Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Tengah Malam Jahanam (2)

16 Agustus 2021   07:57 Diperbarui: 16 Agustus 2021   08:08 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUA 

"Bangun Kang!" terdengar suara Sundari membangunkan aku.  Hari sudah pagi. 

Aku berada di sebuah kamar hotel backpacker di kawasan Braga yang biasa aku tempati ketika ke Bandung. Tapi bukankah aku menginap di rumah sepupu aku di kawasan Buahbatu?  Lagipula Sundari kok bisa ada di sini, bukankah dia harusnya ada di rumahnya di kawasan Antapani?

Baju aku kering dan aku memeriksa luka aku tidak ada lagi. Seingat aku tadi mengalami kecelakaan bersama Sundari di tengah hujan lebat. Tapi jangankan basah, dia malah sudah berganti pakaian modis, seperti sudah mandi.

"Siapa yang menyelamatkan kita?"

"Tidak tahu. Aku juga berada di sini dan hanya kita menginap di hotel ini. Aku tidur di ranjang yang ujung dan bangun lebih dulu. Si Akang mah pulas..."

Berarti bukan mimpi atau ini mimpi. Aku meraba dan ranselku ada di sampingku. Juga kering.  Suatu hal mustahil. Lalu mengambil pakaian dan menyambar handuk lalu mandi.

Sundari menunggu di lobi. Entah jam berapa tapi pasti kami sudah melewati malam yang celaka itu. Kalau ini nyata.  Aku mandi air hangat dan cepat berganti pakaian. Sundari sudah menanti di lobi kami belum mengenakan alas kaki, karena aturan di hotel Backpacker sepatu ada di luar.

Lalu aku mengajaknya ke ruang atas dengan rasa ingin tahu yang besar. Setahu aku biasanya sarapan sudah disediakan oleh pengurus hotel. Benar, di roof (loteng), sudah ada deretan  roti tawar, selusinan telur, meises, selai stroberi lengkap dengan kompor dan wajan untuk memasak. Juga tersedia minyak goreng.

Aku dan Sundari masing-masing membuat telur ceplok dilapis roti tawar dan juga sekerat lagi dengan selai stroberi, lalu membuat kopi sasetan dengan dispenser yang tersedia.

Tapi di mana tamu lain? Lah, bagaimana bisa kita ada di sini?

"Pertanyaan Akang, sama dengan aku," ujar Sundari.

Dia sudah tidak tegang lagi, seolah lepas dari beban. Setelah kami sarapan, Sundari mengajak aku melihat pemandangan dari atas roof bangunan hotel di Braga di luar tempat makan, tampak panorama kota Bandung pagi hari dengan matahari yang cerah.

"Ada yang aneh?" tanya Sundari menunjuk ke luar. "Seluruh bangunan ada seperti biasa kita lihat, tapi  sepertinya hanya kita berdua di Kota Bandung."

"Jangan-jangan kita sudah mati waktu kecelakaan dan ini tempat transisi menuju dunia lain, karena kita orang baik, disiapkan tempat yang menyenangkan," aku mencoba merasionalkan kejadian ini.

"Lalu ini apa?" Sundari memperlihatkan ponsel cerdasnya yang masih utuh di saku. Masih ada  pesan WhatApp yang tersimpan, termasuk dari grup "After Midnight".

Dia juga membawa ponsel cerdasku dan memberikan padaku. "Bukan aku lancang, tapi rasa ingin tahuku juga seperti Akang. Di ponsel itu masih ada foto resepsi kemarin kan?"

Anak itu berbakat jadi jurnalis.  Tapi aku khawatir membaca WA ku kepada seorang kawan bahwa aku diam-diam suka sama dia. Namun Sundari tidak pernah mengungkit hal itu, bahkan menyindir pun tidak.

"Ya, sudah kita cari tahu. Aku antar kamu ke Antapani seperti biasanya. Kamu sudah telepon Mama atau Papa?"

Sundari mengangguk. "Itu dia, tidak diangkat. WA nggak dijawab. Ada centrang sudah terkirim, tapi belum diterima."

"Masa?"

Aku kemudian menghubungi nomor rumah di Jakarta, tetapi tidak diangkat walaupun masuk. WA ke Mat Setiawan atau rekan lain masuk, tapi belum ada centrangan diterima.

