Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Renungan untuk KBU: Gunung dan Hutan Benteng Ekologi Manusia

10 Mei 2024   19:38 Diperbarui: 10 Mei 2024   19:47 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika hutan-hutan berkurang, maka Pulau Jawa bukan saja menderita kekurangan kayu tetapi juga sumber air dalam tanah yang dibutuhkan penduduk dan pertanian.  Hutan-hutan harus ada di gunung-gunung yang tinggi agar sungai-sungai bisa mengalirkan air," katanya.

Ketika Kusnowaryo mengatakan  hutan di Pulau Jawa kapasitasnya sudah sampai pada jumlah minimum mengakibatkan berkurangnya sumber  air dalam tanah. Dia juga mengingatkan pada masa mendatang jumlah penduduk bertambah dan kebutuhan air pun akan bertambah.

Buku  Propinsi Djawa Barat terbitan Kementerian Penerangan 1953 menyebutkan luas hutan rimba Jawa Barat mencapai 876.826 hektar dan hutan jati seluas 97.338 hektar  (termasuk Banten yang waktu itu masuk Jawa Barat).  Namun jumlah itu bertambah dengan reboisasi seluas 34.449 hektar untuk hutan rimba dan 3.064 hektar untuk hutan jati.  

Yang menarik jumlah hutan rimba yang ditanam kembali di Bandung Utara seluas 1.510 hektar dan Bandung Selatan 1.108 hektar. Jadi pada 1950-an ada upaya untuk menghutankan kembali Kawasan Bandung Utara. Otoritas masa itu sadar kalau hutan memelihara sumber air untuk Kota Bandung dan sekitarnya. 

Buku itu menulis pemeliharaan hutan rimba penting untuk keperluan hydrologi dan melindungi tanah terhadap erosi.  Namun pada 1950-an kondisi ekologis di Bandung Utara masih relatif, belum ada laporan yang terkait dengan bencana ekologi.

Pada Januari 1969  baru mencuat masalah kesulitan air ledeng yang dihadapi warga, kalaupun ada keruh.Hal ini terjadi adanya kekeringan yang cukup panjang hingga membuat debet air berkurang.

Padahal air ledeng itu bukan saja untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus, tetapi juga air minum.    Air ledeng juga  membuat rumah sakit, klinik bersalin hingg asrama-asrama yang berdiri di bagian utara mengalami kerepotan.

Pada 24 Januari tahun itu wartawan Pikiran Rakjat dalam laporan itu  melakukan penelusuran dan mendapatkan keterangan bahwa penduduk masih tertolong dengan turunnya air hujan.  Warga menggunakan berbagai macam perabot rumah tangga  untuk menampung air hujan, kemudian dimasukan ke dalam bak mandi.

Ada juga warga menggali   sumur karena khawatir keadaan ini akan berlangsung lebih lama lagi. Selain juga penduduk yang berusaha merendahkan meteran air dengan harapan air bisa  mengucur.

Laporan itu menyebut ada dugaan  warga yang berusaha mendapatkan air dengan jalan mudah yaitu menggergaji saluran induk dan memasang keran di tempat penggegergajian.

Air ledeng yang keluar dari saluran darurat itu kemudian dimasukan ke dalam sebuah bak yang telah disediakan untuk selanjutnya dipakai bersama-sama baik untuk minum maupun mandiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun