Apalah arti sebilah Katana tanpa keberanian Samurai yang menghunusnya
Bukan lantaran kami adalah Ksatria pemuja kematian seperti yang mereka kira
Karena kematian bagi kami adalah sebuah puisi bagi jiwa yang teguh
Sekalipun harus mendekap erat dalam sayatan indah Tanto yang terhunus
Dan Kami pun hanyut dalam indahnya kematian…
Ditemani indahnya puisi terakhir yang kami torehkan
Dari torehan darah di akhir lembaran perkamen agung kehidupan…
****
Gerbang Utama Kastil Awan, hari Ke-15 Musim Panas, 1841
“Ikuti aku cepat, jangan lambat!” Bentakan ayahku mengawali kala pertama aku memasuki Kastil ini pada siang hari itu, kala itu aku baru berumur 13 tahun.
Entah mengapa dinamakan kastil awan, cerita mengatakan awal mula pada saat kastil ini baru berdiri, leluhur pertama klan Toki pernah diserang oleh musuh. Ribuan pemanah dan samurai berkuda musuh sudah siap menembus benteng pertahanan terakhir sebelum memasuki wilayah klan Toki yang sudah dalam keadaan terdesak dengan kekuatan tempur yang jauh lebih kecil dibandingkan kekuatan lawan, dan hanya tinggal menunggu kekalahan saja. Seperti ada kejaiban yang turun dari langit, kabut putih berangsur turun dari langit dan menyelimuti seluruh kastil. Melihat hal ini pasukan musuh yang sedianya menyerang hanya bisa terdiam dalam takjub. Kesempatan ini berhasil dimanfaatkan oleh pasukan dari klan Toki dan menyerang balik pasukan musuh yang tidak siap akan serangan kejut itu dan berhasil menuai kemenangan gemilang. Sejak saat itulah kastil ini diberi nama Kastil Awan.