TIGA BELASÂ
Penutup Satu
Awal  Juni 2445, lima bulan  setelah kepergian Manuk Dadali dari Kabandungan, rombongan dari Titanium datang, dengan tiga pesawat Guru Minda.  Mereka mendarat di Gedebage, tempat pionir, nene moyang kami bertolak ke Titanium. Pesan dari teteh Ira disampaikan. Rombongan ini dipimpin oleh Dedi Cumi, salah seorang anggota Dewan Preanger yang terkesima melihat Kabandungan.
Oh, ya, setelah kerja keras, kami berhasil menemukan sistem penanggalan kembali. Tahun ini sekitar 300 tahun sebelum peradaban manusia runtuh dan nyaris punah.
Di antara rombongan terdapat Sukarna, ayahku datang bersama adikku Paramitha Jayanti. Â Dia kini mahasiswa tingkat satu kedokteran. Bersama tiga rekannya, lima dosennya sekaligus dokter dari berbagai spesialis, tiga perawat senior, membantu Ambu membangun sistem kesehatan warga Bumi. Mereka melanjutkan kuliahnya dan praktik di Bumi. Â Kami akan membuka Fakultas Kedokteran sebagai prioritas utama.
Preanger mengirim puluhan tenaga ahli  berbagai bidang dan tujuh lima puluh tentara.  Kepala pembangunan namanya Januar Jatnika mempelajari denah yang diberikan Bagus dan Purbaendah memutuskan membangun Manuk Dadali,  pengembangan sepeda terbang dan amfibi yang diberi nama Sepeda Maurizia penciptanya. Kami juga mengembangkan pasukan robot Lutung Kasarung.
Kedatangan Dedi Cumi dan timnya memastikan siapa saja dari Titanium yang bergabung dengan Manuk Dadali perintis. Sekalipun mereka tidak akan dihukum, tetapi diberi status desersi dan harus dicari. Â Sebulan setelah mereka mendarat, menata beberapa bangunan di kota Kabandungan, kami rapat membahas para awak itu.
Dedi mengumpulkan Ambu, teteh Ira, Teteh Mayang, aku, Samuel, Serma Malik, Purbasari, Gigin dan perwira militer yang baru datang di Bumi di Gedung Sate. Â Lalu dia membacakan laporan virtual yang disajikan secara tiga dimensi.
Dari Titanium. Dedi menyebut keras:
Pertama, Bagus Sucahyana, 25 tahun., waktu Bumi. Â Mahasiswa Fakultas Petanian dan Kehutanan, tetapi sebelumnya mahasiswa astronomi, namun hanya dijalani setahun, pindah lagi ke teknik elektro dan telekomunikasi juga setahun. Â Kondisi kejiwaan dinilai labil, tetapi otaknya encer.
Aku baru tahu dia lebih tua tiga tahun dari aku. Namun wajahnya 'baby face' ternyata mengecoh aku. Tapi memang rata-rata warga Titanium awet muda, karena gizi dan udaranya yang bagus.
Kedua, Atep Firman, 22 tahun mahasiswa Fakultas  Teknik Elektro dan Telekomunikasi. Mantan permain Persib Preanger Satu. Karakter pendiam, tekun. Sifat jeleknya: Indisipliner, tidak suka diatur.
Ketiga, Maurizia Maharani, 25 tahun. Â Sarjana Teknik Mesin Pesawat Ruang Angkasa. Ternyata penampilan sebagai rocker menutupi pekerjaan dan prestasinya sebagai pembuat pesawat terbang. Karakter bengal, tomboi dan suka tidak pulang berhari-hari ke rumah orangtuanya. Â Seperti Atep, tidak suka diatur-atur.
Lah, dia kan sudah besar? Kang Dedi ada-ada saja.
