Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Dua Pendatang Misterus, Bagian Enam

8 Desember 2023   15:09 Diperbarui: 8 Desember 2023   15:59 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ENAM

Serangan Vampir di Tangkuban Perahu, Bencana Ekologi di Ciumbeuleuit

Minggu subuh, Ananda dijemput Lila Permata dengan jip wilis  milik  Panji Anusapati, sepupunya dari Kota Malang.

 Dia mahasiswa Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya yang sedang menyelesaikan skripsi.

Di Jip sudah menunggu  kawan sekelas Lila,  Moses Tarigan,  Rida Helida dan cowoknya  mahasiswa Fikom Unpad  Hendra Jatmika.

Mereka mengajak Ananda naik Jayagiri ke Tangkuban Parahu.  Dia segera berkenalan dengan rombongan Lila.

Hendra anak pencinta alam di kampusnya.  Lila, Moses  dan Rida adalah anak didiknya dari pencinta alam SMAN Cihampelas.

Pengemudi Jip itu  Cak Hardi, supir keluarga Panji.

Rencananya setelah mengantar mereka ke gerbang Jayagiri, Jip itu meneruskan perjalanan ke Tangkubaran Perahu menunggu mereka hiking.

Hiyang kali ini tidak mengawal Ananda.  Dia membekali anak itu sebuah pedang yang disembunyikan dengan kamuflase yang bisa dilipat di ranselnya. Ringan tapi tajam bisa membelah kaca dan logam jika dibuka lipatannya.

"Jangan bikin keributan.  Gunakan pedang hanya kalau kalian diserang mahluk-mahluk itu yang sudah kembali ke hutan-hutan di utara Bandung. Hanya saja mereka muncul menjelang maghrib."

Demikian pesan Hiyang Ridari.   Sang Alien lebih memilih mengawal Adinda yang jalan bersama tantenya Emma ke kampusnya di Ciembuleuit.

Baca: Dua Pendatang Misterius Bagian Kelima  

                                                                                                     *****

Sebagai anggota BEM di kampusnya, Emma ingin tahu kasus matinya puluhan tikus tinggal kulit dan tulang di sekitar kampus.

Tim Biologi dan Teknik Lingkungan ITB sudah hadir di sana.

Adinda merasa bersalah karena  cipik-cipik yang terlepas . Itu sebabnya dia ingin ikut tantenya.   Dia sebetulnya ingin mencari hewan dari planet mereka bersarang. Mumpung belum banyak yang tahu. Bu Mia pun hadir.

"Kalau sudah ketemu sarangnya, hancurkan!" kata Adinda dengan telepati.

Hiyang Ridara paham akan terjadi bencana ekologi kalau dibiarkan.

Adinda punya cara mencari sarang cipik-cipik. Dia sudah mempersiapkan dari planetnya, yaitu pemangsa cipik-cipik yang dinamakan achiecayang.

Hewan itu memiliki panjang hampir setengah meter dengan delapan kaki, kulitnya tebal bersisik berwarna ungu muda.  Mulutnya meruncing, tetapi cukup lebar dengan lidah tentakel panjang ganda yang bisa membuat cipik melekat lalu menelannya.

Jika cipik-cipik terlalu banyak dia akan memberikanya pada Achiecayang. 

Adinda tidak tahu  mengapa spesies ini dinamakan achiecayang.  Konon penemunya dulu manusia generasi pertama  suka sama  seorang cewek.

Sayang cewek itu terpisah darinya ketika dia terpilih oleh Hiyang. Lalu untuk mengenang nama hewan itu dia  sebagian nama pujaannya pada hewan itu.

Adinda menyembunyikan achiecayang dalam tas kamuflasenya.

Dia melihat rombongan masih mengamati  puluhan tikus tinggal kulitnya saja bergelimpangan di areal parkir hingga RTH , bersih bahkan tidak ada darah.

"Apa ini?" tanya Emma pada Adinda. "Jangan-jangan kamu tahu ya?"

"Iya Teteh, aku melepasnya nggak sengaja agar laki-laki itu melepas Lila," bisik Adinda.

'Hewan apalagi itu? Alien juga?"

"Cipik, seperti semut di sini. Dia pemakan sampah organic sebetulnya," kata Adinda.

Emma hanya menggeleng kepala. "Bagaimana orang planet kamu mengatasinya?"

Dinda menarik tantenya ke pepohonan. Lalu dia mengeluarkan achiecayang dari tas kamuflasenya dan meletakannya di tanah.

Emma ingin memekik, tapi nanti orang-orang tahu siapa Adinda.

Achiecayang melesat menuju sebuah gundukan tanah agak tinggi dan membongkarnya dengan mudah.

Emma ingin berteriak, ketika cipik-cipik keluar dan achiecayang menyapunya dan menelannya lalu meninggalkan sisa capitnya.

"Ini baru satu koloni. Mungkin baru, yang besar di sekitar punclut," kata Adinda. "Aku harus memusnahkan sebelum diketahui banyak orang."

