Aku mengajarkan Purbasari naik sepeda, Â memeganginya, namun kemudian dia bisa.
"Simpan senjata anjeun di belakang. Â Walaupun kita tak memerlukan, tetapi sisa tentara asing itu masih berkeliaran di kota ini," kata Bagus.
Apa maunya mereka? Aku menurut. Senjata High voltase aku taruh di belakang sepeda diikat. Bagus juga mengikutinya.
Kami berempat bersepeda meninggalkan kampus ITB menesuluri Jalan Dago. Aku menoleh Samuel dengan mulut terngaga melihat kami.
"Nemu di mana itu Bagus!" teriaknya. "Kok, nggak ngajak-ngajak!"
Koloni kami di Preanger, Titanium juga menggunakan sepeda. Tetapi  hanya digunakan di akhir pekan. Bentuknya lebih praktis dan lebih lentur dibandingkan zaman Bumi.  Hanya saja makin jarang digunakan, apalagi keluar kota karena kalau disergap bolo lebih berisiko.Â
Sudah ada korban pesepeda diserang bolo, itu karena mereka berani masuk hutan. Â Hanya komunitas kecil yang menggunakan sepeda. Dulu Samuel juga suka waktu kecil. Â Sayup aku mendengar gerutunya tidak diajak. Â Jalan-jalan dengan sepeda di kota Bandung yang asli, ratusan tahun setelah eksodus pakai seragam Persib pula. Absurd.
Kami menelusuri  Jalan Djuanda menuju Dago atas.  Bangunan-bangunan terbengkalai. Hanya ada berapa orang menyaksikan dari bangunan yang masih utuh.  Beberapa rongsokan mobil berkarat di sisi jalan.  Aku menoleh Purbasari yang masih bingung dengan jersey Persib.
"Ini  yang dimaksud Kak Purbaendah ada di Kabandungan?"  tanya Purbasari.
"Anjeun semua sudah nonton percakapan kami ya, tetapi sebetulnya ada hal lain belum kalian lihat," kata Bagus.
"Anjeun juga punya mimpi  gadis Bumi," ucap aku.