"Ya, sudah kita ke Antapani dulu. Saya beres-beres dulu, oh, ya kamu bawa baju ganti kemarin?"

"Bawa di tas, selalu begitu. Akang juga begitu, kan?"

Dengan rasa ingin tahu besar, kami turun ke bawah di mana rak sepatu ada di salasar. Ada sepatu kami dan kering,  padahal seharusnya basah karena hujan.

Kemudian kami berdua turun dan di lobi tidak ada orang. Hebatnya ada televisi menyala menyiarkan sebuah film yang pernah aku tonton.

"Kamu tahu siapa yang mengangkat kita ke sini dari ketinggian. Butuh banyak orang?" tanyaku.

"Hantu? Ha..ha..ha," Dia tertawa khasnya. "Aku sih kadang percaya ada dunia gaib. Tapi hanya orang tertentu bisa. Mereka kadang punya energi yang bisa menggerakan benda."

"Kalau aku sih punya pandangan lain. Bagaimana kalau ada mahluk tidak kasat mata, yang sebetulnya sudah lama bersama kita?"

"Alien? Mungkin juga, Kang! Tapi lebih mungkin juga ada Tim SAR menemukan kita dan tahu Akang ada di Hotel Backpacker Braga,"

"Iya sih Sun, tetapi mengapa nggak ke rumah sakit dan memberitahu keluarga kita?"

Dia juga menyandang tas ransel seperti saya.  Kami sudah ada di trotoar Jalan Braga. Di dekat situ ada Restoran Braga Permai, yang tak jauh dari hotel Backpacker.  Hanya saja terlihat buka, tapi tidak ada orang dan tempatnya bersih seperti tidak ditinggalkan.

Lalu kami melihat minimarket yang buka di Minggu pagi ini, tidak ada orang.  Lalu kami mengambil minuman kaleng susu cair dan masing-masing sebotol air mineral.  Aku ingin membayar, tapi Sundari mendahului.

"Taruh saja uangnya di dekat kasir. Uang pas yaa..!!" terdengar ada suara dari dalam.

Syukur ada orang. Tetapi di mana dia? Mungkin lagi ke belakang. Berarti kami nggak sendirian di Bandung? Tapi kok orang-orang tidak ada di jalan?

"Gantian," ucap Sundari merogoh kantong dan  menaruh uang pas di meja kasir.

Aku membiarkan saja, karena memang biasa kalau kami jalan begitu. Sundari tidak mau kalau cowok punya kewajib membayar cewek. "Itu nggak fair! Bisa jadi pembenaran bahwa cowok lebih dari cewek!" ucap dia, yang gusar karena aku sebagai redaktur dan juga laki-laki ingin jadi pelindung.

Kami keluar dan menelusuri jalan Braga ke arah alun-alun, tapi tidak ada mobil yang lewat. Bahkan alun-alun pun senyap.

"Ke mana semua orang? Kalau ini tempat transisi ke arah dunia setelah hidup kok persis benar seperti Kota Bandung, bisa minum susu kaleng," kata Sundari sambil meneguk.

"Lalu suara siapa di minimarket itu? Hantu?"

"Alien lagi, Ah, si Akang ada-ada saja bikin rudet parusing,   haiyaa..!!" katanya.

Aku mengikuti membuka susu kaleng dan membukanya. Lalu kami mencari tempat sampah di alun-alun dan membuangnya. Konsisten sebagai orang yang peduli lingkungan hidup.

Tapi tidak ada orang di sekitar alun-alun. Masjid Agung, Dian Theater, Kantor Pos, Pendopo masih di tempatnya. Namun yang ada di Timur, bukan bangunan megah tetapi Palaguna masih utuh, hanya saja sepih.

"Sejak kapan Palaguna dibangun kembali?" ujar Sundari. "Apa kita terdampar ke masa lalu?

 "Tetapi rumputnya sintetis atuuh, seperti dibangun zaman Kang Emil, juga Masjid Agungnya."

"Iya sih, tapi ke mana semua orang?"

"Kayak Adam dan Hawa turun ke Bumi," celetuk aku.

"Atau barangkali Adam dan Hawa naik ke surga."

Burung-burung berterbangan di langit dan ada turun di pelataran tempat duduk menghadap lapangan rumput sintetis. Mereka mematuk butiran jagung seperti ada menyediakan.

