Â
Kawasan Bandung Utara (KBU) merupakan anugerah bagi warga Bandung dan juga wisatawan kalau tahu bagaimana cara menghargai alam. Rekreasi murah, juga punya fungsi edukasi, kontempelasi dan juga kesehatan dengan trekking dengan spot beragam. Â Sayang anugerah rusak kesenangan sebagian orang dan juga keserakahan.
Sudah lama yang sudah tidak lagi melakukan trekking di perbukitan. Bagi saya trekking di bukit dan pegunungan  di sekitar Kawasan Bandung Utara bukan saja sekadar trip sekaligus juga healing untuk mengatasi kepenatan, kejenuhan dan kesuntukan akibat rutinitas pekerjaan di Jakarta.  Â
Sejak 2012, saya kerap melakukan trekking di  Tahura Juanda ke Maribaya,  Jayagiri menembus Tangkuban Parahu, menjelajahi Patahan Lembang hingga Gunung Putri, merupakan tempat yang nyaman di sekitaran Kawasan Bandung Utara.
Rata-rata trekking memakan waktu  rata-rata empat jam  sudah cukup untuk uji fisik yang bisa saya lakukan sekaligus untuk menghirup udara yang asri ,hingga panorama hijau.Â
Trekking juga menjadi  terapi untuk mata menyeimbangkan penglihatan yang berkutat pada layar laptop yang memakan waktu per hari sampai delapan jam.
Sayangnya selama belasan tahun menekuni trekking, khususnya di seputaran Lembang kerap terganggu oleh jalan tanah yang menjadi kanal dalam akibat pengendara motor trail  yang menjadikan rute bagi pendaki sebagai jalurnya.  Kalau musim hujan hal ini membahayakan bagi pendaki seperti saya karena bisa terjerumus dalam kubangan yang dalam yang digali motor trail.
Selain itu di beberapa spot kerap ditemukan botol plastik air mineral yang dibuang serampangan, hal yang sebetulnya terlarang bagi mereka yang menyukai hiking.  Bagi saya  hal ini membuktikan benturan antara pariwisata  dengan mempertahankan konservasi sudah terjadi dan terkesan menjadi pembiaran.Â
Saya kerap mengobrol dengan petugas kehutanan yang menyebut, mereka mempunyai keterbatasan untuk mengontrol karena para pengendara motor trail ini mempunyai  banyak jalan masuk yang sulit diawasi.
Simpul Penyeimbang
Pegiat lingkungan dari  Yayasan Masyarakat Gunung Indonesia Pepep Didin Wahyudin mengingatkan gunung harus diperlakukan seperti mahluk.  Di mata pria kelahiran 1984 ini, gunung adalah simpul penyeimbang.  Jika gunung  sampai hancur maka kehidupan pun akan hancur.
"Gunung itu hadir, eksis dan lestari  dan dia menjamin keseimbangan kehidupan manusia.  Fungsi gunung sebagai ekologis bukan saja tempat rekreasi," ujar Pepep ketika saya hubungi beberapa waktu lalu.
Masyarakat seharusnya juga  menjadikan gunung sebagai tempat mencari ilmu dan pencerahan.  Sayangnya hingga hari ini gunung hanya sebagai ruang menjadi tempat perputaran uang mulai pariwisata dan pemanfaatan yang kerap  destruktif.Â
"Adanya botol-botol plastik yang betebaran dan tanah yang tergali akibat offroad, menandakan etika memperlakukan gunung dengan rendah sekali," kata pria kelahiran 1984 ini.
Pada Maret lalu, alumni STSI Bandung ini memviralkan  kegiatan  wisata ATV (motor roda empat)  di kawasan Gunung  Papandayan yang sebetulnya merupakan kawasan  konservasi tak berizin.
Pepep juga pernah melakukan riset  di Situ Ciharus, Cagar Alam Kamojang,  aktivitas  motor  trail ternyata membuat 2.500 meter kubik tanah sedimentasi yang berakhir di Ciharus.  Jumlah ini setara  250 truk pembawa truk pasir.  Sementara di Jayagiri kendaraan offoad  membuat tanah terbongkar  dan  berakhir di Sungai Cikapundung.Â
Namun motor trail atau offroad hanya sebagian kecil dampak komersialisasi dan pariwisata untuk hutan dan gunung.  Contoh yang cukup menyolok dari komersialisasi pariwisata terhadap gunung adalah Kawasan Bandung Utara (KBU), di mana Perdanya tidak lagi efektif.  Kelemahan perda itu, kata Pepep terletak pada pendekatannya  menitikberatkan pada dampak lingkungan. Pendekatan ini rumit dan panjang.
