"Oii, pistolmu masih ada satu peluru kan?"
"Jangan cemas, mas Harjum. Dia koncoku juga. Â Aku mau ajak dia salat di langgar, jadi imam kami."
"Yaa, Wong Edan. He, Bung Ikhsan, Kemala kosong tuh, siapa tahu kamu bisa jadi Imam dia."
Saya tidak menjawab, Kemala juga. Kami berlalu.
"Jadi tumbal ketujuh bisa nanti-nanti?"
Baik pihak Republik dan Belanda sama-sama tertawa.
Kemala tidak menjawab. Â Saya hanya berharap mudah-mudahan perang di hatinya segera berakhir, seperti halnya Perang Kemerdekaan ini.
"Komandan, wedang jahenya masih banyak, juga singkong bakarnya..." terdengar suara dari dalam rumah yang terbengkalai itu.
"Welleh, Munadi, kamu pikirannya makan saja..ya wesss!"
                                          ***
Berapa tahun kemudian  saya kembali ke Malang ingin mencari Kemala dan anaknya Didik.  Tetapi Harjum  malah meminta kami untuk bertemu kawannya yang melatih Kemala.