"Seperti film "28 Days Later" (1) di mana tokoh utamanya menemukan dirinya sendirian di London atau seperti dalam "Matrix" (2) jangan-jangan kita berdua sama-sama tidur lalu diberi mimpi indah yang sama oleh mesin yang menguasai bumi, agar manusia tidak menyadari eksistensinya."

"Mungkin," jawab Sundari. "Tapi mengapa? Akang mah banyak nonton film fiksi dan horor ya, tapi aku juga deh...." Dia tertawa.

Sepintas tidak ada yang aneh. Matahari pagi seperti biasa. Hanya saja udaranya bersih, seperti tidak ada polusi.

"Seperti Bandung yang aku inginkan," ucap Sundari. "Sejuk, tidak sumpek, serta udaranya bersih."

Kami kemudian ke halte menunggu angkutan umum atau bus trans yang biasanya ada.  Tapi anehnya tidak ada yang lewat.

Entah berapa lama.  Kemudian muncul mobil seperti kami kenali. Ternyata taksi daring yang dikemudikan oleh Charles. Hanya saja mobilnya utuh, tidak ringsek sama sekali. Dia berhenti di depan kami.

"Mau ke Antapani, kan?" Charles membuka jendela.

Dengan berpandangan kami memasuki mobil ini dan kemudian melaju di jalanan kota Bandung.

"Nggak usah tanya, saya juga punya pertanyaan yang sama.  Bahkan saya makan gratis di Lapo Tuak langgananku. Nggak ada orang. Hanya ada suara dari arah dapur minta aku meninggalkan uang."

"Lah, sama dengan kami alami," sahut Sundari.

"Bang Charles sadar di mana?" tanya aku.

"Di rumah saya di daerah Cicadas. Istri Abang dan anak-anak juga ada di rumah. Padahal seingat saya mereka harusnya di pesawat menuju Medan."

Taksi daring itu melaju Antapani begitu mulus. Jalan begitu sepi, sepertinya kota dilockdown. Mungkin saja ada wabah mendadak. Tetapi kalau dilockdown ada petugas yang ada di jalan.

"Tuh ada empat orang jalan kaki, dua laki-laki dan dua perempuan!"

Sundari jeli melihat ke trotoar Jalan Ahmad Yani.  Charles memperlambat mobil. "Iya, mereka juga sepertinya bingung!"

Aku ingin tahu apakah orangtua Sundari ada di rumah. Ini hari Minggu. Keluargaku sudah pasti ke Jakarta, karena agendanya begitu, habis menghadiri acara nikahan.  Mereka sudah aku bilang ada acara hingga pulang tidak bersama. 

Kami tiba di kompleks tempat tinggal Sundari. Masih seperti sediakala. Tetapi tidak ada orang. Charles menghentikan mobilnya di depan pintu rumah yang bercat biru itu.  Kami berdua turun dan aku membayar Charles, sesuai tarif.

Mobilnya segera meninggalkan kami. Lalu Sundari membuka pintu pagar rumah berlantai dua itu. Aku mengikutinya. Sepi, seperti tidak ada orang.

"Assalamulaikum!" ucapnya.

Tidak ada jawaban.  Ada pesan WA masuk dari Charles. Cukup mengejutkan: "Google Maps hanya ada Kota Bandung."

"Ayo, Kang masuk dulu!" ajak Sundari. "Mungkin, mereka lagi keluar sebentar, pintunya nggak dikunci." 

Aku duduk di ruang tamu, jam dinding menunjukkan pukul sepuluh, sama dengan jam di ponsel. Sundari menghidupkan televisi. Dia mencari warta berita dari stasiun mana saja. Tetapi tidak ada, yang ada hanya acara film dan musik.

"Coba kamu lihat hanya ada cara film, musik dan sinetron dan rasanya tidak ada yang baru, seperti re-run dan tidak ada berita," aku mulai takut.

"Tadi aku juga browsing, berita yang ada hanya sampai dengan tanggal dan jam waktu kita kecelakaan," sahut Sundari.

Dia kemudian kebelakang membuatkan minuman teh manis untuk aku dan empat potong kue serabi yang masih segar.

"Sepertinya Mama tahu aku pulang pagi dan meninggalkan empat potong serabi yang masih hangat, coba kang. Serabi buatan Mama!"

"Berarti mereka nggak lama meninggalkan rumah," sahut aku.

"Ntar lagi pulang, aku sudah WA, tetapi belum ada centrang biru."

