Kanaya memperhatikan matahari yang cukup terik. "Musim panas rupanya?"
"Ya, di Kuantum XX musim panas pada Maret hingga Agustus mirip di Bumi di Katulistiwa dan musim hujan September hingga Februari. Kalau di belahan sub tropis lebih variasi, tetapi tidak seperti di Bumi ada musim semi dan gugur," jelas Raya.
Bus meluncur terus mulai memasuki kota Tanjung Jakarta. Para awak Manuk Dadali mengaguminya. Agar bisa leluasa Sersan Iko yang mengemudi membukakan atap bus hingga angin menerpa masuk. Para awak Manuk Dadali bisa berdiri.
Tanjung Jakarta tidak meniru Jakarta seperti halnya Preanger Satu di Titanium meniru tujuh puluh persennya seperti Bandung dan bagian luar kotanya mirip Tahura.
Tanjung Jakarta hanya membuat replika Monas dan Istana Merdeka, Masjid Istiqal dan Gereja Kathedral dengan lapangan hijau luas segi lima. Mungkin simbol asal nenek moyang mereka .
Bus itu melewati areal itu setelah melalui jalan panjang di antara sejumlah blok bangunan antara lima hingga sepuluh lantai dan hutan kota. Jalan raya tidak terlalu ramai. Sepeda berseliweran dengan aman. Jalan tampa bersih. Robot-robot penyapu jalan hilir mudik.
"Di mana Menteri? Bukan di Istana?" tanya Bagus menebak.
"Istana Merdeka di sini jadi museum sejarah asal usul manusia. Pusat pemerintahan di Pendopo Limas lebih jauh di selatan," jawab Raya.
"Iya, karena di situ banyak pepohonan dan dekat danau yang tidak terlalu besar," tambah Badli.
Purbaendah terpukau menyaksikan panorama. Manusia berpakaian dengan bahan seperti katun berjalan kaki, naik sepeda hingga menaiki bus.
"Yang disebut modern itu seperti ini, AA?" tanya Purbaendah kagum.