"Terlambat peneliti dari ITB sudah menemukan belasan ekor yang sedang menyerang seekor anjing." Hiyang memunculkan diri.

"Artinya, semua sampah organik dan tikus di areal kampus ini  habis, cipik-cipik mencari sasaran besar. Bukan tidak mungkin manusia," ucap Adinda.

Lima belas menit kemudian Dinda, memasukan achiecayang ke dalam tasnya setelah minum air genangan yang ada di sana.

Para peneliti sudah mendapatkan sampel. 

Emma  dan Dinda melihat seekor anjing meraung karena tubuhnya penuh bisul.   

"Cipik-cipik itu meninggalkan telurnya di dalam tubuh anjing itu!" terdengar suara Hiyang yang memakai baju kamuflase hingga tak tampak.

"Sarang koloni berikutnya di tubuh anjing itu dan mungkin juga di tubuh Anton Maryanto."

Mereka bercakap-cakap dengan telepati.

"Cipik tidak membunuh inangnya tetapi memaksanya makan terus. Kemudian keluar bersama kotoran inangnya."

"Aku membawa awal bencana ekologi di kota yang dicintai ibu dan ayahku."

Namun pihak peneliti justru membawa anjing kampung itu ke dalam kerangkeng untuk dibawa ke dokter hewan.

"Pekerjaan kita masih banyak Hiyang Ridara!"

"Besok pers pasti gempar," kata Emma.

"Aku jamin akan dirahasiakan. Tapi sampai berapa lama?"

Dinda menghampiri Bu Mia.

"Aku boleh melihat anjing itu dirawat?"

Bu Mia mengangguk. "Kamu tuh bisa jadi ahli biologi hebat.:

Dia kemudian seorang laki-laki usia 40 tahunan dan berbicara

"Pak Dicky mengizinkan. Dia ahli serangga di ITB," ucap Mia.

Lalu Dinda menghampiri Emma. "Boleh ya, Teteh?"

"Boleh, tapi aku ikut Ya!"

Bu Mia juga tertarik.

"Kamu menyembunyikan sesuatu ya?"

Hiyang tiba-tiba memberikan telepati.

"Aku harus ke Tangkuban Perahu mendung akan datang.  Kakakmu alam bahaya."

"Aku bisa mengatasi cipik sendiri."

                                                                                 ***

Ananda dan Lila ada di belakang Panji yang memimpin rombongan.  Sementara di belakangnya Rida dan Hendra, serta Moses paling belakang.

Mereka baru menempuh hutan pinus.

"Aa tahu soal lagu Melati dari Jayagiri, konon penulisnya terilhami di daerah ini. Tetapi nggak ada melati di kawasan ini. Hanya ada bunga-bunga tambahan," tutur Lila menunjuk bunga berwarna ungu di dekat jalan setapak.

Nanda menggeleng.  Dia juga baru singgah di Lembang bahkan dia ingin tahu Tangkuban Perahu seperti apa.  Areal koloni manusia di planetnya hanya menjiplak Bandung sampai Tahura ke utara.

"Kakakmu itu pendaki gunung?"

"Iya dia pencinta alam di kampusnya. Dia pernah mendaki Semeru. Gunung tertinggi di Jawa."

Nanda sebetulnya dunia di luar Bandung. Seperti apa Semeru?

"Kalian asli Malang?"

"Iya," jawab Lila. "Keluarga besar aku di Malang. Cuma keluargaku di sini."

'Jalurnya cukup terjal.  Hingga berapa kali Nanda berpegangan di pohon.

Akhirnya tiba di shelter tempat penjaja makanan. 

"Kita makan dulu di sini!"  ajak Panji.

Ada puluhan orang di warung melahap makanan khas Sunda.  Nanda menyantap nasi merah dan ikan asin.

Biasanya di planetnya makanan disiapkan para hiyang. Dia baru pertama kali makan di wrung di hutan.  Dan membayar.  Di planetnya, uang hanya basa-basi agar manusia merasa hidup di Bumi.

Kini dia merasakan  makanan asli dibuat manusia dan membayar dengan uang saku dari keluarga ibunya

Mereka melanjutkan perjalanan melalui hutan menuju Tangkuban Perahu. Mendung mulai turun.  Selain mereka ada empat pendaki lain.

"Mudah-mudahan nggak hujan di Tangkuban Perahu sampai kita dijemput  Cak Hardi," ucap Panji.

Nanda berbisik pada Lila. Dia dapat kontak telepati dari Hiyang. "Jangan jauh-jauh dari aku!"

"Ada apa lagi nih," kata Lila.

"Kamu tahu vampir kan?"

"Cerita Edward Cullen?" Lila tertawa renyah. "Aku banyak nonton film vampir, tapi yang romantis."

Nanda tidak tertawa.  Sebagai seorang pencinta alam Lila peka, kekasih tidak becanda. Hingga saat ini dia percaya Nanda tidak pernah mengada-ngada.

"Namanya bukan vampir. Itu kalian di Bumi menamakan. Tetapi kalau dia menggigit, maka manusia yang kena tertular virus yang menjadikan haus darah dan peka terhadap matahari."