Meskipun demikian pada 2016 pernah ada sebuah kafe yang dibongkar di Tahura Djuanda. Hal ini bisa terjadi karena kafe telak berada di kawasan konservasi. Â Harusnya lebih banyak kawasan konservasi di KBU.
Pepep juga  mengingatkan bahwa bencana banjir dan longsor yang akhir-akhir ini terjadi di sekitar Bandung Raya  datang dari hutan dan gunung yang kondisinya sudah sangat meresahkan. Â
Untuk memperbaiki kerusakan di Bandung Raya  harus  dimulai  di titik hulu, yaitu di gunung," pungkas penulis buku Manusia dan Gunung ini.
Apa yang dinyatakan Pepep sudah dikatakan Inspektur Jawatan Kehutanan Jawa Barat Kusnowarso memperingatkan bahaya deforestasi pada Pikiran Rakjat edisi  28 September 1950.  Apa yang disampaikan jauh sebelum bencana banjir dan longsor yang menjadi isu krusial di kawasan Bandung Raya- juga sebetulnya di daerah lain di wilayah Indonesia.
"Jika hutan-hutan berkurang, maka Pulau Jawa bukan saja menderita kekurangan kayu tetapi juga sumber air dalam tanah yang dibutuhkan penduduk dan pertanian. Â Hutan-hutan harus ada di gunung-gunung yang tinggi agar sungai-sungai bisa mengalirkan air," katanya.
Ketika Kusnowaryo mengatakan  hutan di Pulau Jawa kapasitasnya sudah sampai pada jumlah minimum mengakibatkan berkurangnya sumber  air dalam tanah. Dia juga mengingatkan pada masa mendatang jumlah penduduk bertambah dan kebutuhan air pun akan bertambah.
Buku  Propinsi Djawa Barat terbitan Kementerian Penerangan 1953 menyebutkan luas hutan rimba Jawa Barat mencapai 876.826 hektar dan hutan jati seluas 97.338 hektar  (termasuk Banten yang waktu itu masuk Jawa Barat).  Namun jumlah itu bertambah dengan reboisasi seluas 34.449 hektar untuk hutan rimba dan 3.064 hektar untuk hutan jati. Â
Yang menarik jumlah hutan rimba yang ditanam kembali di Bandung Utara seluas 1.510 hektar dan Bandung Selatan 1.108 hektar. Jadi pada 1950-an ada upaya untuk menghutankan kembali Kawasan Bandung Utara. Otoritas masa itu sadar kalau hutan memelihara sumber air untuk Kota Bandung dan sekitarnya.Â
Buku itu menulis pemeliharaan hutan rimba penting untuk keperluan hydrologi dan melindungi tanah terhadap erosi. Â Namun pada 1950-an kondisi ekologis di Bandung Utara masih relatif, belum ada laporan yang terkait dengan bencana ekologi.
Pada Januari 1969 Â baru mencuat masalah kesulitan air ledeng yang dihadapi warga, kalaupun ada keruh.Hal ini terjadi adanya kekeringan yang cukup panjang hingga membuat debet air berkurang.
Padahal air ledeng itu bukan saja untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus, tetapi juga air minum.   Air ledeng juga  membuat rumah sakit, klinik bersalin hingg asrama-asrama yang berdiri di bagian utara mengalami kerepotan.
Pada 24 Januari tahun itu wartawan Pikiran Rakjat dalam laporan itu  melakukan penelusuran dan mendapatkan keterangan bahwa penduduk masih tertolong dengan turunnya air hujan.  Warga menggunakan berbagai macam perabot rumah tangga  untuk menampung air hujan, kemudian dimasukan ke dalam bak mandi.
Ada juga warga menggali  sumur karena khawatir keadaan ini akan berlangsung lebih lama lagi. Selain juga penduduk yang berusaha merendahkan meteran air dengan harapan air bisa  mengucur.
Laporan itu menyebut ada dugaan  warga yang berusaha mendapatkan air dengan jalan mudah yaitu menggergaji saluran induk dan memasang keran di tempat penggegergajian.
Air ledeng yang keluar dari saluran darurat itu kemudian dimasukan ke dalam sebuah bak yang telah disediakan untuk selanjutnya dipakai bersama-sama baik untuk minum maupun mandiri.Â
Kejadian ini seolah isyarat bahwa pada masa mendatang persoalan bencana ekologi menimpa Bandung Utara pada masa mendatang jauh lebih berat dibanding pada 1969 Â (Bagian Pertama dari dua tulisan).Â
Irvan SjafariÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H