Sungai di Indonesia mempunyai banyak masalah. Selain pencemaran akibat limbah, masih ada bom waktu lainnya yang membuat sungai rusak, yaitu eceng gondok.
Daerah Aliran Sungai Begawan Solo berada dalam ancaman pertumbuhan eceng gondok yang begitu pesat, terutama di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Â Begitu hebatnya pertumbuhan eceng gondok memenuhi permukaan hingga sepanjang tiga kilometer dengan ketebalan satu meter.
Persoalan ini menjadi salah satu topik pembicaraan  pembentukan komunitas peduli sungai di Hotel Aston Gresik pada 28 Mei 2024 dan penandatanganan sinergi bersama pengelolaan sumber daya air Bengawan Solo bagian hilir.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Â Universitas Bojonegoro Laily Agustina Rahmawati menyampaikan seharusnya pembersihan eceng gondok harus dilakukan sebelum tanaman dengan nama latin Eichhornia crassipes berbunga. "Kalau sudah berbunga, maka akan lebih sulit diatasi, karena bijinya mampu bertahan 30 tahun," ujar staf pengajar Prodi Ilmu Lingkungan, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Bojonegoro ketika saya hubungi 30 Mei 2024.
Berikut petikannya wawancaranya dengan perempuan kelahiran 21 Agustus 1986 ini dengan Irvan Sjafari.
Â
Menurut pengamatan Anda sejak kapan Sungai Bengawan Solo menghadapi masalah Eceng Gondok?
Jika ditanya sejak kapan, saya tidak tahu pastinya.  Saya tinggalnya jauh dari Bengawan Solo, jadi tidak mengamati. Namun pada  2023 kemarin, kebetulan saya sedang riset disertasi di Wonocolo, Kecamatan Kedewan, dan kebetulan jalurnya melewati Sungai Bengawan Solo, tepatnya lewat Jembatan Malo. Waktu itu saya lewat, dan melihat dari atas jembatan, sepertinya sudah mulai ada bercak hijau di sungai. Dalam hati saya, Wah kayaknya bakal blooming ini.
Seminggu kemudian, prediksi saya benar. Eceng gondok menghijau. Lalu kami dengan beberapa rekan berkordinasi, ternyata fenomena sama terjadi di beberapa titik, mulai Jembatan Cepu, Jembatan Padangan sudah hijau semua. Â Kami prediksi waktu itu panjangnya sampai hampir 20 km, dan ketebalan sampai 1 meter.
Masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo (terutama yang di Bojonegoro) menganggap fenomena tersebut menjadi hal biasa. Karena setiap musim kemarau terjadi. Â
Kira-kira penyebabnya dan mengapa menjadi merambah luas?
Penyebabnya jelas, terjadinya blooming eceng gondok itu artinya indikasi sungai tercemar bahan organik ditambah lagi, di musim kemarau, jumlah air sedikit, dan posisi di Jembatan Malo waktu itu, air tidak bergerak karena bendungan gerak di tutup.
Setelah saya diskusi kemarin dengan teman-teman Komunitas Peduli Sungai Lamongan dan Gresik, fenomena yang sama juga terjadi di wilayah mereka. Â Artinya kondisi Sungai Bengawan Solo di hilir itu sangat kritis. Â Salah satunya akibat pencemaran limbah organik.
Â
Dalam rilis Ecoton menyebut eceng gondok harus diatasi sebelum berbunga?Â
Eceng gondok itu harus diatasi sebelum berbunga, karena jika kondisinya sudah terlalu parah seperti kejadian di Bojonegoro untuk dibersihkan sulit. Kami sudah bikin aksi bersama 500 relawan, mengggunakan bantuan dua alat berat, seharian bersih-bersih itu seperti nggak ada hasil mas. Padahal sudah dapat 16 lebih dump truk. Tapi setelah bersih langsung tertutup eceng gondok kembali saking padatnya.
Tumbuhan ini  kalau sudah berbunga bahaya, karena nanti pasti akan menghasilkan biji, dan yang membuat bahaya itu bijinya bisa bertahan 30 tahun.
Kalau sudah parah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi eceng gondok?
Kalau sudah parah, yang bisa dilakukan ya, harus sedini mungkin menditeksi jika ada tanda-tanda akan terjadi blooming, dengan monitoring berkala. Jika sudah ada bercak eceng gondok, harus langsung disisir, diambil, diangkat dari perairan sebelum tumbuh subur.
