Sebagian dari manusia di sini diperkenankan belajar teknologi Hiyang, di antaranya kendaraan dengan baterai dari mineral dan surya. Ada seperti otopet yang bisa melayang, motor melayang dan aku juga mempelajari.
Kami diizinkan untuk mempersenjatai diri, karena Hiyang yakin tidak digunakan membunuh sesama manusia, tetapi mahluk penghisap darah yang gemar menyusup ke habitat manusia.Â
Senjata itu mulai sinar inframerah, pedang yang mampu membelah logam, karena tubuh mahluk itu sekeras logam. Â Aku menambahkan sumpit yang pelurunya cairan yang bisa membuat gatal.Â
"Mengapa kamu mau kembali ke planet yang dikuasai manusia serakah dan perusak planetnya sendiri, Adinda? Bukankah di sini surga?" tanya Hiyang Ridara. "Di sana gravitasinya lebih rendah, kamu bisa berlari lebih cepat dan melompat lebih tinggi? "
"Aku bertemu dengan orangtua ibuku dan orangtua ayahku, guru ibuku, seperti apa rumah ibuku di Antapani yang replikanya ada di sini?"
"Kamu punya agenda lain?" tanya Ananda.
"Ibaratnya di sini adalah langit dengan surga. Kalau surga bisa diciptakan di langit atau di planet ini, maka surga bisa diciptakan di Bumi," kataku.
Hiyang Ridara tertengun. "Itu permintaanmu? Yakin kamu bisa berlaku adil pada manusia? Yakin dengan segala kelebihan kamu dari manusia di Bumi tidak akan menjadikan kamu malah jadi zalim?"
"Mungkin iya, mungkin tidak. Aku akan zalim pada manusia yang tidak bisa dibina, tetapi kalau masih mau diajak untuk tidak serakah, tidak merusak lingkungan aku memilih berupaya mengabulkan keinginan mereka, tolonglah Hiyang!"
Hiyang Ridara keberatan. Dia tahu konsekuensi dari bangsanya melarikan manusia dari tempat konservasi. Â Tetapi akhirnya beberapa hiyang di sana setuju karena Bumi sudah parah membutuhkan penyelamat dan ada kemungkinan alien dari planet lain juga ingin menguasai Bumi.
Ananda akhirnya menemani. Â Pada pagi buta kami meninggalkan rumah kami di antapani, membawa ponsel cerdas seperti yang digunakan ayah dan ibu kami di Bumi. Â Kami membawa semua data, foto keluarga yang dipunyai ayah dan ibu.