Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Coban Kaca dan Kisah Candi Songgoriti

27 September 2023   21:56 Diperbarui: 27 September 2023   22:01 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Songgoriti-Foto: Ciciek Kemalasari

Batu memang layak menyematkan dirinya sebagai Kota Wisata. Bukit dan gunung yang mengelilingi kota yang luasnya 194,2 Km2 memberikan sejumlah panorama alam, di antara  spot-spot air terjun yang bahasa setempat disebut Coban.

Pada hari ketiga Trip Malang-Batu, Minggu Pagi 10 September 2023 saya, sahabat saya Ciciek Kemalasari dan anaknya Dzaqi Fardan berdiskusi tentang coban apa yang dikunjungi. Ibu dan anak menjadi pemandu wisata saya.  Tadinya mau Coban Putri, Coban Talun atau Coban Rondo.

Namun Ciciek dan Dzaqi bersama sahabat mereka sudah pernah ke tempat ini, akhirnya dipilih Coban Rais.  Tempat ini juga punya spot air terjun juga bernama Coban Kaca.  Tempat ini menjadi tempat kunjungan kami.

Coban Kaca terletak di Desa Oro-oro Dombo, lereng Gunung Panderman. Kami bertiga mengendarai taksi daring dari kawasan Lesti, tempat kediaman mereka dan tiba hanya dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit.

Saya membayar loket sebesar Rp10 ribu. Tadinya saya akan melakukan hiking dengan  mereka. Tapi setelah mendapat penjelasan dari tukang ojek medannya bukanlah seperti Taman Hutan Raya Djuanda di Bandung yang melandai.

Medan menuju Coban Kaca turun naik dengan kontur curam dengan jarak sekira 4 kilometer, yang kira-kira satu setengah jam cukup membuat ciut Ciciek dan saya saja yang punya pengalaman hiking juga merasa medannya bukan untuk amatir.  Sementar Dzaqi santai saja.

Akhirnya kami menyewa dua ojek yang cukup mahal yaitu Rp70 ribu pulang-pergi.  Ciciek dan Dzaqi di motor pertama, saya di motor kedua.

Awalnya perjalanan mulus menempuh jalur hutan pinus yang konturnya naik turun seperti lazimnya bukit. Untuk hiking masih aman karena jalan setapaknya lebar membelah hutan. Selain itu jarak antara jalan ke jurang cukup lebar jadi aman.

Nikmatnya  Perjalanan Tanpa Jejak Motor Trail 

Yang paling saya suka tidak ada tanda-tanda pengendara motor cross atau motor trail seperti di kawasan Lembang yang hanya merusak jalan setapak hingga menyulitkan penikmat hiking.

Namun pada etape berikutnya saya paham mengapa tidak ada pengendara motor trail punya nyali kebut-kebutan di areal ini. Selain itu memang ada larangan bagi motor trail untuk masuk.

Ada jalur sekira satu kilometer yang sebelah kirinya jurang dalam dengan lebar jalan sekira dua meter tanpa pagar dan di sisi lain adalah tebing yang punya potensi longsor. Wow, hanya para hiker yang cukup punya jam terbang bisa melalui ini.

"Kalau hujan kami tidak berani membawa wisatawan karena licin dan sampeyan terjatuh ke kedalaman puluhan meter, serta sulit ditemukan," ungkapnya.

Sayang saya tidak bisa memotret jalur ini karena berada di atas motor, serta terlalu riskan untuk berhenti memotret. Karena tempatnya sangat sempit. Kami beruntung melakukan perjalanan di musim kemarau. Tidak saya rekomendasikan untuk hiking pemula.

Jalur Terjal- Sumber  Foto: udaindra.blogspot.com
Jalur Terjal- Sumber  Foto: udaindra.blogspot.com

Kami tiba setelah menempuh perjalanan sejauh empat kilometer. Hasilnya adalah panorama air terjun yang asri dan tampaknya hanya untuk remaja ke atas. Untuk mencapai air terjun tingkat pertama yang tingginya berkisar 40-50 meter meter itu cukup licin.

Airnya sangat jernih dan dingin, mengalir ke hutan lindung. Sementara di bawah ada air terjun tingkat dua yang tingginya hanya 4 hingga 5 meter.

Jelas kunjungan ke tempat ini bukan untuk petualang amatiran yang suka memakai sandal jepit. Saya bersyukur juga tidak menemukan jejak motorcross di tempat. Berarti dari jalur lain juga cukup ekstrem.

Mereka yang datang berjalan kaki, sebaiknya menggunakan sandal gunung atau sandal yang memikat kaki serta cukup tebal, lebih baik sepatu kets. Cidera di tempat ini sangat tidak menyenangkan, karena akan sulit membawanya ke bawah. Itu pun kalau kecelakaan ada orang lain.

Setelah satu jam berfotoria, kami pulang dengan ojek yang sama. Menurut tukang ojek yang saya tumpangi, sebagian sewa adalah untuk merawat tempat ini. Termasuk nantinya untuk membangun pagar di jalur yang rawan

Bagian ini pernah dimuat di Koridor

Cerita Ciciek Tentang Candi Songgoriti

Sebagai anak sejarah, Ciciek punya rasa ingin tahu yang mendalam tentang sejarah desanya. Dia dan Dzaqi kerap mengunjungi Candi Songgoriti yang terletak sekitar 6,6 kilometer dari pusat kota ke arah Barat. Kunjungan dilakukan beberapa kali dan paling anyar pada Januari 2023. Dia pernah menjadi narasumber saya untuk suatu tulisan.

