Tidak heran, pasca gempa bumi yang meluluh-lantakkan Kota Padang pada 2009, etnis Tionghoa khususnya di Kampung Pondok, relatif cepat bangkit dan pulih. Dalam rentang waktu kurang dari dua tahun, etnis Tionghoa yang menjadi warga Kampung Pondok telah kembali ke Kampung Pondok. Pedagang Tionghoa di Kampung Pondok yang mengungsi ke daerah lain sudah kembali menggelar dagangan di toko pribadi atau Pasar Kongsi.
Bila 'akar Tionghoa' kita koneksikan dengan ukiran lainnya di Rumah Gadang, maka prinsip hidup kerja sama yang dibina HBT dan HTT sangat relevan dengan filosofi yang terkandung dalam motif ukiran bada mudiak' (ikan teri mudik) dan 'itiak pulang patang' (itik pulang petang). Dengan demikian, semakin teguh pula indikasi bahwa keberadaan akar Tionghoa pada Rumah Gadang selaras dengan kearifan lokal Minangkabau yang direpresentasikan motif ukiran dan terkoneksi dengan filosofi yang terkandung dalam motif-motif ukiran lainnya di Rumah Gadang.
Sistem ilmu pengetahuan
Pada dasarnya, sistem ilmu pengetahuan etnis Tionghoa modern tidak jauh berbeda dengan sistem ilmu pengetahuan sebagian besar warga Indonesia. Pendidikan formal yang telah ditanamkan di Nusantara sejak masa pendududkan kolonial Belanda. Tidak heran, dari segi-segi tertentu, sistem pendidikan etnis Tionghoa di masa sekarang, memiliki sisi yang seragam dengan sistem pendidikan yang dimiliki etnis lain di Indonesia, termasuk Orang Minang.
Walaupun demikian, ajaran Tridarma Taoisme, Buddhisme, dan Konghucu tetap memengaruhi sistem ilmu pengetahuan etnis Tionghoa modern terutama di Kampung Pondok. Mayoritas etnis Tionghoa yang masih menjalankan tradisi Tridarma meskipun sudah menjalani pendidikan formal atau telah meninggalkan agama leluhur, seperti tradisi makan mie pada hari ulang tahun.
Tradisi makan mie pada hari ulang tahun dipercaya akan memperpanjang umur. Bila kita telusuri sejarah masa lampau etnis Tionghoa, makan mie di hari ulang tahun memang akan memperpanjang umur sebab kelaparan telah menjadi bagian kehidupan dalam lembaran sejarah Tionghoa, baik di Tiongkok ataupun di Nusantara. Sehingga, bila tersedia mie dan bisa menyantap mie di hari ulang tahun, dijadikan sebagai tradisi atau ritual yang memperpanjang usia.
Akar Tionghoa dari Masa ke Masa
Nama motif akar Tionghoa cenderung masih sulit untuk ditemukan dalam literatur kebudayaan Minangkabau konvensional. Sebab, sebagian besar literatur kebudayaan Minangkabau konvensional masih menggunakan aka cino untuk menyebutkan nama motif ukiran ini dan mayoritas Orang Minang masih menggunakan cino untuk menyebut Tionghoa.
Penggunaan istilah cino (Cina) dalam bahasa daerah Minangkabau konvensional, terutama untuk menyebutkan nama motif ukiran aka cino, tidak memiliki konotasi negatif. Keberadaan istilah cino pada konteks ini menekankan istilah yang digunakan Orang Minang untuk memanggil leluhur etnis Tionghoa. Penempatan ukiran ini di Rumah Gadang merupakan sebuah penghormatan dan mengindikasikan bahwa istilah cino memiliki konotasi positif, sebagaimana tercermin pada pepatah-petitih adat sebagai berikut.
Rumah gadang basandi batu, atok ijuak dindiang baukia, bak bintang bakilau, tiang gaharu lantai cendana, terali gadiang dilarik, bubungan burak ka tabang, paran gambaran ula ngiang, bamacam macam ukiran cino, batatah jo aia ameh, salo mayalo jo aia perak, tuturan karo bajuntai, anjuang batingkek ba alun-alun, tampek paranginan puti disitu, lumbuang bajaja di halaman, rangkiang tujuah babarih, sabuah sibayau-bayau, untuak panolong dagang nan lalu, sabuah sitijau lauik, untuk panolong korong jo kampuang, lumbuang nan banyak untuak makan anak kamanakan.
(Rumah adat bersendi batu, atapnya dari ijuk dindingnya berukir, bagai bintang berkilau, tiangnya dari gaharu lantainya dari cendana, teralinya gading dilarik, bubungannya seperti burak akan terbang, tiangnya bergambar ular naga, terdapat bermacam-macam ukiran Cina, bertatah dengan air emas, disela dengan air perak, tuturan airnya seperti kera sedang berjuntai. Anjungannya bertingkat dan mempunyai alun-alun, tempat memandang tuan puteri, lumbung padinya berjajar di halaman rumah, rangking penyimpan padi tujuh berbaris, sebuah si bayau-bayau, untuk penolong para musafir yang lewat, sebuah lagi si tinjau laut, untuk penolong masyarakat kampung halaman, sedangkan lumbung yang lain untuk makan anak kemanakan).
Indikasi tersebut diperkuat dengan keberadaan baju guntiang cino dalam pakaian tradisional Minangkabau. Baju guntiang Cino (baju gunting Cina) adalah baju dengan reka bentuk pakaian khas Tionghoa. Dewasa ini, baju guntiang cino identik dengan baju tanpa krah pada bagian leher. Baju ini lazim dipakai kaum pria dalam upacara adat seperti pakaian penghulu. Penggunaan baju guntiang cino dalam upacara adat Minangkabau semakin meneguhkan pengaruh kebudayaan Tionghoa yang telah diteguhkan ragam hias aka cino.