"Nantilah, Ibu mau cerita-cerita dulu."
"Oh, masih dua  cerita lagi ya? Yang di kolam renang Tretes itu. Oh, iya koncomu itu Gun, yang  rambutnya gundul,  yang paling brutal memperkosa Ratna dan nyaris aku!"
"Ya, Bimo," jawab Gunadi.
"Namanya nggak sesuai dengan ahlaknya. Harusnya Bimo itu membela kehormatan perempuan bukannya merusak!" celetuk Kemala.
"Kamu tembak di kepala gundulnya?" tebak saya.
"Eunak tenan kalau itu.  Koncomu itu, Gun berenang telanjang bulat tidak ada yang lihat. Aku mengamatinya mengusir teman-temannya agar tidak mengganggu kesenangan dia. Dia ingin menyepi.  Lalu aku potong kabel listrik berapa meter, lalu aku ulurkan ujungnya ke kolam renang. Koncomu terlalu fokus berenang itu baru lihat aku setelah dia kejang-kejang, untung masih bisa keluar. Lalu begitu keluar, itunya loh  aku setrum dan jatuh kembali ke kolam, lalu baru aku tembak!"
Didik dengan santai mengunyah singkong bakarnya. "Lapar Bu! Bakarin lagi!"
"Kami datang dua jam kemudian, mayat Bimo sudah mengapung  di Kolam seperti kepiting rebus dan kepala berlubang. Kolam menjadi merah darah."
"Kejadiannya Februari 1949. Sebelum kalian melakukan kebiadapan lain di Peniwen tanggal 19 bulan itu. Apa salahnya anggota palang merah? Mereka juga menolong kalian jika terluka? Itu rumah sakit juanjuk! Lalu kalian perkosa juru rawat di sana. Â Begitu bangsa beradap?" Â Suara menggelegar.
"Perempuan diciptakan untuk menjadi pasangan laki-laki, bukan ditindas seperti binatang!"
Gunadi tertunduk. Dia menangis. "Bintang ikut di regu yang menyerang  Peniwen. Aku di luar tidak berani karena tahu apa yang akan mereka lakukan!"