Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) menyampaikan hasil  kegiatan Sensus Sampah Plastik di 64 tiitk di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi di Indonesia.
Sensus Sampah Plastik itu berhasil mengumpulkan 25.733 sampah plastik, yang didominasi kemasan plastik (sachet).
BRUIN mengidentifikasi produk itu berasal dari  sepuluh produsen pencemar terbesar dari brand-brand besar Indonesia, di antaranya Wing Food, Uniliver dan Mayora.
Dalam keterangan tertulisnya, 11 Januari 2024 BRUIN meminta pertanggungjawaban EPR (Extended Producer Responsibility) dari 10 produsen pencemar tersebut untuk mengelola sampah plastik sesuai dengan peraturan pengelolaan sampah.
BRUIN juga meminta produsen untuk menekan jumlah penggunaan plastik, termasuk dengan desain yang lebih ramah lingkungan.
Hal ini selaras untuk mendukung target pengurangan 30 % sampah oleh produsen pada2029.
BRUIN juga mendesak  pemerintah memperluas layanan tata kelola sampah  serta mengimbau masyarakat untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai.
Koordinator Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhammad Kholid Basyaiban  berharap isu pencemaran sampah plastik  di perairan Indonesia ikut diangkat dalam Debat Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Sesi ke-4 pada 14 Januari.
Pemerintah ke depan harus berkomitmen untuk tegas mengawasi pengelolaan sampah plastik oleh produsen dan menekan penggunaan plastik.
"Oleh karena itu, hasil penelitian ini juga akan kami berikan kepada tim capres dan cawapres, dan diharapkan bisa menjadi bahan untuk diangkat dalam debat sesi ke-4 mendatang," kata Kholid.
Harus Ada Pengawasan pada Industri
Sementara  Guru Besar Hukum Lingkungan sekaligus Wakil Direktur Bidang Riset, Pengabdian Masyarakat, Digitalisasi, dan Internasional Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Dr. Suparto Wijoyo, menyayangkan sikap abai dari produsen sebagai akar polusi plastik di Indonesia.
"Solusinya adalah penguatan penegakan hukum dan pengawasan bagi industri pencemar sebagai cara memutus keran polusi plastik di Indonesia," ujar Suparto tegas.
Founder Envigreen Society dan Peneliti Ecoton, Mochammad Alaika  Rahmatullah menyatakan  sampah plastik mengancam  keberlangsungan biota di ekosistem perairan.
Selain itu  keberadaan limbah plastik, khususnya mikroplastik, dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
"Mikroplastik yang masuk ke perairan tawar dapat masuk ke pencernaan biota yang hidup di dalamnya, misalnya ikan. Oleh karena itu, mikroplastik dapat ditransfer ke dalam tubuh manusia melalui makan," jelas Alaika.
Ukuran mikroplastik  yang sangat kecil (< 5mm) membuatnya terjebak di dalam saluran pencernaan manusia dan menjadi vektor transportasi racun.
Sensus Sampah Plastik ini adalah audit sampah plastik di perairan yang pertama kali dilakukan di jumlah titik terbanyak di Indonesia, yakni di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, dan Papua Barat.
Penelitian dilakukan.dengan metode yang variatif dan lengkap, sehingga menjadi penelitian sampah yang paling komprehensif di Indonesia. Sensus Sampah Plastik dilakukan di periode Maret 2022 hingga November 2023, dengan melibatkan 270 relawan dari 38 komunitas/kampus.
Salah satu yang terlibat dalam penelitian kolaboratif ini adalah Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN). Personil ESN, Amiruddin Muttaqien, menceritakan apa yang dilihatnya saat meneliti sejumlah sungai di Pulau Jawa dan luar Jawa di tahun 2022, dengan mengendarai 2 (dua) motor.
"Kami banyak melihat sampah yang tidak terkelola dan tercecer di lingkungan, di sungai, bahkan di perairan pantai, terutama di Indonesia Timur, yang menandakan pemerintah tidak hadir atau lalai dalam memberikan layanan tata kelola sampah bagi masyarakat di daerah tersebut," kata Amiruddin.
Produsen Mengaku Tidak Mengabaikan
Â
Namun pihak produsen beberapa waktu lalu mengaku mengetahui persoalan ini dan menampik bahwa mereka mengabaikan persoalan sampah plastik.
Pada Juni 2023 melalui Yayasan Wings Peduli melakukan  gerakan #PilahDariSekarang sampah pada masyarakat di tingkat rumah tangga, untuk mengurangi sampah plastik yang masih menjadi masalah signifikan bagi lingkungan. Â
Perwakilan Yayasan Wings Peduli Sheila Kansil mengataka pihaknya mengajak masyarakat menyetorkan sampah yang telah dipilah pada bank sampah terdekat. Kemudian  sampah-sampah tersebut akan didistribusi pada pendaur.
"Pihaknya mengajak masyarakat terlibat dalam tahap "Koleksi" sebagai langkah awal siklus pengelolaan sampah plastik, dengan aksi nyata yang bisa dilakukan dari rumah lewat kampanye tersebut," ujar Sheila seperti dikutip dari Kompas.Â
Sementara Mayora Group melalui PT Bumi Indus Padma Jaya (BIPJ) Sudah mendirikan  pabrik daur ulang plastik berbasis polyethylene terephthalate (PET) dengan nilai investasi sebesar Rp183 miliar. Pabrik itu diresmikan pada awal Februari 2023 lalu.
Presiden Direktur PT BIPJ Christine Halim menyampaikan, pabrik dengan kapasitas produksi sebesar 22.000 ton per tahun ini.
"Mayora berharap  pabrik ini bisa mengubah sampah plastik menjadi produk yang bernilai ekonomi," ujar Christine seperti dikutip dari Bisnis.  Â
Sementara Uniliver di situsnya menyatakan sejumlah produknya  sudah mengurangi penggunaan plastik baru. Bahkan  beberapa sudah menggunakan 100% plastik hasil daur ulang, contohnya botol kecap Bango dan Love & Beauty Planet.
Tidak Adanya  Regulasi Kemasan Plastik SachetÂ
Untuk produk-produk perawatan tubuh dan kecantikan, Unilever meniadakan penggunaan bulir (scrub beads) berbahan dasar plastik di dalam semua jenis produk.
Selain itu ada persoalan di mana sampah yang banyak disorot adalah sampah sachet yang memang sulit didaur ulang. Â Hal itu berbeda dengan botol plastik. Regulasi yang ada hanya menyangkut pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di sejumlah daerah.
Seharusnya ada regulasi yang lebih rinci misalnya melarang penggunaaan produk dengan kemasan plastik sachet.
Jika regulasi pelarangan penggunaan kemasan plastik dalambentuk sachet itu ada maka produsen tidak akan memproduksinya. Persoalannya masyarakat  bahwa lebih menyukai produk sachet karena murah dan terjangkau. Â
Sementara stasiun  isi ulang untuk sejumlah produk masih belum popular dan sulit ditemukan  di pasar swalayan sekalipun.  Apakah juga perlu didukung regulasi untuk membuat produsen membuat produk isi ulang?Â
Selain itu pelaksanaan isi ulang tidak mudah untuk sejumlah produk. Produk seperti deterjen, sabun cair, sabun cuci piring, bubuk kopi  mungkin bisa dibuat isi ulang.  Tentu produsen harus kerja keras.  Tetapi bagaimana dengan mi instan? Kecap, sambal atau produk yang kadaluarsanya cepat?Â
Pertanyaaan apakah DPR atau DPRD memang konsen terhadap hal ini? Â Saya meragukan hal itu. Â Â
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H