"Kami di sana sudah melupakan sepak bola. Tidak memungkinkan di planet kami, anginnya kencang, karena di sana tanahnya banyk berpasir dan ada lautan besar. Planet kami didominasi lautan dengan puluhan ribuan pulau-pulau, Â Tidak ada daratan besar. Â Kami menggunakan angin dan air laut untuk energi."
"Apa di sana damai?" tanyaku.
"Relatif. Â Karena lebih panas masih ada kriminal kecil berebut mahluk langka, seperti ikan yang bila dikonsumsi membuat anti penuaan. Padahal mahluk itu tidak boleh dimakan sembarangan karena bisa mempengaruhi pikiran, berhalusinasi, membuat jiwa menjadi kekanak-kanakan"
Aku ingin menggali pertanyaan lebih dalam. Tapi Raya memberi isyarat agar  kami mengikutinya ke atas menuju Lembang dengan sepeda.  Ada dua sepeda lain yang mengikuti juga berseragam Persib. Rupanya dia mengawasi kami.
"Sialan kau!" Aku mengenali salah seorang di antaranya.
Atep Firman. Mahasiswa teknik elektro itu dan seorang lagi yang mungkin dari Preanger, perempuan yang membuat aku terperanjat, Maurizia Maharani alias Zia, vokalis Zia and Co. Gadis berhijab begitu lincah di atas panggung memainkan musik cadas kini mengenakan kaos Persib lengan panjang dan celana panjang biru juga dengan hijab biru.
"Halo Zia, mau nyanyi di sini?"
"Maurizia Maharani, Â Lulusan Teknik Mesin pesawat ruang angkasa, Universitas Preanger," ucapnya dengan dingin, merasa tersindir. "Menyanyi hobiku, juga reportase."
Masih muda sudah lulus? Aku saja belum. Cerdas sekali anak ini, masih bisa ngerock dan buat reportase. Otak kanan dan otak kirinya aktif. Integensianya tinggi. Â Begitu juga Purbaendah sayang dengan akses pengetahuan terbatas.
"Komplotan anjeun boleh juga," kataku pada Bagus. Jadi Bagus tidak sekadar ngefans. Zia itu diam-diam sahabatnya.
Bagus tak menanggapi. "Anjeun  Guru bisa dapat kejutan lain nanti.."