Lalu Sundari duduk berhadapan dengan aku sama-sama menikmati serabi.  Sepintas tidak ada yang aneh. Foto keluarga Sundari ada di ruang tamu. Kaligrafi ada. Juga perabot lainnya dan telepon analog.

Di ruangan tamu ada akurarium dengan beberapa ikan berenang hilir mudik. Sama seperti yang berapa kali aku lihat ketika bertandang ke rumahnya.  Biasanya ada sandal dan sepatu di rak depan pintu rumahnya, serta kesetan.

"Bukankah seharusnya ada sandal dan sepatu di rak beranda? Kalau mereka seperti semua, hanya pakai sandal atau sepatu, nggak mungkin dua-duanya. Apalagi untuk waktu pendek. Lalu di mana mobil papamu?" tanyaku.  "Kalau mereka pergi sebentar dan baru lalu pasti ada jejak roda."

Sundari mengangguk, lalu dia keluar. "Bersih, kang! Memang ada yang aneh! Coba aku periksa kamarku!"

Dia mengajak aku ke kamarnya di lantai dua dan tempat tidurnya rapi.  Juga ada laptopnya di meja.

"Kemarin malam buru-buru, harusnya ada baju yang tergeletak di tempat tidur," ucapnya. "Kayaknya seperti kata Yuyi berapa waktu lalu, seperti dalam serial X-Files."

"Ok, kita tunggu sampai siang. Kalau belum datang tinggalkan pesan, lalu temani aku ke rumah saudaraku di kawasan Buahbatu," usulku.

"Ok."

Kami kembali ke ruang tamu.  Kami saling cek WA. Yang ada hanya Charles, centrang biru. Yang lain nggak dijawab.

"Waduuuh, jangan-jangan kita ada di dimensi lain," kata Sundari tidak tertawa. "Kita dan Charles sudah mati waktu kecelakaan."

"Lah, orang-orang di jalan itu? Mereka juga hantu dong?" Aku mulai bergidik. Apa yang terjadi pada tengah malam kemarin?

"Jadi mana yang lebih menakutkan berhadapan dengan hantu atau jadi hantu?"

"Nggak lucu, Kang! Aku belum mau mati!"

"Kamu menemukan serabi di meja makan? Bisa antar aku ke sana? Mungkin kita bisa dapatkan sesuatu?"

Sundari mengangguk. Dia mengajakku ke ruang makan dan di sana sudah ada ayam goreng yang masih hangat plus sambal dan sayur asam dalam tudung. 

"Seperti baru dimasak?  Juga serabi tadi? Jumlahnya hanya empat potong ayam. Bukankah seharusnya  lebih, karena keluargamu total empat orang.  Sepertinya ayam goreng ini hanya untuk kita berdua. Jumlah serabinya juga untuk kita berdua. Terlalu rapi."

"Harusnya ada makanan lain. Semalam Papa membawakan pizza, harusnya ada bungkusnya di sini karena dia meninggalkan untuk aku," sahut Sundari.

"Coba ke belakang harusnya ada sampah!"

Sundari segera menarik tanganku dan benar dugaanku, tempat sampah kosong.

"Kalau kita mati jadi hantu, tidak akan seperti ini kan? Bisa melihat sampah, bukan hanya makanan?"

Kami merasa ada yang energi besar di dekat kami, tetapi tidak terlihat. Lantai keramik terasa bergetar, karena beratnya tidak sama dengan manusia.

"Kamu merasakan hal yang sama, Kang?" bisik Sundari. "Aku ikut usulmu, kita ke Buahbatu, ke rumah saudaramu. Kita hubungi Charles. Aku yakin nggak ada taksi daring lainnya di kota Bandung ini!"

"Iya, kalau kita ada di Bandung, bagaimana kalau Bandung dimensi lain?"

"Aduh, Kang Rivai bikin aku takut," ujar Sundari.

Irvan Sjafari

(1)28 Days Later (2002) ilmiah karya Danny Boyle, di mana  tokoh utamanya mendapatkan dirinya di London sehabis tersadar dari Koma. Informasi masih instan https://en.wikipedia.org/wiki/28_Days_Later

(2) Matrix, film fiksi ilmiah dibintangi Keanu Reeves (1999) informasi instan https://en.wikipedia.org/wiki/The_Matrix

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun