Satu:Â Tanjung Jakarta
Bandara pesawat antariksa Tanjung Jakarta terletak di pinggir laut yang tenang. Para awak turun dari perut Manuk Dadali menggunakan jembatan virtual melandai. Manuk Dadali kokoh dengan sayap terkembang dan berdiri dengan cakarnya.
Sebanyak 13 awak mengenakan baju celana dengan nuansa emas dengan sabuk putih dan topi berbentuk kepala garuda turun. Empat tentara, Letnan Satu Robin Hermanus, Letnan Dua Jumhana, Sersan Subarja, Serda Reda Fahrudin, mengenakan tambahan semacam penembak di tangan kananannya berada di barisan paling depan.
Pimpinannya Raya Purwanti, 35 tahun mengikuti, diikuti Bagus Sucahyana, 25 tahun, istrinya Purbaendah 25 tahun, Made Kamajaya, 30 tahun, Kanaya, 27 tahun, Yura, 22 tahun, Maurizia Maharani, 25 tahun mengenakan tambahan jilbab berwarna keemasan, Atep Firman, 22 tahun dan terakhir Mak Eti, 60 tahun dengan tambahan kain batik bernuansa emas dengan motif lurik hijau tua.
Mereka semua menggendong ransel besar di punggungnya yang juga berwana keemasan, kecuali Mak Eti yang perlengkapannya di bawah Sebuah Robot berbentuk lutung mengangat ransel Mak Eti. Satu robot lutung lagi menarik gerobak berisi sepeda lipat.
Rombongan disambut beberapa pembesar Tanjung Jakarta berpakaian serba putih dengan kopiah hitam, serta perwira tinggi tentara berpakaian bernuansa oranye. Mereka menggunakan cambuk api, yang juga dikenakan Raya dan Purbaendah.
"Raya," seorang perempuan sebaya menyambutnya.
"Cynthia," ucapnya.
Mereka berpelukan.
"Kawan-kawan ini, Cynthia Hadju kawan sekolah aku di sekolah menengah. Hanya dia melanjutkan pendidikan di Kelautan, kalau aku ke teknik pesawat antariksa," Raya memperkenalkan sahabatnya itu pada rekan-rekannya. Satu demi satu menyalaminya.