"Dinni beruntung punya kenalan seperti Nak Widy yang bisa membuatnya tidak dipaksa menikah muda. Â Di pelosok sana masih banyak yang tidak seberuntung itu. Untung belum akad nikah!"
Keduanya membantu mencarikan orang-orang partai di Cianjur yang membantu terutama dari PNI untuk memberikan perlindungan pada Dinni. Jadi dukungannya kuat dari ayah Widy, orang partai dan masalah utangnya teratasi. Â Namun memang Dinni harus tinggal di Bandung dulu. Ayahnya Dinni hanya petani penggarap. Dia masih ada dua adiknya masih kecil-kecil.
"Dia bisa sekamar dengan Kinan. Â Biasanya aku kan yang menemaninya, kalau tidak ada kamar kosong," kata Widy.
Setelah mengobrol sekitar sejam, Syafri mengajak keduanya bergegas. Hari ini sudah menunjukkan pukul sembilan. Takut terlalu siang ke Ciwidey.
Namun baru keluar gedung, mereka berpapasan dengan tiga orang pemuda. Satu di antaranya Hendri Jasmin mengenali Syafri. "He, wahang jangan suko dansa-dansa seperti kapitalis itu! Ambo danga wahang sama Belanda itu juga!" tegurnya."Urang urang sedang susah, Â wahang dan teman-teman basanang-sanang. Â Belanda tidak mau mengembalikan Irian Barat, wahang bakawan juo."
Syafri hanya tersenyum."Berteman apa salahnya Uda? Berdansa juga apo salahnya? Aku tetap Republik."
"Mudahan-mudahan begitu. Kapan kita mengobrol tentang partai ambo, PKI."
Syafri tidak menjawab, tetapi dia menghormati kawannya, lalu pamit.
"PKI? Di Cianjur dan di selatan mereka banyak musuhnya," kata Widy.
"Iyalah, Â mereka juga lawannya santri di selatan Priangan. Aku dengar tentara juga benci dan PKI menyebabkan daerah asalku dan Minahasa berang."
Ketiganya sudah di areal parkir motor.