"Mantap pertanyaannya, kawan. Â Itu namanya pembagian takdir. Sudahlah kalian urus masalah di Bumi, panggil kawan-kawan di Titanium juga boleh. Tanya Kanaya, dia juga sudah tahu. Sebentar lagi nini-nininya tahu. Ya, Tuhan intersellar bisa buat usia relatif, ya? Kalian pikir mengapa Kanaya yang tadinya bermusuhan dengan Purbararang dan terpaksa dengan Purbaendah dengan mudahnya bersekutu?"Â
"Ada ancaman lain yang lebih kuat dari orang asing itu," aku menduga.
"Ya, Hiyang ingin kalian ke sini untuk melindungi sisa umat manusia dan sisa mahluk di Bumi. Turun dari surga kalian ke Bumi," terdengar suara lain dari pepohonan.
Seorang perempuan usia 35 tahun menggunakan pakaian serba perak dengan sabuk dan ikat kepala gading dia menggunakan cambuk api seperti yang digunakan Purbaendah. Rupanya dia sudah menunggu Purbaendah dan Bagus. Konspirasi apalagi ini?
"Kapten Raya Purwanti dari Koloni Kuantum XX, koloni manusia juga tapi nenek moyang ami berangkat dari stasiun Banggai. Aku yang tersisa dari pesawat kami yang juga terjungkal ke sini belasan tahun lalu dalam ekspedisi duta antar koloni manusia."
"Di mana pesawat kalian jatuh?"
"Pesisir Pangandaran. Aku ditolong Purbaendah, yang waktu itu masih  dua belas tahun, bersama seorang anak pesisir yang sebayanya bernama Jumhana dan Kakaknya. Pesawat aku diserang pesawat lain, entah dari mana bisa pesawat mahluk asing itu atau juga dari sesama koloni manusia."
"Pantas Purbaendah marah, ketika Indrajaya membunuh kakaknya dan nyaris Jumhana," aku mulai mengerti.
"Iparku memang pintar," kata Purbaendah. "Aku tak menyangka kakakku bisa diasut Indrajaya yang separuh asing itu untuk menyerang Pangandaran, sisa peradaban yang terisolir. Sebetulnya bukan ancaman."
Perempuan itu sangat pintar, tentunya dia belajar dari Raya. Dia dan kakak beradik menyembunyikannya di Kabandungan.
"Sayang Kakak bukan Persib ya?" tanya Bagus.