Sepanjang sejarah hingga abad ke-20, menikahkan anak (khususnya perempuan) di usia muda  masih menjadi  norma di sebagian besar dunia. Dengan harapan hidup rata-rata selama masa seperti itu hanya 40 hingga 45 tahun, pernikahan anak adalah cara yang lebih cepat untuk bereproduksi.
Anak perempuan biasanya dinikahkan segera setelah mereka mencapai pubertas atau kadang-kadang bahkan sebelum itu. Namun, pada abad ke-20, ketika negara-negara mulai berkembang, perempuan mulai menerima pendidikan, hak memilih dan hak-hak lainnya dan memasuki angkatan kerja, kondisi ekonomi mereka membaik, dan ada peningkatan besar-besaran dalam harapan hidup rata-rata karena praktik medis lanjutan, praktik perawatan anak. pernikahan mulai dipertanyakan
Selama bertahun-tahun, sejumlah besar alasan telah dikemukakan sebagai pemicu di balik praktik pernikahan anak. Masalah ekonomi telah menjadi salah satu faktor utama yang memaksa orang tua untuk menikahkan gadis-gadis muda mereka.
Sistem mahar yang berlaku di banyak negara di mana orang tua dari anak perempuan harus memberikan uang dalam jumlah besar atau barang dan perhiasan yang mahal kepada keluarga menantu dari anak perempuan mereka telah menyebabkan anak perempuan dianggap sebagai beban dalam rumah tangga tersebut.
Namun, pada abad ke-20, ketika negara-negara mulai berkembang, perempuan mulai menerima pendidikan, hak memilih dan hak-hak lainnya dan memasuki angkatan kerja, kondisi ekonomi mereka membaik, dan ada peningkatan besar-besaran dalam harapan hidup rata-rata karena praktik medis lanjutan, praktik perawatan anak. pernikahan mulai dipertanyakan. Segera, praktik ini hampir menghilang di negara-negara maju di dunia.
Di Indonesia, mempertanyakan dan menyoal pernikahan dini, pertama kali disuarakan Kartini pada 1901, dalam sebuah suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon. Seperti surat-surat sebelumnya, isinya lepas dari kegelisahan Kartini menghadapi tradisi pernikahan bangsawan Jawa yang ia anggap kolot.
Dalam suratnya, Kartini menuturkan kemarahannya terhadap pernikahan putri Bupati Ciamis yang bernama Mini. Menurutnya, pernikahan hanya akan melenyapkan masa depan gadis yang baru berusia 13 tahun. Pada  1914,  Dewi Sartika mengkritisi praktik pernikahan anak ibarat penyakit dalam masyarakat pribumi yang hanya bisa disembuhkan melalui pendidikan.
Kritik bukan hanya dari tokoh perempuan, "Soenting Melajoe" edisi 19 Juni 1914 dalam sebuah artikel yang ditulis  S. Maharadjalelo bertajuk "Anak Perempuan'.  Penulis mengkritisi bahwa yang sebut anak perempuan terlalu muda ( untuk menikah) masa itu pada usia 8 hingga 14 tahun.  Sementara pada usia 15,16,17 tahun tidak boleh lagi disebut terlalu muda.
Namun apabila si anak perempuan itu masih mau dan suka belajar seharusnya orangtuanya menuruti dulu keinginan si anak. Â Bahkan ketika anak perempuannya berusia di atas 18 tahun tetapi masih ingin belajar terus dan belum ingin bersuami, orangtua sebaiknya menuruti, karena si anak merasa belum cukup kepandaiannya.
Jelas bahwa persoalan utama adalah menetapkan usia berapa perempuan paling muda menikah. Dalam artikel itu penulis secara tak langsung mengusulkn  usia 18 tahun adalah usia minimal bagi perempuan untuk menikah.
Isu pernikahan muda ini  mencuat dalam Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928. Melalui prasaran berjudul "Perkawinan Anak-Anak", nyonya Moegaroemah dari Putri Indonesia--organisasi sayap perempuan Pemuda Indonesia--mendesak agar praktik pernikahan dini pada perempuan segera dihapus. Ia menyatakan perempuan di bawah usia 15 tahun belum memahami apa itu perkawinan bahkan senang atau tidak pada suaminya.
Pasca Kemerdekaan
Soal pernikahan muda ini  menjadi isu makin mengencang  pada pasca Kemerdekaan. Khusus Jawa Barat menjadi salah satu persoalan sosial yang serius.  "Pikiran Rakjat"  edisi  23 dan 24 Oktober 1952 memuat data yang dilansir Kantor Urusan Agama Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa masalah pernikahan di Jawa Barat menghadapi persoalan serius.
Selama enam bulan 1952 Januari-Juni 1952 terjadi 145 391 pernikahan, namun juga 104.732 perceraian dan hanya 7.900 yang rujuk. Itu artinya selama satu bulan terjadi 25 ribu pernikahan tetapi juga terdapat 16 ribu perceraian. Persoalan pernikahan merupakan salah satu masalah sosial yang buruk di Jawa Barat masa itu.
Dalam berita ini dituturkan, yang amat menyedihkan perkawinan di bawah umur banyak terjadi. Kesehatan bagi isteri sebelum dewasa biasanya sangat diganggu dan anak-anak yang lahir dari si ibu yang masih muda itu kurang sehat.
Begitu pun banyak pula penanggungan-penanggungan kehidupan dalam rumah tangga yang biasanya masih canggung dijalani oleh suami dan isteri. Ini yang menyebabkan perceraian beberapa kali.
Kepala Bagian Kepenghuluan Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Barat A. Dasuki  mememinta organisasi-organisasi wanita membentuk  semacam lembaga konsultasi biro bagian pembelaan wanita untuk mengatasi tingginya masalah perceraian. Dia juga mengkritisi bahwa laki-laki juga punya kontribusi dalam perceraian.
"Sebagai salah satu sebab banyaknya perceraian  ialah kurangnya pengeertian tentang hukum agama pada laki-laki juga faktor pendidikan dan ekonomi tidak boleh dilupakan," katanya dalam "Pikiran Rakjat", 17 Oktober 1952.
Organisasi perempuan bukannya tidak bereaksi. Misalnya saja Perwari dalam kongresnya di Bandung pada Januari 1953, sebnayak 20 cabang menyinggung soal perkawinan. Mereka menyuarakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No 19 1952 tentang Pensiun Janda.
Cabang Surabaya mengusulkan agar pemberantasan perkawinan di bawah umur diperkeras, sedangkan cabang lain mengusulkan adanya penghulu wanita untuk dapat mengurangi perceraian sewenang-wenang di kalangan rakyat. Cabang Surabaya juga mengusulkan agar gadis di atas umur 22 tahun supaya boleh menikah tanpa izin orangtua. Bagi pemuda berlaku batas umur 25 tahun (Pikiran Rakjat, 20 Januari 1953)
Pada 2 Oktober 1953 Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia cabang Cianjur melakukan demontrasi besar yang melibatkan seribu pelajar sekolah lanjutan. Mereka menuntut pemberantasan kawin paksa dan perkawinan di bawah umur.
Demonstrasi ini reaksi terhadap sebuah perkawinan paksa yang melibatkan rekan mereka seorang pelajar putri berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP Kelas I dengan laki-laki berusia 60 tahun. Orangtua si Gadis memaksakan perkawinan ini. Utusan mereka diterima oleh Kepala Daerah Kabupaten Cianjur (Pikiran Rakjat, 8 Oktober 1953).
Di Kota Bandung dalam "Pikiran Rakjat", 22 Oktober 1953 seorang perempuan bernama Sugiyanti menyoal sejumlah bentuk kawin paksa. Poligami yang dianggapnya sebetulnya bagian dari kawin paksa. Dia juga menyinggung pasangan pemuda dan pemudi satu sekolah yang saling mencintai kandas karena orang tua si pemuda tidak sederajat denagn si pemudi. Oleh orangtuanya dipaksa kawin dengan pemuda yang sederajat.
Sugiyanti juga menuntut perempuan harus diberdayakan Karena Pasal 38 UUD 1945 mengamanatkan pemerintah agar etiap warganegara mendapatkan pekerjaan yang layak. Itu artinya perempuan sebagai warganegara juga juga harus mendapatkan pekerjaan yang layak.
Hal senada juga diungkapkan Nji E.KS Ananda dalam Pikiran Rakjat 24 september 1953 bahwa banyak perempuan tidak mengetahui kedudukan istri dalam hukum maupun Agama Islam, hingga dia merasa berat kalau dicerai.
Namun tingginya angka perceraian tampaknya tidak bisa diatasi. Pada Februari 1956 Kantor Urusan Agama Jawa Barat mengumumkan bahwa angka perkawinan di provinsi tersebut  selama 1955 merosot jika dibandingkan pada 1954.
Menurut laporan  yang dimuat di "Pikiran Rakjat" 15  Februari  1956, sebaliknya angka perceraian meningkat. Pada 1955 tercatat 343.237 perkawinan dan jumlah perceraian 225.632.
Artinya jumlah perceraian dari segi presentase sebesar 65,6%dari jumlah perkawinan, suatu angka yang besar dibanding dengan negara lain sekalipun pada masa itu. Dari jumlah itu tercatat angka rujuk sebesar 19.587.
Sebagai catatan, pada 1954 angka pernikahan 316.875 dan talak sebesar 218.879 atau 63% dari jumlah perkawinan dan yang rujuk 18.272.Â
Pada  pertengahan Mei 1957 beberapa anggota parlemen (DPRDP)PropinsiJawa Baratpada mengajukan resolusi tentang masalah perkawinan.
Mereka adalah Ny. Sutarsih Rachman, Ny.Tajhjati Setiasih, H. Mansyur dan A.H. Sjaronimendesak pemerintah pusat perlunya peraturan kepentingan kesehatan keturunan, tindakan jual beli dan perbuatan sewenang-wenang terhadap perempuan.
Seperti dilansir "Pikiran Rakjat", 16 Mei 1957, mereka mengecam maraknya perkawinan di bawah umur, hingga perkawinan jual beli yang memaksa anak perempuan menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya sendiri sebagai pembayaran hutang orang tua perempuan atau bantuan mengerjakan tanah, hingga poligami yang tidak sehat.
Usul resolusi tersebut antara lain:
1.Sebelum ada UU Perkawinan menguntungkan kedua belah pihak pemerintah mengeluarkan peraturan yang menjamin hukum tentang sahnya perkawinan dengan ketentuan umur wanita paling rendah 15 tahun dan dengan keterangan kesehatan.
2.Mengeluarkan peraturan yang melarang sistem perkawinan dengan maksud diperjualbelikan.
3.Membuat ketentuan perkawinan dengan lebih dari satu orang (poligami) harus memberikan alasan cukup kuat dan menunjukkan surat izin dari isteri pertama.
4.Untuk menyalurkan pelaksanaanya Kantor pencatat nikah disempurnakan dengan BP4 (badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian).
Resolusi hanya tinggal resolusi. Pernikahan dini berjalan terus.
Orde Baru hingga Sekarang
Aris Devi Puspita Sari (2014) dalam penelitiannya terkait permsalahan pernikahan dini pada masa Orde Baru, di Jawa Timur mengungkapkan pernikahan dini tidak  dapat dengan mudah diubah karena perkawinan erat kaitannya dengan adat budaya dalam masyarakat.
Perkawinan sebagai bagian dari institusi masyarakat menjadi sangat terpengaruh oleh pola pikir masyarakat tersebut sebagai hasil budaya mereka.
Beberapa hal yang mengakibatkan adanya perkawinan dini pada kaum wanita adalah alasan ekonomi, kuatnya tradisi kawin muda, dan pandangan status yang lebih tinggi untuk wanita yang sudah kawi
Berdasarkan sensus 1971 penduduk Jawa Timur berumur 10 tahun ke atas menurut status perkawinan, penduduk perempuan yang telah kawin adalah 9.351.901. perempuan yang berumur 10-14 tahun yang menikah berjumlah 37.812 orang,cerai 6.245 orang, dan janda 4.037 orang. Sedangkan untuk usia 15-19 tahun, 422.758 orang dengan status kawin, 66.145 cerai, dan 22.494 berstatus janda.
Jawa Timur menduduki peringkat kedua setelah Jawa Barat mengenai rata-rata umur perkawinan terendah, tiga perempat diantara wanita pedesaan menikah di bawah usia 19 tahun. Hal ini menunjukkan perkawinan Dini di Daerah Jawa Timur pada masa Orde Baru sangat tinggi dan rata -- rata terjadi d daerah pedesaan yaitu 21,2 % di daerah Kota dan 36,1 % di daerah Pedesaan.
Tingkat Perceraian atau perpisahan setelah kawin berdasarkan sensus 1971 menunjukkan bahwa daerah Jawa Timur adalah tertinggi tingkat perceraian yaitu 3,0% di daerah kota dan 8,9 % di daerah pedesaan untuk kategori umur 15-19 tahun.
Perkawinan Dini meningkatkan risiko perceraian karena emosi yang belum stabil sesuai dengan usia yang layak untuk membentuk sebuah keluarga mandiri dengan berbagai permasalahannya.
Pemerintah kemudian membuat kebijakan dengan mengesahkan undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang memuat pembatasan umur minimal perkawinan bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, imbas lain dari pernikahan muda.
Untuk mendukung Undang-undang tersebut diterapkan kebijakan lain seperti peningkatan peranan wanita dan peningkatan pendidikan bagi masyarakat. Regulasi  akhirnya membuat  perkawinan dini di Jawa Timur mulai berkurang.
Pada 1970 prosentase penduduk Jawa Timur yang pernah menikah pada kelompok umur 10-14 tahun adalah 2,14 % dan pada kelompok umur 15-19 tahun adalah 25,10%.  Aris memaparkan data  pada 1980 prosentase ini menurun menjadi 1,22% dan 19,94%.
Penurunan prosenstase perkawinan dini berpengaruh terhadap menurunnya laju pertumbuhan penduduk Jawa Timur dari dekade 1970-an sebesar 1,49 % pertahun menjadi 1,08 % pertahun pada periode 1980-1990.
Perjuangan panjang untuk menaikan usia pernikahan  baru menunjukan realisasinya ketikaDewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 pada 16 September 2019.
Revisi yang disepakati terbatas pada Pasal 7 Ayat 1 Undang-undang Perkawinan tentang batas usia minimal menikah. Perubahan ini secara khusus memperbarui batas usia minimal menikah bagi perempuan.
Sebelumnya, negara memperbolehkan perempuan menikah pada usia 16 tahun. Melalui RUU Perkawinan yang baru, baik perempuan maupun laki-laki baru memiliki hak menikah pada usia minimal 19 tahun. Namun PKS dan PPP beranggapan batasan usia adalah 18 tahun.
Hanya saja upaya itu tidak bisa sama sekali meniadakan pernikahan dini. Â Di banyak negara lain di dunia, pernikahan anak terus dipraktikkan meskipun ada protes dan perlawanan global terhadap tindakan ini, termasuk di Indonesia.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Republik Indonesia (2020), mengungkapkan  dari 270 juta penduduk Indonesia, sekitar 11,2 persen perempuan menikah pada usia 20-24 tahun, dan 7,2 persen perempuan menikah di bawah usia 17 tahun. Indonesia menduduki peringkat kedua menurut angka pernikahan anak di negara-negara ASEAN.
Tampaknya, diperlukan lebih dari sekadar regulasi hanya untuk meminimalisir angka pernikahan dini. Sementara  untuk meniadakannya sama sekali hal yang tidak mungkin atau setidaknya sulit terjadi.  Bisa-bisa polemik usia minimal pernikahan perempuan terus terjadi sepanjang sejarah peradaban.Â
Irvan Sjafari
Tulisan Terkait:
Terkait Sejarah Perempuan
Sumber lain:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H