia ingin melanjutkan pendidikannya di bidang sains dan teknologi, bahkan jika itu berarti harus meninggalkan desanya untuk sementara waktu.
Suatu hari, Dina duduk di bawah pohon mangga di halaman rumah, berpikir tentang masa depannya. Tia duduk di sampingnya, sambil menggambar.
“Kak Dina, kamu akan tetap tinggal di desa, kan?” tanya Tia, memandang Dina dengan mata besar.
Dina tersenyum dan mengelus rambut adiknya. “Aku tidak tahu, Tia. Tapi aku akan selalu kembali. Aku ingin belajar lebih banyak tentang teknologi, dan suatu hari nanti, aku ingin menciptakan alat yang bisa membantu desa kita lebih baik lagi.”
Tia tersenyum, “Aku yakin kamu bisa melakukannya, Kak.”
Dina mengangguk. “Aku juga yakin. Tapi untuk saat ini, aku ingin mengajarkan lebih banyak anak-anak di sini, untuk melihat bahwa mereka juga bisa menciptakan hal-hal hebat, tidak peduli siapa mereka.”
Dina tahu bahwa jalan di depannya akan penuh tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Di belakangnya, ada keluarga, teman, dan seluruh desa yang mendukungnya.
Ia menyadari bahwa penciptaan tidak hanya tentang alat atau teknologi, tetapi juga tentang menginspirasi orang lain untuk bermimpi besar.
Suatu hari nanti, Dina akan melanjutkan petualangannya, mengejar mimpinya, dan membuktikan bahwa impian besar bisa datang dari mana saja, bahkan dari sebuah desa kecil seperti Kampung Pelangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H