"Jadi mana yang lebih menakutkan berhadapan dengan hantu atau jadi hantu?"
"Nggak lucu, Kang! Aku belum mau mati!"
"Kamu menemukan serabi di meja makan? Bisa antar aku ke sana? Mungkin kita bisa dapatkan sesuatu?"
Sundari mengangguk. Dia mengajakku ke ruang makan dan di sana sudah ada ayam goreng yang masih hangat plus sambal dan sayur asam dalam tudung.Â
"Seperti baru dimasak?  Juga serabi tadi? Jumlahnya hanya empat potong ayam. Bukankah seharusnya  lebih, karena keluargamu total empat orang.  Sepertinya ayam goreng ini hanya untuk kita berdua. Jumlah serabinya juga untuk kita berdua. Terlalu rapi."
"Harusnya ada makanan lain. Semalam Papa membawakan pizza, harusnya ada bungkusnya di sini karena dia meninggalkan untuk aku," sahut Sundari.
"Coba ke belakang harusnya ada sampah!"
Sundari segera menarik tanganku dan benar dugaanku, tempat sampah kosong.
"Kalau kita mati jadi hantu, tidak akan seperti ini kan? Bisa melihat sampah, bukan hanya makanan?"
Kami merasa ada yang energi besar di dekat kami, tetapi tidak terlihat. Lantai keramik terasa bergetar, karena beratnya tidak sama dengan manusia.
"Kamu merasakan hal yang sama, Kang?" bisik Sundari. "Aku ikut usulmu, kita ke Buahbatu, ke rumah saudaramu. Kita hubungi Charles. Aku yakin nggak ada taksi daring lainnya di kota Bandung ini!"