Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis (Lima Belas)

30 September 2024   09:54 Diperbarui: 30 September 2024   10:01 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dago Atas, Bandung, Minggu, 26 Mei 1957

"Widy!" Syafri  bangun terperanjat melihat istrinya sudah di samping tempat tidur dengan kue tart kecil  dengan lilin  menyala di atas nampan dengan dua gelas susu hangat dan dua piring.

"Wilujeng Tepang Taon, Kang Syafri, suami aku, sahabat aku dan sekaligus mitra aku," ucap perempuan itu memperlihatkan  senyum manis.

"Anjeun ingat, aku sendiri lupa," kata Syafri sambil meniup lilinnya.

Kemudian Widy memotong kue tart cokelat, meletakannya ke piring dan kemudian dengan sendok kecil menyuapkan ke mulutnya. Syafri mengunyahnya, kemudian mengambil piring itu. Kemudian giliran dia memotong kue tart dan meletakan di piring lalu menyuapkan pada Widy.

 

Baca: Gemini Syndrome, Berdansa di Kota Romantis (Bagian Empat Belas)

 Setelah mereka menyantap setengah potongan kue tart dan minum setengah gelas susu, Kinan tiba-tiba menyelonong masuk.

"Bagi dong!" Dia sudah membawa dua piring kecil tanpa sungkan.   Widy dan Syafri kemudian memotong masing-masing.

"Yang satu untuk Dinni," kata Kinan sambil tertawa.

"Bohong Teteh! Itu bisa-bisanya Kinan untuk menganggu!" terdengar suara di luar.

"Mmh! Sudah kuduga," Widy tertawa. 

Namun akhirnya Widy, maupun Syafri keluar dan Dinni menunggu di luar dengan malu.  Namun akhirnya dia menerima. Ibu dan Ayah Widy sudah menunggu.

Mereka sudah menyiapkan bubur ayam hangat di meja makan.  Mereka kemudian makan bersama.

"Tadi ada telepon dari Bapak kamu Syafri, katanya dia dapat kabar dari Norma bahwa salah seorang kerabatnya sakit di Asmara Pengamat Kesehatan."

"Norma, kok nggak bilang kerabatnya ada di sini? Keumaha!" sela Widy.

"Namanya Nirmala, dia menunjukkan gejala kena influenza. Kawan Bapak yang kerja di Dinas Kesehatan Bandung bilang ada wabah influenza di kota ini."

Syafri dan Widy berpandangan. "Memang berapa hari ini hujan lebat.  Waktu Presiden Soviet Worosjilov ke Bandung  disambut hujan lebat.  Kalau aku masih jadi wartawan pasti ada di sana."

Telepon berdering.  Bapaknya Widy beranjak dari kursinya dan mengangkat telepon.

"Dari Jaka untuk  Syafri," katanya.

Syafri kemudian menuju meja tempat telepon dan menerimanya.  Dia menduga itu artinya, ada yang serius, kalau Jaka meneleponnya di hari Minggu. 

"Libur kan kerja di toko? Bisa bantu nggak melacak hilangnya Vitamin C di apotek-apotek, kita kekerungan tenaga untuk memantau," terdengar suara seniornya tampaknya sudah serak.

"Bisa," jawab Syafri. "Apa yang terjadi? Mengapa vitamin C hilang?  Memangnya segawat apa sih?"

"Bung nggak tahu, ya? Ada wabah influenza? Kabar yang beredar sejumlah pelajar sekolah rakyat tidak masuk sekolah."

"Waduh! Aku kan sibuk mengurus bisnis sayuran. Tapi prinsipnya bisa. Siap!"

"Oh, iya selamat ulang tahun kawan.  Ada sedikit  honor plus hadiah untuk anjeun di kantor sore nanti."

Syafri lalu kembali ke meja makan. "Aku diminta meliput, vitamin C hilang di Kota Bandung. Katanya ada wabah influenza di Bandung."

"Aaah!! Pantas saja  tiga teman sekelas Kinan tidak masuk sekolah."

"Kang Syafri, kalau ada beli ya buat persedian di  rumah," pinta Widy.

Syafri mengangguk. Dia pun ke kamar mandi.  Kemudian memakai kemeja dan celana parasutnya.

Braga-Pasir Kaliki, Bandung, 26 Mei 1957

 Dia pun kemudian sudah menaiki    sepeda motor Rikuo Type 97. Pukul sembilan pagi, sebagian apotek sudah buka. Sasaran utama Kimia Farma di Braga.  Ternyata benar vitamin C banyak diborong,  tetapi apotek itu mendapat stok baru.  Dia pun membeli sebotol untuk di rumah.

Ternyata bukan hanya vitamin C, tetapi juga obat sulfa dan penesilin. "Apa-apaan ini, bukankah  obat-obat itu harus dengan resep dokter?" sengitnya kepada seorang pemilik toko obat.

Pukul dua belas  Syafri sudah di kantor media dulu tempatnya kerja dan membuat laporan pertama.  Jaka Gumelar tampak duduk lesu dengan mesin tiknya. "Aku khawatir nanti seperti beras, gula ada spekulan yang bermain."

"Ya, militer turun lagi dong! Dr. Admiral sudah berikan pernyataan?" tanya pada Jaka.

"Sudah? Dia bilang wabah ini justru di bawah dari Medan, mereka yang tinggal di Asmara Cipaganti pada tertular, malah sejak 8 Mei. Bukan hanya Bandung, tetapi juga Medan, Makassar, Sumatera Barat,"

"Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung  Dokter Admiral Surasetja sepertinya sgera tanggap. Dia bertindak cepat. Mengapa tidak bisa mencegah orang ke luar masuk?"

"Tidak bisa begitu Bung Syafri, influenza belum termasuk epidemi yang ada ordonasinya." Kata Agung rekannya yang lain." Hanya saja aku khawatir akan merebaknya ke banyak kota seperti yang pernah terjadi  di Spanyol pada 1918."

Seorang reporter Nuke tiba-tiba masuk. "Kang Jaka!  Ada sumber di militer ceritaKomando Militer Kota Besar Bandung akan terlibat melakukan razia."

"Waah! Itu artinya sudah dapat perhatian besar," kata Syafri.

Syafri sudah selesai membuat laporan, dia ingin ke rumah orangtuanya dulu.  Dia terkejut  Daus ternyata panas badannya dan berkurung di kamarnya.  Ibunya tampak cemas.

"Abang kau ini bandel! Oh, ya, Azrul  kemarin telepon dia bilang di Medan juga gawat."

Dari Daus yang bercerita dari balik pintu Syafri dapat kabar bahwa ia bertemu teman-temannya dari Aceh di Bandung minggu lalu. Rupanya ada yang dari Medan menularkan flu kepada mereka yang hadir. 

"Hey, wahang  nggak jadi wartawan lagi, kan?" tanya ibunya penuh selidik.

"Aku hanya bantu teman.  Mereka kewalahan, kekurangan tenaga meliput isu influenza, seperti Uda Daus," kata Syafri.

"Oh, begitu! Selamat ulang tahun Nak," katanya sambil memberikan oleh-oleh satu rantang berisi makanan ayam kalio dan sayur Nangka."Buat keluargamu di sana!"

Syafri kemudian kembali ke rumah orangtua Widy menyerahkan rantang dan makan siang bersama kemudian kembali melakukan penelusuran di rumah obat dan apotek Kota Bandung.

Dago Atas, Bandung, 26 Mei 1957

Malamnya dia pulang membawa honor yang tidak seberapa besar, namun dengan  dua lusin roti aneka rasa dari kawan-kawannya di kantor.  Dia terkejut di rumah Widy sudah menunggu Angga, Utari,  Hein, Rini, Yoga, Paramitha mereka membawa kado entah isinya apa.

"Happy Birthday Brother!" Hein memeluk Syafri. Lalu mereka bergantian memberikan ucapan selamat.

Mereka makan bersama. Kinan dengan santai menyeleksi lebih dulu roti yang dibawa Syafri. Dia pilih-pilih rasanya, nah ketemu yang isinya stroberi dia ambil.

"Dasar kamu! Bilang dulu sama Om Syafri!" Ibu Widy merasa tidak enak.  Tetapi Syafri santai saja. Memang sejak dia tinggal di rumah Widy, Kinan juga dekat dengannya. Namun sebetulnya keluarga Widy senang, karena Kinan lebih diam kalau ada Syafri dan sering menanyakan pelajaran.

Teman-teman dari geng Bandung Memang Hebat juga santai.  Bahkan Paramitha memberikan kue soes cokelat pada Kinan.

"He, bilang apa?" tegur Widy.

"Hatur Nuhun Tante Utari!" kata Kinan. Dia menyantap roti stroberi separuh, lalu sus cokelat.

"Habis,ya? Jangan ada yang dibuang?" Widy melotot pada adiknya.

"Beres Teteh! Om Syafri mengajarkan begitu, aku boleh makan apa saja, tetapi harus habis."

Geng Bandung Memang  Hebat  kemudian mengobrol sambil menyerup wedang jahe yang hangat. Dinni juga ikut.

"Situasi politik sedang tidak baik Syafri, padahal kita sedang mengahadapi masalah wabah, saya khawatir tidak akan diperhatikan," kata Hein.

"Sumitro sudah kasih statement yang sepertinya ditujukan pada Bung Karno, Saya tidak menyerah pada Tirani," kata Angga.

"Papa juga bilang khawatir nasib orang-orang Belanda di Bandung, soal Irian Barat," sambung Hein.

"Mudah-mudahan nggak, jadi bisa kumpul terus sampai tua," ujar Syafri lirih.

"Ya, moga-moga," kata Angga. "Takutnya dunia bisnis juga terpengaruh."

"Ya, Minahasa juga makin panas. Jangan sampai perang saudara memisahkan geng kita," ucap Rinitje.

"Nggak lah, Bandung Memang Hebat Abadi!" teriak Syafri.

Widy memberikan jempolnya.

Bandung,  Senin 27 Mei 1957

Semua surat kabar yang terbit di Kota Bandung menjadikan wabah influenza sebagai headlinenya.  Syafri membacanya sambil menyeruput kopi. 

Hari ini dia mengantarkan Dinni dan Widy ke SMA ke Yayasan Kebudayaan di Naripan untuk persiapan pagelaran seni tari. Dinni akan melanjutkan sekolah sambil bekerja atas pertolongan seorang anggota DPRD Jawa Barat yang bersimpati dan tinggal di asrama mulai awal Juni 1957.

"Kang Syafri, jangan lupa, besok sore nanti nonton The Swan di Braga Sky!" ucap Widy ketika tiba di Naripan.

"Grace Kelly, itu kan film dansa?"

"Iya, buat nambah perbendaharaan," kata Widy. "Geng kita nonton semua kok!"

Syafri mengacungkan jempolnya.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun