"Tetapi rumputnya sintetis atuuh, seperti dibangun zaman Kang Emil, juga Masjid Agungnya."
"Iya sih, tapi ke mana semua orang?"
"Kayak Adam dan Hawa turun ke Bumi," celetuk aku.
"Atau barangkali Adam dan Hawa naik ke surga."
Burung-burung berterbangan di langit dan ada turun di pelataran tempat duduk menghadap lapangan rumput sintetis. Mereka mematuk butiran jagung seperti ada menyediakan.
"Seperti film "28 Days Later" (1) di mana tokoh utamanya menemukan dirinya sendirian di London atau seperti dalam "Matrix" (2) jangan-jangan kita berdua sama-sama tidur lalu diberi mimpi indah yang sama oleh mesin yang menguasai bumi, agar manusia tidak menyadari eksistensinya."
"Mungkin," jawab Sundari. "Tapi mengapa? Akang mah banyak nonton film fiksi dan horor ya, tapi aku juga deh...." Dia tertawa.
Sepintas tidak ada yang aneh. Matahari pagi seperti biasa. Hanya saja udaranya bersih, seperti tidak ada polusi.
"Seperti Bandung yang aku inginkan," ucap Sundari. "Sejuk, tidak sumpek, serta udaranya bersih."
Kami kemudian ke halte menunggu angkutan umum atau bus trans yang biasanya ada. Â Tapi anehnya tidak ada yang lewat.
Entah berapa lama. Â Kemudian muncul mobil seperti kami kenali. Ternyata taksi daring yang dikemudikan oleh Charles. Hanya saja mobilnya utuh, tidak ringsek sama sekali. Dia berhenti di depan kami.