Keempat, Sersan Kepala Reda Fahrudin, 25 tahun. Desersi ketika naik pangkat dua tingkat, karena kecakapannya menyelamatkan serombongan pelajar dari serangan bolo. Â Tetapi dia sering melanggar prosedur. Kerap bertindak tanpa memberitahu atasan.
Setahu aku  tindakannya sellau tepat dan disukai warga, tetapi kurang disukai atasan, terutama Dewan Preanger. Aku menyesalkan tidak bertemu dia  di sini, mungkin dia tidak enak denganku yang dekat keluarga kami. Tapi dia juga akrab dengan Bagus.
Kelima, Letnan Satu Robin Hermanus, 27 tahun. Komandan eskpedisi rahasia ke selatan Titanium. Dia membawa empat tentara ketika mengendarai jip terbang melintasi garis katulistiwa dan mengalami kecelakaan. Tiga anak buahnya tewas dan dia sendiri selamat dengan motor terbang.
"Kecelakaan? Sudah diperiksa?" tanyaku curiga dalam rapat.
"Dewan memutuskan tidak memeriksa dan tidak ada ekspedisi lagi, karena tidak ada gangguan pada koloni. Anjeun percaya diserang alien? Anjeun terpengaruh cerita kawan anjeun itu," jawab Dedi Cumi. "Tapi kami setuju, kita sudah perlu pesawat tempur ruang angkasa dan robot tempur. Soal alien kita cari tahu."
Aku tidak meremehkan mereka. Dedi Cumi melanjutkan identifikasi terhadap 13 awak Manuk Dadali.
Keenam, Made Kamajaya, 30 tahun, pilot senior pesawat Guru Minda.  Kami tidak mengerti  dia mau bergabung.  Tetapi dia sudah yatim piatu, sejak orangtuanya hilang, ketika pesawat Guru Mindanya dinyatakan hilang dalam patroli disangka. Ayah dan ibunya pilot.
"Hilang karena apa? Karena kecelakaan seperti suami dan anak aing," sela teteh Mayang.
"Kecelakaan. Anjeun jangan paranoid begitu diserang alien," ucap Dedi Cumi dingin.
Itu yang dari  Titanium. Yang tujuh lagi dari Bumi, Purbasari dan orang-orangnya, serta orang Kabandungan mengindetifikasi mereka setelah penelusuran berbulan-bulan.
Awak ketujuh, Purbaendah, 25 tahun dari Pasir Batang, pendidikan tidak jelas, otodidak, tetapi diperkirakan mengusai teknik fisika, teknik mesin, teknik eletro dan telekomunikasi. Â Dia ikut merancang Robot Lutung Kasarung. Tomboi, susah diatur, kerap kabur dari istana, tanpa pengawal berhar-hari. Tetapi kejiawaan stabil.
"Karakter kakakku begitu," desah Purbasari.
Dia menemukan skondannya Maurizia dan Bagus. Â Purbaendah dan Bagus pasangan yang saling melengkapi.
Kedelapan, Raya Purwanti, 35 tahun, diduga dari koloni manusia lain, yang disampaikan kawan Guru Minda dari Kuantum XX. Â Kami sedang melacak datanya, tetapi dari semua informasi, dia pilot sekaligus tentara. Misterius. Â Diprediksi orangnya keras kepala.
Kesembilan Kanaya, 27 tahun, cucu dari Mayang Puja dan Ira Mutiara, anak dari Elang dan Kinanti warga Preanger juga. Â Sangat pintar, pilot dan menurut Kang Gumilar menurun ilmu kemiliterannya pada dia. Â Diperikarakan kondisi kejiawaan labil.
Kesepuluh, Jumhana, 21 tahun, resminya tukang kuda dari Purbaendah, Â tetapi dia tentara serba bisa dan belajar banyak hal.
"Tukang kuda? Ah, yang benar," Dedi Cumi terkejut membaca laporan itu di depan hadirin.
Aku sama sekali tidak meremehkannya, sejak  pertemuan di Ganesha, wajahnya tenang, walau siaga dengan senjata di tangan,  dia tidak 'over acting'. Aku duga dia sellau  sebetulnya ada di dekat kami dengan kamuflasenya mencuri dengar.  Waktu terakhir bertemu di Gedung Indonesia Menggugat dia mengawasi kami tanpa terlihat.
Sebelas, Subarja, kira-kira 23 tahun, prajurit pilihan Purbaendah. Setianya bukan main dan terakhir menjadi perwira utamanya. Cenderung tempramen, main pukul, kalau ada yang mengusik Purbaendah.
Dua belas, tidak diketahui banyak, informasi dari orang Kabandungan, orang keturunan Jepang yang tidak pulang ke negeri turun-temurun. Â Orang Kabandungan hanya mengenal nama Yura. Perempuan, usianya mungkin 22 tahunan, baru bergabung dengan komplotan ini enam bulan lalu. Cocok. Â Masih muda, Yura mahir ilmu pengobatan, dia belajar otodidak. Orang Kabandungan sering dibantunya berobat. Â Dia berfungsi sebagai tenaga medis.
Tiga belas, Mak Eti, 60 tahun, pemilik warung Sunda di satu-satunya pasar tersisa di Kabandungan. Hidup sendirian, tetapi Purbaendah sering mampir ke tempat dia kalau main ke Kabandungan.
Dedi Cumi melihat laporan virtual itu yang disajikannya. Wajahnya tidak percaya profil mereka yang pergi dengan Manuk Dadali. Komplit dengan fotonya. Tujuh laki-laki dan enam perempuan.
"Reda, Made dan Robin sih meyakinkan, lainnya seperti rombongan wisatawan, anak alay, istilah berabada-abad lalu, Â dengan kondisi kejiawan labil," ujar Dedi. "Yura ini cantik sekali sebagai tenaga medis, bisa antri pria kalau dia praktik dokter."
Samuel menahan gelinya. Aku tahu dia ingin bercerita dengan mudahnya 'para wisatawan yang katanya berjiwa labil' itu lolos dari penjagaan pasukan gabungan Titanium dan Pasir Batang yang dilengkapi teknologi canggih. Tapi dia segan sama anggota Dewan Preanger itu, yang tidak suka didebat.
Masalahnya, sebelah kami  teteh Ira dan teteh Mayang tidak suka  cucu mereka dianggap enteng. Anggota Dewan Preanger dan hampir seluruh warga koloni manusia di sana tidak pernah berperang dan hidup bagai di surga. Kecuali melawan mahluk Bolo dan sejenisnya, yang hanya berpikir untuk makan dengan tingkat kecerdasan rendah.
"Kang Dedi, Kanaya itu lebih dari dua puluh tahun ditempa kerasnya hidup survival dan tidak hidup di zona nyaman seperti kita di Preanger.  Raya tidak bisa dianggap enteng, dia juga sepuluh tahun survival di belantara Bumi yang peradabannya runtuh. Dia juga mengalami keras hidup di angkasa. dan aing kira, Yura  juga begitu dia harus bertahan hidup di Kabandungan." Mayang protes.
"Bagus dan Purbaendah membuat rencana dengan rapi dan mengecoh kami. Â Aing juga tidak meremehkan Zia, tomboi itu dan dua anak buah Purbaendah pasti jauh lebih pintar sekarang,"tambah Ira.
Dedi Cumi menerimanya sebagai masukan. Walau kami tahu dia tidak mengubah opininya. Tetapi sebagai anggota dewan dia kerap kukuh pada pendiriannya.
"Tanya anggota Dewan Terhormat, Kakak abdi punya dua perwira lain dan dua puluh prajurit loyalisnya, tetapi kok hanya dua yang disebut. Ke mana yang lain?" tanya Purbasari.
"Nggak mau kali diajak wisata. Mereka mungkin masih keliaran di Bandung," jawab Dedi.
Mungkin? Â Atau ditugasan untuk hal lain. Pastinya sudah dilatih dengan perlengkapan yang canggih. Bukan tidak mungkin hadir di ruangan ini dengan kamuflase.
Untung Kang Dedi setuju dibangun Manuk Dadali kedua untuk menyusul mereka dan diperkirakan selesai akhir tahun. Rupanya Bagus dan kawan-kawannya meninggalkan sejumlah  warga Kabandungan yang mereka latih sebagai tehnisi untuk membantu.
Teteh Ira dan Teteh Mayang jauh hari mengajukan diri sebagai anggota tim. Jelas dia ingin membawa kembali Kanaya. Â Hanya saja kali ini Mamo dan Sisil menolak. Dalam perdebatan, mereka sudah capek bertarung dengan gerombolan bersenjata jenis manusia, apalagi nanti dengan alien. Tapi Dedi Cumi merasa wakil Dewan bilang: "Harus ikut! Mamo dan Sisil harus ikut. Alien apaan!"
Sementara Sunan Ambu, ayah, aku dan adikku memutuskan tinggal di Bumi. Purbasari hamil dan sebentar lagi Purbararang melahirkan anaknya. Â Pusat pemerintahan tetap di ibu kota Pasir Batang, menunggu Kabandungan dibenahi. Diputuskan namanya kembali jadi Bandung. Â
Yang dibangun lebih dulu adalah telekomunikasi, infrastruktur jalan, transportasi, serta pertanian. Â Kami mengadakan kontak dengan bagian lain di negara yang dulu bernama Indonesia dan juga penjuru Bumi. Â Hanya ada berapa titik menjawab. Jadi kami harus berkeliling secara manual.
Juni  2445  puluhan robot Lutung Kasarung sudah selesai untuk membantu pekerjaan memperbaiki Jembatan Pasupati serta sejumlah bangunan, membangun listrik dengan energi matahari. Separuh kota sudah pulih. Penduduk berdatangan.  Namun orang Pasir Batang tetap ingin hidup dengan caranya.  Purbabarang melahirkan putrinya bernama Nawang Wulan.  Sementara Purbasari memasuki kehamilan bulan ketiga.
Tempat beribadatan juga sudah pulih, ada masjid, gereja, pura dan kelenteng. Samuel dan Jane kerap kerap pergi berdua ke gereja tertua di Bandung, yang direnovasi kembali.  Stasiun radio juga sudah difungsikan  dan bisa ditangkap hingga Pasir Batang.  Jalan mulai dibangun ke Pasir Batang hingga ke Pangandaran dan Cupu Mandalayu. Tetapi belum ke utara.
Sepeda Maurizia menjadi paling efektif dan dengan cepat mempunyai banyak peminat dan jadi proritas dibangun. Â Sepeda dengan perisai anti hujan-dan juga senjata sebetulnya.
Begitu juga sawah dan huma semakin luas, aku dan ahli pertanian yang didatangkan dari Titanium  bekerja keras untuk itu. Ayahku membereskan hutan dan menjaga kelestariannya. Sekalipun sudah bertambah luas dibandingkan sewaktu manusia eksodus ratusan tahun lalu. Fakultas Pertanian juga didirikan untuk menambah ahli ketahanan pangan tepatnya melanjutkan kehidupan.
Untuk mencegah harimau masuk ke pemukiman manusia, kami menggunakan pagar virtual yeng menyakitkan bagi harimau, tetapi tidak membunuh. Hal yang sama kami lakukan untuk mengusir Bolo di Titanium.  Keseimbangan yang sudah terjaga dipelihara.  Kami mengembangkan peternakan, ayam, sapi  budi daya ikan, kebun sayur dan kebun buah.
"Yang tidak ketahui di mana Maung Bandung yang ditinggalkan untuk kita?" tanya Samuel.
Kami belum menemukan Maung Bandung dan juga Guru Minda yang membawa rombongan Bagus. Â Tapi pertengahan Juli 2445, Â Dadung Baladewa dan teman-temannya menemukan pesawat itu di dalam hutan Tahura dekat Goa Jepang yang ditutupi daun dan masih berfungsi. Pesawat yang besar masih berfungsi, tetapi perlengkapannya sudah diambil. Kemungkinan melengkapi Maduk Dadali.
Hal ini disambut Rianto dan Windy karena mereka bisa pulang ke Titanium.  Selama berapa bulan mereka hanya makan di warung Ma Eti  dan hidup menggelandang dari hotel ke hotel di Bandung yang masih utuh, tentunya terbengkalai dan rambut mereka baru terurus setalah rombongan Titanium kedua datang.Â
Yang membuat Rianto trenyuh, menemukan papan nama sebuah media dari besi yang berkarat bernama media  yang mirip namanya dengan media tempatnya bekerja di Preanger Satu. Ada Inilah-nya.....
"Kita terdampar lama di sini. Â Laporan terpaksa kami kirim dua bulan lalu lewat cara kawan Bagus dan kekasihnya itu, Windy juga nitip. Komunikasi antar planet," kata Rianto pada aku dan Samuel di gedung Indonesia Menggugat yang jadi tempat nongkrong kami.
Wajahnya pasrah. Dia tahu walau ada pesawat yang bisa digunakan, pilot belum  ada yang bisa membawa mereka kembali.
Tapi akhirnya, Rianto dan Windy ditugaskan jadi wartawan media dadakan 'Kabar Bandung' oleh Dedi Cumi yang memang butuh media komunikasi virtual yang diedarkan seluas mungkin lewat sinyal. Â Diharapkan bisa ditangkap di berbagai penjuru Indonesia, Â kalau bisa dunia. Mereka jadi penyiar radio dengan nama yang sama.
Sunan Ambu ditunjuk jadi Pimpinan sementara  di Bandung, Purbasari dan petinggi istana Pasir Batang  menjadikan penasehat. Â
17 Agustus 2445, kami pertama kali merayakan peringatan peirngatan kemerdekaan penuh haru diikuti warga Kabandungan, perwakilan Pasir Batang dan daerah-daerah lain yang sudah menjalin komunikasi. Untuk pertama kali, orang di luar Titanium mendengarkan lagu 'Indonesia Raya' yang disajikan dengan musik dari alat audio kami.
Akhir Agustus, kami dapat kejutan berupa kontak dari Barcelona. Mereka rupanya menangkap siaran berita virtual kami. Â Ada suara dari Barcelona dengan bahasa Indonesia patah-patah, rupanya mereka menangkap rekaman pertandingan Persib lawan Barca waktu di Titanium yang dibawa oleh Rianto dan Windy.
"Ayo, kami kirim orang ke Bandung, anak-anak Barca usia 13 tahunan lawan anak-anak Bandung usia yang sama," Kira-kira begitu pesannya.
Ada kehidupan di Barcelona, Â Skotlandia, beberapa titik di Skadinalvia, pedalaman Amerika Serikat, Jepang, Tiongkok dan disusul Timur Tengah, mungkin juga India, Afrika, Amerika latin dan Pasifik. Mereka yang selamat dari perang nuklir, aneka bencana alam dan serangan misterius dari langit. Dalam pesan komunikasi yang putus-putus mereka menceritakan apa yang terjadi, yang mereka dengar turun-temurun. Jadi Bagus dan Raya memperingatkan hal itu bukan hoaks?
Akhirnya Dedi Cumi percaya.  Robot Lutung Kasarung diperbanyak. Manuk Dadali dipersenjatai dengan perisai. Tadinya tidak. Selama ini Guru Minda adalah pesawat transport bukan tempur. Prajurit pun diperbanjak dilatih dari warga setempat dengan  senjata high voltase, sinar laser hingga pelontar api. Kami kini melatih tiga ratus prajurit Pasir Batang dan dua ratus dari warga Bandung dan sekitarnya.
Masalahnya walau sepak bola tetap berjalan, kami punya tim dengan Dadung Baladewa sebagai kaptennya, Â kami belum punya stadion. Â Ada bekas stadion Siliwangi yang terbengkalai dan belum jadi prioritas akhirnya dibenahi. Â Samuel memimpin pembenahan.
Awal September 2445, dia mengkontak aku dengan ponsel virtual yang sudah bisa berjalan di Bumi. Maung Bandung ditemukan. Bagus dan timnya meletakan di lapangan sepak bola.
"Harusnya kita bisa tebak," katanya. "Simbol Persib"
Maung Bunda bisa digerakan dengan mudah, karena sudah ditinggalkan Bagus dan timnya. Dengan ditemukan protipe Maung Bandung, maka Tim Ahli Titanium dengan mudah menciptakan protipenya.  Maung Bandung dengan cepat menjadi daya tarik. Tapi  Pemerintahan  Bandung masih melarang untuk ditunggangi.
Oktober 2445, kami mengetahui dan sudah menjalin kontak puluhan titik di Jawa. Â Tempat yang menurut sejarah disebut Jakarta, hampir tak berwujud. Ada bangunan bertingkat utuh, tetapi sebagian hancur. Banyak kolam besar dan infrastrukturnya hancur. Â Bagian utara malah tenggelam dalam air.
Populasinya hampir nol. Â Hanya ada beberapa ratus orang yang bertahan hidup. Â Mereka bergembira melihat utusan kami. Untuk sementara mereka diangkut semua ke Bandung yang relatif lebih baik.
                                        Â
Komunikasi hanya dinyalakan secara berkala agar tak terlacak. Populasi di Bandung dan Pasir Batang tak lebih dari duapuluh ribu jiwa dengan pangan yang berkecukupan. Â Sinyal dari Bandung menimbulkan harapan bagi mereka di titik-titik lain. Tetapi tidak terus-terusan berkomunikasi. Mereka belajar dari pengalaman Cannes yang mencoba membuka komunikasi, tetapi justru diserang oleh gerombolan liar.
"Mengerikan!" celetuk Rianto dalam jumpa pers yang hanya dihadiri tiga wartawan, dia , Windy, serta satu lagi Selena dari Barcelona News.Â
Hernandez mengundang kami untuk ganti berkunjung tahun depan. Â Dia membawa lima belas anak remaja bermain bola dengan nama Barca. Â Menurut dia, sepak bola membuat semangat untuk meneruskan hidup menyala. Oh, ya setahu kami hanya dua klub sepak bola di Bumi, sementara hanya Persib dan Barca.
Tiga hari kemudian, Â anak-anak Persib bertanding dengan anak-anak Barca di stadion Siliwangi. Untuk pertama kali warga Bandung dan Pasir Batang juga orang-orang Barcelona menonton pertandingan sepak bola sesungguhnya setalah terhenti berapa ratus tahun.
"Jujur, saya mau menangis," ucap Salena, anak muda seusia aku dan Purbasari ikut menonton. "Kalian percaya anak-anak adalah masa depan."
Saudara-saudara Kesebelasan Persib mengenakan kostum kesayangannya Biru putih. Sementara Kesebelasan Barca  mengenakan kostum kuning strip merah telah menempati sudut masing-masing. Pertandingan dipimpin wasit Mahendra Singh.
"Itu dari India, dia kemari enam bulan lalu setelah mendengar ada kehidupan normal," kata Rianto.
Aku diam saja. Fans Barca dan Fans Persib duduk berdampingan. Purbasari di sebelahku menggendong bayi laki-laki kami. Â Salena dengan bahasa Indonesia terpatah-patah memperhatikannya. Â Dia tahu Purbasari adalah ratu dan di tempatnya ada juga ratu yang jadi simbol bahwa peradaban masih ada.
"Siapa namanya?"
"......Wanara," jawab Purbasari.
"Yang kasih usul nama itu....patihnya, Uwak Barata...." aku menimpali.
Selena mengangguk.
Suara kami  tenggelam oleh gegap gempita penoton. Apalagi nama pemain diperkenalkan, Persib dipimpin Kaptennya Dadung Baladewa dan Barca dipimpin Marco Suarez. Setelah lagu kebangsaan Indonesia dan Spanyol diikuti Mars Persib dan Mars Barca dan wasit meniup peluitnya.
Namaku Guru Minda, aku dari koloni Preanger Planet Titanium seperti ratusan orang-orang lainnya yang kembali ke tempat asal usulnya. Â Orang Pasir Batang menyebut kami orang kahyangan atau dari surga. Â Itu terserah mereka, sepertinya kami dituntun untuk kembali ke tempat asal nenek moyang kami mengembalikan dan meneruskan peradaban manusia.
Biru akan s'lalu jadi warnamu
Bandung akan s'lalu jadi istanamu
Kesatu akan s'lalu jadi tempatmu
Meraunglah yang keras maung Bandungku
Dari Bandung, kami bangkit.
Penutup Dua
Ini catatan, 20 April 2445, waktu Bumi. Sudah tiga bulan kami meninggalkan Bumi. Entah kapan  waktu angkasa.
Namaku Kanaya Iskanti. Â Setahu aku nama ayahku, Sang Kuriang dan ibuku Kinanti Putri. Asal orangtuaku dari langit, kata orang dari kahyangan. Dari orang-orang mengajariku namanya planet asalku Titanium dari Koloni Preanger. Â Belakangan aku tahu Bumi adalah tempat asal manusia. Takdir mengantarkanku ke sana. Takdir juga yang mengantarkanku kembali ke langit. Panjang ceritanya, kalau aku tuliskan semua di sini. Tapi aku akan menceritakan lebih detail kisahku.
Dari Kak Raya, aku tahu diperkirakan manusia tersebar di lebih dari sepuluh planet. Ada yang mendirikan  koloni manusia, ada yang terdampar karena melarikan diri, ada yang diungsikan oleh mahluk asing yang kalian sebut sebagai alien karena ada mahluk asing yang menyayangi manusia, tetapi ada juga yang ditawan mahluk alien untuk jadi budak atau eksperimen mereka.
Tidak semua alien menyukai manusia, ada yang membenci manusia dan mahluk alien lain. Mereka banyak dan tersebar di ruang angkasa yang batasnya tidak aku ketahui. Â Aku dan kawan-kawanku ingin mengunjungi umat manusia dan memberi tahu bahwa Bumi masih ada dan membutuhkan mereka. Itu kalau mereka tidak saling beperang. Kalau bisa membebaskan mereka yang ditawan.
Selama ini Hiyang, salah satu bangsa Alien itu mencegah hal ini biar antar koloni manusia tidak saling memangsa. Tetapi kali ini membiarkan, karena ada ancaman lain. Â Bukan saja pada manusia, tetapi juga Hiyang sendiri. Â Aku bersama teman-teman dengan Manuk Dadali mengembara. Hiyang mengawal kami dengan kapal angkasanya sendiri.
"Kak Kanaya, Mak Eti sudah siap dengan hidangannya, tutup dulu diary di alat tablet virtual anjeun," Yura memanggil.
Namanya Yura, teman sekamarku. Kami bersahabat. Â Sampai jumpa diary-ku. Oh, ya aku lupa sekarang makan malam, pagi atau siang, ya?
"Cepat makan, Kak Raya mau kasih tahu kita, Kuantum XX sudah dekat. Berhenti dulu menulis, Kak!"
Sudah dulu ya, Diaryku. Perjalanan masih panjang. Tablet ini harus dimatikan dulu. Sampai jumpa (Tamat).
Irvan SjafariÂ
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H