Pas ketika berangkat kuliah, dia masih bersama seorang perempuan masih berusia tiga belas tahun. Buah dadanya masih belum mekar. Perempuan kurus berkepang itu mungil, mengenakan rok dan baju yang tampaknya diberikan Maria kepadanya. Namun wajahnya memang cantik, kulitnya putih. Dia mengenakan sepatunya yang agak lusuh.
"Dia baru tiba malam tadi, kabur dari rumahnya. Â Untung tidak apa-apa di jalan, lompat dari truk ke truk. Â Dia hanya tahu alamat Maria yang tak sengaja mencatatnya ketika main ke rumah bibiku," tutur Widy. "Subuh tadi, Maria telepon aku, Kang Syafri masih tidur."
"Nggak mau kawin sama laki-laki sepantar Abah untuk bayar utang!" teriak Dinni sambil memeluk Widy.
"Belum akad kan? Ayo ikut teteh," kata Widy.
"Belum," sahut Dinni.
Syafri geleng-geleng kepala. "Cari perkara saja. Kau bisa dituduh menculik. Itu juragan kan orang kaya, nanti keluargamu dipersulit?" kata Syafri.
Widy untuk pertama kali melotot. Tetapi kemudian tersenyum. "Aku nggak takut. Â Memang masih ada bibiku di situ. Â Nama juragan itu Anom Subarkah. Bukankah kakang melayani Ratumu?" katanya merayu.
Syafri tidak berkutik. Dia paham Widy sangat peka terhadap nasib perempuan kalau dianggapnya diperlakukan tidak adil.. Mereka kemudian gedung parlemen DPRD Jawa Barat.
Empat anggota DPRD Jawa Barat, Sutarsih Rachman, Tjahjati Setiasih, bersama H. Mansyur dan A.H. Sjaron baru saja mengajukan petisi kepada pemerintah pusat agar dibuat peraturan yang membatasi umur perempuan menikah paling rendah lima belas tahun.
"Untuk aku menikahi anjeun ketika berumur delapan belas tahun malah lebih sedikit," kata Syafri ketika ia masuk ke dalam gedung menemani Widy mengantar Dinni.
"Kan aku yang mau dan Kang Syafri pilihanku, laki-laki yang mau menghormati perempuan kok," ucap Widy.