Â
Apakah eceng gondok yang diangkut dari sungai bisa jadi pupuk seperti sampah organik?
Saya tidak menyarankan untuk digunakan sebagai pupuk, karena sifat eceng gondok itu juga bioakumulator logam berat. Kalau pupuknya untuk tanaman yang bisa dimakan ini bahaya buat manusia. Cuma kalau untuk pupuk tanaman keras masih oke, Â kemarin hasil aksi bersih eceng gondok di Bojonegoro, kami drop ke hutan perhutani, lalu kami semprot ecoenzym untuk mempercepat pembusukan.
Â
Bagaimana kalau untuk kerajinan, bukankah sudah ada UKM yang melakukannya?
Kalau untuk kerajinan, tidak kami sarankan juga. Â Hasil diskusi dengan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jateng, hasil lesson learn dari pengelolaan eceng gondok di Rawa Pening, karena masyarakat dikenalkan manfaat eceng gondok untuk kerajinan, justru membuat upaya pembersihan eceng gondok menjadi terhalang. Â Masyarakat justru membudidayakan itu, karena bisa menghasilkan nilai ekonomi.
Â
Selain di Bengawan Solo Eceng Gondok menjadi masalah di mana lagi di Jawa Tengah? Â Bukankah Rawa Pening pernah diberitakan kena masalah ini?
Ya betul, Cuma bedanya  di Rawa Pening sudah tersedia alat Aquatic Weed Harvester dan kapal pencacah. Sementara di Bengawan Solo bagian hilir belum ada.  Kemarin mau didatangkan juga sama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS)  waktu kasus eceng gondok Bojonegoro. Cuma waktu mau diturunin ke bengawan, tidak bisa, karena terlalu terjal. Belum ada jalan masuk yang memungkinkan, lalu juga terkendala terkait kedalaman sungai, karena di musim kemarau airnya sedikit, sehingga sungai jadi dangkal.
Â
Pertumbuhan Eceng Gondok yang melebihi ambang batas dapat menyebabkan penurunan kualitas air, yakni oksigen terlarut yang ada di sungai dan pengurangan sinar matahari yang diterima sungai. Nah apa dampak berantainya bagi ekosistem bila terlalu banyak?
Sebenarnya munculnya eceng gondok itu juga dipengaruhi oleh penurunan kualitas air, akibat pencemaran limbah organik, bisa dari domestik (feses, urin, detergen, sisa makanan, dan lain-lain), pertanian (NH3, NO3, PO4, SO4, dan sebagian), atau Industri (NH3, NO3, PO4, dan sebagainya.
Pertumbuhan eceng gondok yang tidak terkendali akan menyebabkan ekosistem sungai menjadi tidak sehat. Keberadaannya di permukaan air, menghalangi sinar matahari yang masuk ke perairan. Akibatnya fitoplankton gagal melakukan fotosintesis.
Padahal proses fotosintesis fitoplankton tersebut yang menjamin pasokan oksigen diperairan tercukupi. Akibatnya disolved oksigen (DO) jadi rendah, sehingga biota perairan seperti ikan akan kekurangan oksigen.
Pas kejadian di Bojonegoro kemarin, kami sempat mengukur DO perairan. Waktu itu nilainya ada di range 0,4-0,8. padahal Bengawan Solo itu sumber Air Baku bagi 9 PDAM di wilayah hilir (Bojonegoro, Lamongan, Gersik). Kalau air baku kan minimal DO-nya seharusnya 6.  Jadi nilai DO pada saat terjadi kasus blooming eceng gondok di Bojonegoro waktu itu  jauh di bawah nilai standar baku mutu.
Â
Apa yang harus dilakukan?
Paran Komunitas Peduli Sungai (KPS) menjadi penting. Â Masyarakat yang tinggal di aliran sungai bengawan solo harus membentuk KPS di setiap segmen, untuk membantu monitoring kondis sungai. selain itu sumber pencemar bahan organik juga harus dikendalikan. caranya, salah satunya melalui edukasi bagi masyarakat yang tinggal di sekitas sungai untuk tidak membuang smpah ke sungai. begitu juga dengan industri, harus diawasi dan ditindak tegas bagi yang membuang limbahnya ke Sungai Bengawan Solo
Irvan Sjafari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI