Isu pernikahan muda ini  mencuat dalam Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928. Melalui prasaran berjudul "Perkawinan Anak-Anak", nyonya Moegaroemah dari Putri Indonesia--organisasi sayap perempuan Pemuda Indonesia--mendesak agar praktik pernikahan dini pada perempuan segera dihapus. Ia menyatakan perempuan di bawah usia 15 tahun belum memahami apa itu perkawinan bahkan senang atau tidak pada suaminya.
Pasca Kemerdekaan
Soal pernikahan muda ini  menjadi isu makin mengencang  pada pasca Kemerdekaan. Khusus Jawa Barat menjadi salah satu persoalan sosial yang serius.  "Pikiran Rakjat"  edisi  23 dan 24 Oktober 1952 memuat data yang dilansir Kantor Urusan Agama Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa masalah pernikahan di Jawa Barat menghadapi persoalan serius.
Selama enam bulan 1952 Januari-Juni 1952 terjadi 145 391 pernikahan, namun juga 104.732 perceraian dan hanya 7.900 yang rujuk. Itu artinya selama satu bulan terjadi 25 ribu pernikahan tetapi juga terdapat 16 ribu perceraian. Persoalan pernikahan merupakan salah satu masalah sosial yang buruk di Jawa Barat masa itu.
Dalam berita ini dituturkan, yang amat menyedihkan perkawinan di bawah umur banyak terjadi. Kesehatan bagi isteri sebelum dewasa biasanya sangat diganggu dan anak-anak yang lahir dari si ibu yang masih muda itu kurang sehat.
Begitu pun banyak pula penanggungan-penanggungan kehidupan dalam rumah tangga yang biasanya masih canggung dijalani oleh suami dan isteri. Ini yang menyebabkan perceraian beberapa kali.
Kepala Bagian Kepenghuluan Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Barat A. Dasuki  mememinta organisasi-organisasi wanita membentuk  semacam lembaga konsultasi biro bagian pembelaan wanita untuk mengatasi tingginya masalah perceraian. Dia juga mengkritisi bahwa laki-laki juga punya kontribusi dalam perceraian.
"Sebagai salah satu sebab banyaknya perceraian  ialah kurangnya pengeertian tentang hukum agama pada laki-laki juga faktor pendidikan dan ekonomi tidak boleh dilupakan," katanya dalam "Pikiran Rakjat", 17 Oktober 1952.
Organisasi perempuan bukannya tidak bereaksi. Misalnya saja Perwari dalam kongresnya di Bandung pada Januari 1953, sebnayak 20 cabang menyinggung soal perkawinan. Mereka menyuarakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No 19 1952 tentang Pensiun Janda.
Cabang Surabaya mengusulkan agar pemberantasan perkawinan di bawah umur diperkeras, sedangkan cabang lain mengusulkan adanya penghulu wanita untuk dapat mengurangi perceraian sewenang-wenang di kalangan rakyat. Cabang Surabaya juga mengusulkan agar gadis di atas umur 22 tahun supaya boleh menikah tanpa izin orangtua. Bagi pemuda berlaku batas umur 25 tahun (Pikiran Rakjat, 20 Januari 1953)
Pada 2 Oktober 1953 Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia cabang Cianjur melakukan demontrasi besar yang melibatkan seribu pelajar sekolah lanjutan. Mereka menuntut pemberantasan kawin paksa dan perkawinan di bawah umur.