Kapten Daud sudah menyiapkan sebuah kapal pinisi. Mak Eti lebih suka di pantai. Yang naik kapal Raya, Bagus, Purbaendah, Atep, Kunihiro, Sari Okano, dua pengawal Purbaendah, Subarja dan Jumhana menunggu di pantai dan tidak ikut.
Dari Manuk Dadali yang ikut hanya Serda Reda, sementara Robin dan Made lebih suka menunggu di pantai. Sejumlah pelaut dan tentara ikut di kapal itu, juga ada beberapa penumpang warga Tanjung Jakarta.
Sementara Kanaya, Yura dan Maurizia bersepedaan di atas air mengiringi kapal pinisi. Kecepatannya diatur sama dengan kecepatan pinisi. Mereka menuju pulau Cendani berbentuk C yang menjadi pelindung bagian utara pulau Pelopor. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari tepi Tanjung Jakarta.
"Tiga cewek itu benar-benar nggak ada takutnya. Untung gelombang di sini ringan. Tapi sepeda itu temuan yang hebat dari kalian, bisa jalan di atas air," puji Cynthia.
"Bukan itu saja, nanti kalian lihat sendiri," kata Bagus.
"Inikah laut itu?" tanya Purbaendah. "Aku pernah dengar lagu dari sebuah bangunan di Kabandungan. Nenek Moyangku orang pelaut. Aku hapal lagunya?"
"Kirain Manuk Dadali saja?"
Lalu Purbaendah bernyanyi, yang membuat para awak hormat. Bagus pun bangga. Kemudian Raya dan Cynthia mengikuti bernyanyi.
Nenek moyangku seorang pelaut/ Gemar mengarung luas samudera/menerjang ombak. Tiada takut/menempuh badai sudah biasa/ angin bertiup/layar terkembang/ombak berdebur di tepi pantai/pemuda berani/bangkit sekarang/ke laut kita beramai-ramai.
"Perempuan gunung yang ingin kenal laut," puji Bagus.
"Tapi mereka yang punya bakat untuk itu?" tunjuk Daud pada tiga perempuan yang begitu stabil bersepedaan air.