"Mendung tebal membuat matahari jadi berkurang?"

"Betul Lila!"

Mereka tiba di gerbang Tangkuban Perahu. Setelah bayar tiket keenamnya  memasuki areal parkir.  Di sana sudah menunggu Cak Hardi mengantarkan mereka ke kawah.

Jarak area parkir ke Kawah Ratu masih jauh, Panji khawatir hujan turun.

Suasansa kawah  cukup ramai. Week-end. Mereka tidak memperdulikan langit menjadi gelap dan rata-rata membawa jas hujan.

Hari ini awal Desember  hal yang normal.

Mereka berfoto bersama di pagar kawah untuk kebutuhan Instagram.  Nanda tetap waspada. Lila pun menempel Nanda.

"Ayo kita cari warung mi instan," ajak Panji. "Pasti kalian lapar!"

Tiba-tiba  seorang pengunjung berteriak menunjuk ke arah langit.  Belasan mahluk yang awalnya tampak seperti burung tetapi terlalu besar bergerak menuju kawah.

Hanya beberapa detik dua orang pengunjung disambar dan dibawa entah ke mana.

Ilustrasi: :  https://www.zbrushcentral.com/t/old-vampir/290897
Ilustrasi: :  https://www.zbrushcentral.com/t/old-vampir/290897

Nanda mengeluarkan pedangnya dan membuka lipatannya.  Tepat ketika mahluk bergigi runcing itu hendal menyambar Lila, Nanda menyabetkan pedangnya.

Mahluk itu terbelah dua dengan teriakan melolong.  Darahnya berwarna hitam  muncrat.

Ketika sesok mahluk hendak menyambar seorang anak kecil, Nand bergerak cepat dan menusuknya tepat di jantung hingga tembus ke punggung.

Mahluk itu berteriak dan Nanda melemparnya ke kawah.

Ada dua polisi yang ada di sana segera menembak mahluk itu.  Kena, tetapi tidak cukup mematikan karena kulitnya tebal. Tapi satu sayapnya terkoyak. 

Lalu mahluk itu berjalan dan marah pada polisi yang menembaknya. Polisi itu dikoyak dengan cakarnya dan ketika satu lagi yang terjatuh hendak dibunuh.  

Nanda melompat dan membelah mahluk itu.

Mahluk itu menjadi marah karena ada yang mengganggu ajatah makan mereka.  Dua mahluk menyerang Nanda, tepat ketika Hiyang Ridara datang dengan tangannya kokoh mencabik mahluk ltu dan melemparnya ke kawah.

Pengunjung berlarian.  Beberapa tentara datang membawa senapan M-16 dan menembak ke arah mahluk itu bertubi-tubi.  Satu mahluk mati juga.

Seorang perempuan keluar dari mobil dan mengeluarkan lampu memancarkan ultra violet.  Satu mahluk hangus jadi debu dan mahluk yang mati di hamparan parkir disapunya agar tidak tersisa.

Hiyang membunuh satu mahluk dengan menginjaknya dan melemparnya ke arah pancaran ultra violet.

Perempuan menghampiri Nanda.  Dia tidak heran melihat Hiyang.

"Aku Yuyi Namara. Aku sudah tahu siapa kalian dan siapa hiyang. Aku pernah diwawncarai ayahmu, yang mirip dengan kamu soal ruang angkasa.  Saya bekerja di Gedebage Technopolis proyek rahasia kami.  Di sana  juga ada hiyang lain."

"Tentara ini?"

"Kami sudah tahu mahluk itu yang menyerang ayah dan ibumu. Tentunya tidak diketahui public."

Panji, Moses, Rida, Hendra tercengang.

Seorang perwira membriefing pengunjung dan polisi yang menyaksikan untuk tidak menginformasikan ke publik.

"Lalu pengunjung yang hilang dan polisi tercabik?" tanya Lila.

"Kecelakaan di kawah. Pak Polisi gugur menyelamatkan pengunjung dan dua orang hilang," jawab Pak Kolonel menghampiri Lila. "Kalian juga bilang begitu pada pers."

"Beres Komandan," kata Lila.

"Dua orang itu mau dibawa ke mana?"

"Ke pesawat ruang angkasa untuk kemudian dibawa planet mereka  dijadikan ternak agar darahnya bisa diperah, seperti kalian mengambil susu sapi. Manusia yang ditangkap dikasih makan yang cukup menambah darah semampu mereka," terang Hiyang Ridara.

Hari itu juga mereka diminta ikut Yuyi ke Gedebage Technopolis.

"Aku ingin membebaskan dua orang itu, mudah-mudahan nggak terlambat Hiyang?"

"Belum.  Tetapi lakukan sebelum malam," kata Hiyang. "Aku tahu lokasinya, tetapi nggak tahu namanya."

Dia membuat proyektor virtual.

Kolonel itu  mengangguk. "Itu Jalur dari  Patrol ke Ujungberung." (Bersambung)

Irvan Sjafari 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun