Selain Cynthia, ada Badli Saputra dan Nola Rachmawati, salah seorang anggota dewan, Kapten Daud Hasan, penanggungjawab keamanan di bandara.
Rombongan menggunakan semacam bus untuk menjemput rombongan dengan baterai matahari seperti di Titanium, serta dikawal mobil lebih kecil berbentuk jip tertutup. Hanya saja, koloni manusia di Kuantum XX menggunakan kendaraan beroda karet dengan baterai tenaga matahari.
"Heran? Kami masih menggunakan kendaraan kuno biar mengingatkan kami pada jati diri di Bumi. Kami juga punya kapal laut yang bisa melayang di atas air, tetapi sekaligus bisa menyelam berbentuk ikan pari," papar Raya pada teman-temannya.
"Berarti di sini ada tanaman karet?" tanya Bagus.
"Yuup, di planet kalian sulit ya, karena manusianya bermukim di dataran tinggi? Di sini yang paling tinggi gunung atau bukit sekitar tiga ribu meter. Kami juga punya kereta dengan rel yang dijalankan dengan listrik tenaga angin dan matahari, serta energi yang kita gunakan nanti," Raya jadi juru penerang.
"Energi apa kunaon? Yang kita gunakan untuk Manuk Dadali?"
"Yuup, belum tahu namanya. Warnanya oranye seperti warna khas  Tanjung Jakarta. Jumlahnya hanya seratus kilogram di  Manuk Dadali tapi bisa membantu terbang selama ratusan tahun. Itu sebabnya kita ke planet ini dulu," ucap Raya.
Di Bandara juga parkir pesawat berbentuk seperti pesawat kertas berkuran besar dengan runcing di bagian depan. Tanpa roda. Terbuat dari logam, bisa mendarat dengan cara vertikal atau konvensional sepertinya pesawat Guru Minda.
"Kalau dalam buku sejarah Bumi di Titanium ini mainan anak-anak?" tanya Zia.
"Inspirasinya dari situ. Pesawat ini dinamakan V-Cakrawala. Bentuknya seperti huruf V," jawab Badli, pria yang tinggi besar, sekitar 175 sentimeter dengan berat 70 kilogram.
Kami segera keluar dari bandara. Di sepanjang jalan terlihat kincir angin jumlah ratusan yang terus berputar tandanya anginnya memang kencang, meskipun pohon seperti palem berbaris rapat membuat suasana hijau. Sementara di sisi lain terdapat ladang jagung yang menguning.