"Sebelum mati, lihatlah Pangandaran Lebih Dahulu". Â Demikian kutipan dari buku "Republik Indonesia: Propinsi Djawa Barat, Kementerian Penerangan terbitan 1953". Â
Dalam buku itu disebutkan  pada awal 1950-an Pelabuhan Ratu, Cipatujah dan Pangandaran belum banyak dikunjungi  karena keadaan keamanan, namun mempunyai keindahan alam yang tetap abadi.
Sesudah pendudukan Jepang, Perang Kemerdekaan diikuti Pemberontakan Darul Islam belum ada laporan perjalanan wisata di kawasan Pangandaran.
Buku Repulik Indonesia: Propinsi Djawa Barat terbitan 1953 mengakui hal itu.  Namun seiring dengan putusnya akses pariwisata  penduduk daerah itu menemukan komoditas baru, yaitu kelapa. Perkebunan kelapa kita dapati sepanjang pantai selatan Jawa Barat, terutama daerah Ciamis, Tasikmalaya, dan seluruh Banten.Â
Ada yang teratur milik onderneming dan kepunyaan rakyat yang tumbuh liar sendiri. Meskipun awalnya di daerah Priangan Timur (Ciamis-Tasikmalaya) Â kelapa boleh dikatakan tidak ada harganya. Â Terutama di tempat-tempat terpencil di sepanjang pantai selatan yang sukar hubungan dengan kota-kota ramai.Â
Bukan hal yang aneh kelapa jatuh bertebaran tanpa ada yang memungut. Jatuhlah kelapa ke tangan tengkulak harganya pun 20-30 sen per butir di kota terdekat, sampai di Bandung atau Jakarta harganya tiga talen hingga serupiah per butir (halaman 43-44). Sayangnya faktor keamanan juga menghambat para petani.
Pangandaran 1950-an memang merupakan kawasan yang berada dalam teror gerombolan bersenjata (bisa Darul Islam, bisa juga kelompok lain). Â Pangandaran masuk dalam Kabupaten Ciamis. Para pejabatnya menjadi target gerombolan.
Sebagai contoh dalam  "Pikiran Rakjat" 19 Oktober 1951  diberitakan Bupati Ciamis R. Abdul Rifai menjadi salah seorang korbannya diculik gerombolan ketika menginap di rumah mertuanya di Desa Bojong, Kecamatan Cilimus (kemungkinan di daerah Kuningan).
Sementara "Java Bode"  edisi 12  Agustus 1953 melaporkan  pada 6 dan 7 Agustus 1953  sekelompok kekuatan yang tidak diketahui (tidak disebut DI/TII), menyerang Desa Pananjung. Tapi koran itu menyebut teroris. Pada tahun 1950-an koran berbahasa Belanda masih terbit di Bandung.
Mereka  menjarah sejumlah rumah. Tiga Organisasi Keamanan Desa (OKD)  ditembak oleh gerombolan tersebut.  Dua puluh orang keamanan juga menemukan seekor rusa betina di daerah tersebut  (tidak disebut mati atau hidup).