Dalam penuturunnya, Ciciek mengaku tertarik tidak hanya karena candi itu jejak sejarah masa Hindu di Jawa Timur, tetapi juga adanya mata air yang punya tiga khasiat hingga cerita supranatural seputar candi itu.

Bersama putranya, Ciciek mengunjungi candi yang berada dalam areal hotel air panas alam Songgoriti dengan menumpang angkot. Lokasinya tak jauh dari Pasar Songgoriti.

Karena berada di areal halaman hotel, maka candi itu tampak terawat dengan baik. Di dekatnya terletak kolam dengan bunga teratai, serta hamparan rumput menghijau. "Kami seperti memasuki taman yang asri," ujar Ciciek.

Lokasi situs bersejarah itu berdekatan dengan Songgoriti Hot Spring, yang menjadi jualan utama hotel tersebut. Dengan demikian wistawan yang menginap selain berenang di kolam renang air panas, juga mendapat wawasan tentang sejarah.

"Di Pos Informasi ada penjaga yang bisa menjelaskan asal-usul candi tersebut. Ada lukisan Nyi Roro Kidul dan Semar di dalamnya, yang jika difoto tidak akan muncul," tutur alumni sejarah UI ini.

Menurut informasi yang didapatnya dari pos jaga, candi ini berdiri pada 928 Masehi. Sementara hotelnya dibangun pada 1911 dengan nama Badhotel Songgoriti.

Reruntuhan candi itu memiliki panjang sekira 3,8 meter, lebar 3,7 meter dan tinggi kira-kira 2,8 meter. Sekali pun dalam kondisi tak utuh, Candi Songgoriti menyimpan kisah sejarah yang patut untuk disimak. Candi Songgoriti yang saat ini terlihat merupakan puncak dari candi, sedangkan badan candi masih terpendam dalam tanah.

Candi Songgoriti merupakan peninggalan Mpu Sindok, raja pertama Kerajaan Medang Isyana. Berawal dari keinginan membangun Pesanggrahan yang dekat dengan sumber mata air maka Mpu Sindok memerintahkan Mpu Supo penguasa daerah Songgoriti untuk membangun Pesanggrahan di Songgoriti sekaligus candi.

Itu sebabnya candi ini sumber air panas nya pun bervariasi. Sumber air pun menjadi begitu spesial karena juga tempat beristirahat dan bersuci. Sedangkan Pesanggrahan menjadi Desa Pesanggrahan yang berada di Kota Batu.

Selain candi, perempuan yang berprofesi sebagai wirausaha ini tertarik pada tiga mata air yang masing-masing punya fungsi. Pertama, air panas yang mengandung balerang untuk menyembuhkan penyakit stroke.

Kedua, air dingin dengan khasiat bagi kehidupan baru. Serta ketiga, sumber mata air rasanya seperti air kelapa muda. "Air balerangnya seperti mendidih. Saya juga minta mata air ketiga dan benar rasanya seperti air kelapa, " imbuhnya.

Sejarawan dari Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menyamaikan bahwa sekali pun Songgoriti merupakan candi kecil dan sebagian sudah runtuh, tetapi candi ini adalah peninggalan sejarah yang cukup istimewa.

Letak geografisnya di lembah antara Gunung Banyak, anak Gunung Anjasmoro di utara dan Gunung Panderman, anak Gunung Kawi di selatan membuatnya dapat mengalirkan air yang mengandung balerang.

Diduga pada masa lalu Gunung Panderman pernah jadi gunung api. Suatu saat terjadi erupsi tidak menembus lubang kepundan dan ada gerakan lava menyamping dan itu munculnya di Songgoriti.

"Songgoriti adalah candi sekaligus patirtan (pemandian) yang punya dua fungsi yaitu sebagai penyucian dan sebagai penyembuh, mengobati penyakit kulit," ujar peraih magister Arkeologi UI ini kepada Koridor. 

Candi Songgoriti-Foto: Ciciek Kemalasari
Candi Songgoriti-Foto: Ciciek Kemalasari

Candi ini bergaya Jawa Tengahan yang berakhir pada abad ke 10 atau setidaknya transisi ke era candi Jawa Timuran yang dimulai abad ke 13. Ciri khas Candi Jawa Tengahan ialah tubuhnya tambun. Pada bagian atap terdapat undakan yang terdiri atas tiga tingkatan, sedangkan puncaknya berbentuk stupa (candi Buddha), ratna atau vajra (candi Hindu).

"Di kanan kiri relungnya ada pahatan mahluk kahyangan, mirip Jawa Tengah abad ke 8 dan abad ke 9. Berdasarkan argumen ini Candi Songgoriti diperkirakan ada di masa Mpu Sindok.Sementara candi bergaya Jawa Timuran ramping dan menjulang tinggi pada bagian puncak," pungkasnya (Bagian Keempat dari Lima Tulisan). 

Irvan Sjafari, Ciciek Kemalasari

Sebagian tulisan dari tulisan saya di media online Koridor. 

https://koridor.co.id/rehat/kota-batu-menyimpan-jejak-sejarah-klasik-yaitu-candi-songgoriti-meski-kecil-ini-contoh-candi-bergaya-jawa-tengahan-di-wilayah-jawa-timur-dulunya-sekaligus-tempat-pemandian/ 

https://koridor.co.id/rehat/pesona-coban-kaca-kota-batu-jawa-timur-asri-sejuk-dengan-perjalanan-mendebarkan/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun