Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (1)

13 September 2020   14:24 Diperbarui: 13 September 2020   15:49 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto:Youtube/Teguhgaming.

Bukankah Masa Depan bagian dari Sejarah?

SATU

Saudara-saudara Kesebelasan Persib mengenakan kostum kesayangannya Biru putih. Sementara Kesebelasan Barca  mengenakan kostum kuning strip merah telah menempati sudut masing-masing. Pertandingan dipimpin oleh wasit Min Choi.

Suara Gita Pratiwi, komentator pertandingan tenggelam oleh gegap gempita penonton di Stadion Siliwangi.  Aku duduk di tribun bersama kawan-kawan setongkronganku menyaksikan pertandingan sepak bola antara kesebelasan kesayanganku Klub Persib Bandung yang sedang bertanding melawan Klub Barca. 

Kedua kesebelasan diperkuat oleh bintang andalannya,  Persib memainkan Atep Rizal dan Barca diperkuat oleh ujung tombaknya Lionel Messi.

Peluit sudah berbunyi. Kedua kesebelasan  menyerang silih berganti. Kami menahan nafas ketika gawang Persib nyaris dibobol oleh Lionel Messi oleh terobosan akurat ditepis oleh kiper Persib Yudi Faisal.

Pertandingan sudah berlangsung setengah jam, aku melompat spontan  bersama para pendukung Persib, lainnya ketika Atep melakuan tembakan voli  menjebol gawang Barca yang membuat kesebelasan itu tertinggal 1-0.  

"Messi, mana Messi, katanya legenda!" teriak Rianto Nurdiansyah, wartawan olahraga dari media virtual yang juga penggemar Persib begitu histeris.  Dia teman setongkronganku di Kafe Gedung Indonesia Menggugat.

Di sebelahnya, Windy Purnamasari, rekan satu kampusku. Dia justru pendukung Barca. "Lihat saja Kang, Messi akan menjebol Persib," ujar dara berhijab itu.

Benar saja, Messi mampu menerobos pertahanan Persib satu menit menjelang turun minum, hingga skor satu-satu.  Stadion menjadi gemuruh.

"Wah Tegang euy," celetuk Rianto. "Malah saya taruhan dengan Kang Mukhlis, redaktur saya."

"Tenang," ucapku.  "Masih ada 45 menit lagi."

Benar saja, Penonton pemain histeris ketika babak kedua berlangsung.  Pemain Persib yang baru masuk Samuel  Wanggai bekerja sama dengan gelandang Jalal Pamuncak mampu mengecoh gelandang dan back Barca. Lewat sontekannya Samuel mampu menjebol gawang Barca, 2-1 untuk Persib.

Riyanto bersorak. Windy cemberut.

"Hebat juga tentara yang jadi pemain Persib," puji aku.

Sebetulnya kami juga datang untuk Samuel yang kadang nongkrong bersama kami. Tapi dia tidak selalu main karena tugas ketentaraanya.  Sekalipun dia banyak bertugas di markasnya di Jalan Aceh.

Tiba-tiba Atep melaju sendirian melewati tiga pemain dan melepas tembakan dari jarak jauh.

"Goool, 3-1 untuk Persib!" teriak  Gita komentator sepak bola.

Akhirnya Persib mampu menaklukan Barca dengan skor 3-1. Hasil ini kami harap membuat Persib memperbaiki peringkatnya di klasemen.

Lagu mars kesebelasan kesayanganku bergema di stadion dan aku ikut menyanyikannya.

Biru akan s'lalu jadi warnamu
Bandung akan s'lalu jadi istanamu
Kesatu akan s'lalu jadi tempatmu
Meraunglah yang keras maung Bandungku

"Persib kini di posisi kedua di bawah Indonesia Muda, derby-nya. Green Force naik ke posisi ketiga, di kandangnya Preanger Lima mampu menahan Klub Setan Merah dengan skor  2-2 hampir bersamaan, Barca di posisi empat dan Setan Merah  di posisi lima," jelas Rianto mengutak-ngutik ponsel tiga dimensinya.

"Yang paling bawah masih diduduki Klub Rajawali, di atasnya  Klub Andromeda dan Klub Walanda Orange ada di posisi 10," ucap Windy.

"Klub ayahmu Jayagiri di posisi enam, menaklukan Andromeda 3-1 tadi," ucap Rianto padaku.

Ilustrasi-Foto:Youtube/Teguhgaming.
Ilustrasi-Foto:Youtube/Teguhgaming.
Namaku Guru Minda.  Aku warga Preanger 4, salah satu dari tujuh kota  Koloni manusia di Planet Titanum. Aku mahasiswa Tingkat Dua Fakultas Pertanian Universitas Preanger. Ayahku Sukarna, seorang peneliti kehutanan yang membuat aku mencintai tanaman. Ibuku Sunanti Martasasmita, seorang dokter anak, yang kerap dipanggil Sunan Ambu.

Entah mengapa aku menyukai klub yang kini empat besar dari dua belas belas klub yang tersebar di tujuh koloni Preanger di Planet Titanium.  Bagi koloni manusia dengan populasi 17 juta, dua belas klub cukup bagi sebuah kompetisi di planet yang menurut sejarahnya baru dihuni manusia sejak 200 tahun yang lalu.

Persib adalah klub yang bermarkas di Preanger Satu, kota yang didesain seperti kota Bandung, salah satu kota tempat asal kami.  Sebetulnya aku harusnya mendukung Jayagiri  yang merupakan kesebelasan kesayangan warga Preanger Empat. Sebetulnya Barca juga bermarkas di Preanger Empat.

Lionel Messi, nama lengkapnya Achmad Lionel Messi Kartawiria masih satu blok dengan rumah kami. Selain main sepakbola, sehari-hari Messi adalah guru olahraga di sebuah sekolah menengah di Preanger Empat. Aku juga mengenalnya ketika masih kecil, tetapi dia masih murid sekolah guru. Aku melihat dia rajin berlatih bola.

Sementara Atep Rizal adalah mahasiswa Fakultas Tenik Elektro dan Telekomunikasi Universitas Preanger.  Messi dan Atep dinamakan orangtuanya merupakan pengagum kedua klub itu di tempat asal kami Bumi. Warga koloni bisa menyaksikan dokumentasi pertandingan yang kerap di stasiun televisi tiga dimensi kami dalam program Memori Sepak Bola Bumi.

"Sekarang kita ke mana?" celetuk Windy.

"Ke Gedung Indonesia Menggugat.  Kang Samuel Wanggai sudah janji mentraktir geng  kita bajigur dan mi kocok," sahut Rianto.

Wartawan Inilah Preanger ini memang sudah ditunggu Samuel di depan Stadion. Pria berkulit hitam dan berbadan tegap itu tampak gembira menyaksikan kawan-kawannya mau menunggunya.

"Bagaimana kakak, kita cabut," ajak Windy.

"Siap adik Windy," ucap Samuel.

Dia sendiri mengemudikan jip terbang, kendaraan di Preanger yang digerakan dengan  baterai matahari. Kami melayang satu meter di atas jalan, meninggalkan Jalan Lombok menuju Jalan Perintis Kemerdekaan.

Di Gedung Indonesia Menggugat sudah menunggu beberapa pendukung Persib, di antara teman sekuliahku Bagus Suhardja. Dia tidak bisa menonton karena harus mengikuti kuliah tentang kehutanan.  Sebetulnya aku diminta pulang oleh orangtuaku segera, tetapi Bagus tiba-tiba mengontak aku untuk pergi bersama.

Aku minta tolong ditemani ke hutan di zona tiga buat penelitian soal tanaman yang buahnya merah.  Demikian bunyi pesannya.   Bagus tahu aku pernah ke hutan itu dan melihat pohon berbuah merah itu.

Namun para peneliti belum ada yang mencoba mengungkap buah apa itu dan apa efeknya bagi mahluk hidup. Aku tak bisa menolak kawan yang tinggal satu kamar kos denganku.

Bagus anak yang kreatif sebetulnya, kadang agak aneh. Dia kerap aku pergoki dengan ponsel virtualnya menyendiri dan mengirim pesan suara entah pada siapa.  Mungkin dia punya pacar di salah satu kota di koloni kami.  Dia tidak pernah cerita.

Aku tidak pernah cari tahu, tetapi pernah secara tak sengaja aku melihat daftar percakapannya.  Ada pengiriman berapa kali ke tempat yang tidak dikenal. Mengapa harus dirahasiakan? Ah, itu urusan dia. Bagus tahu aku pernah lihat ponsel virtualnya, tetapi dia diam saja.

Setelah pesta kecil dengan Samuel, kami berdua bergegas ke Stasiun Preanger Satu menumpang kereta monorel ke Preanger empat. Dua setengah jam perjalanan, karena Preanger Empat titik terjauh di koloni manusia.

Matahari masih bertengger ketika kami tiba pukul 20.00. Di Planet Titanium sehari semalam itu 30 jam.  Pada musim panas ini matahari baru tenggelam pukul 24.00 dan terbit pukul enam pagi. Kalau musim dingin, jam 22.00 dan terbit 8 pagi.  Malam panjang tetap benderang, karena punya dua bulan, kalau purnama bersama langit begitu terang.

"Aku dengar anjeun mengunjungi Teteh Mayang yang diceritakan dari Planet Nenek Moyang kita," ujar Bagus ketika kami tiba di Stasiun Preanger 4.

"Iya, aku ingin tahu soal Bumi itu seperti apa. Menurut cerita mereka tiba di waktu lalu," jawab aku.

"Lalu kunaon, anjeun ingin tahu?"

" Aku mimpi bertemu seorang gadis yang berpakaian seperti yang diceritakan Teteh Mayang,  Ambu Mayang dan Ambu Ira juga berpakaian seperti ini. Aku yakin gadis dalam mimpi itu calon aku," kataku.

"Barangkali anjeun lihat di perpustaaan digital lalu direkam di otak dan muncul dalam mimpi," sahut Bagus.

"Ambu saya juga bilang begitu.  Teteh Mayang juga," jawabku.

                                                                                                          ***

Kami menumpang angkutan umum bus tenaga baterai dari stasiun ke kompleks pemukiman orangtuaku dengan waktu tempuh dua puluh menit setelah salat Asar di musala stasiun. Selama di Preanger Satu aku tinggal di asrama mahasiswa.  Setiap dua belas hari, biasanya memang aku pulang untuk tinggal selama tiga hari.

Gadis dalam mimpi? Betul, sudah setahun ini dia kerap muncul. Sebenarnya jauh sebelum rombongan Teteh Mayang eskpedisi ke Bumi, berpakaian kain hijau muda dan rambut yang tergerai hingga pinggang.  Huma dan hutan yang digambarkan persis seperti cerita Teteh Mayang yang bertemu Sang Kuriang.

Entah mengapa bisa dapat mimpi seperti itu? Mungkin pernah lihat buku tentang dongeng-dongeng Sunda di Bumi, kemungkinan ada gambar tersimpan di otak.  Rasanya aku pernah melihat gambar itu di ponsel virtual aku, mungkin ada akses ke perpustakaan digital  Preanger, lalu kehapus. Barangkali. Tetapi itu karena aku masih sendiri alias jomblo, kata bahasa nenek moyang  kami dulu.

Kami di tiba di gerbang Blok Tujuh Puluh Tujuh yang letaknya cukup tinggi. Pemukiman kami paling dekat dengan tembok kota  yang merupakan parameter pertama.

Di luar sana menurun bukit ada parameter kedua berupa lahan hijau terbuka yang bisa digunakan sebagai sarana rekreasi, kalau keadaannya aman. Namun di tembok ada pos-pos tentara yang mengawasi kalau mahluk buas yang disebut bolo masuk.

Mahluk buas itu bisa menggelinding seperti bola raksasa ini, bergaris tengah tiga meter. Kalau berdiri mahluk itu berkaki kecil tapi jumlahnya puluhan. Tubuhnya bulat dengan dua tangan yang menjulur panjang seperti belalai untuk memasukan mangsanya ke dalam mulutnya yang besar. Panjang belalainya tiga meter.

Lebar taman itu satu kilometer hingga menemui sungai selebar lima meter, setelah itu ada parameter kedua yang berupa pagar yang membunyikan alarm kalau mahluk yang melintas. Di tepi sungai ada pos penjagaan dengan patroli setiap dua jam melalui sungai.

Di ruang terbuka hijau itu kerap terlihat mahluk ukurannya mungil, kami namakan Ciput. Hewan ini seukuran kelinci yang kami bawa kami budidayakan dari Bumi, juga ada di taman ini. Hanya saja Ciput berdiri. Bulunya berwarna biru muda dengan garis-garis putih dan kupingnya bulat dengan ekor yang panjang dan lebar seperti tupai. 

Ciput itu bersarang di  hutan dekat koloni, belakangan ke hutan buatan kami.  Ciput itu makan buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan di hutan asli planet ini. Tetapi di hutan buatan kami, dia bisa makan kol dan rumput.

Nah sungai itu adalah pertama perbatasan antara Zona pertama dengan zona kedua yang jadi cadangan kalau pemukiman harus dilebarkan dan hingga saat ini belum perlu.  Zona pertama masih bisa menampung hingga 40 juta populasi manusia itu pun masih menyisakan ruang hidup yang layak.  Itu terjadi dua dekade lagi.  Sebelum itu zona kedua sudah siap.

Zona kedua ini berupa hutan hasil budi daya pohon dari Bumi berupa pinus atau pohon ecalypus. Ada juga tanaman asli planet ini. Namun yang dicari Bagus adalah pohon berbuah merah yang sebetulnya lebih banyak di zona ketiga, di mana ada pagar kawat baja yang rapat dengan pos penjagaan.  Itu perbatasan koloni manusia ke arah utara.

"Baik, Abah izinkan anjeun berdua ke sana.  Tapi Abah tidak bisa menemani. Kalian bawa Badai, robot anjing kita untuk mengawal. Ingat jangan jangan terlalu jauh dari pagar. Letnan Priambudi sudah saya hubungi. Kalian diizinkan ikut patroli mereka. Ingat jangan lebih dari dua jam," suara Karna, Abah begitu lembut. 

Kami makan malam bersama. Ibuku Sunan Ambu masih bertugas di klinik. Hanya ada adiku Paramitha Jayanti, yang masih duduk di bangku SMA.

Konon robot anjing dibuat setelah kehilangan banyak anjing semasa koloni dikembangkan karena bertarung dengan bolo yang sudah berlangsung puluhan tahun. Mahluk itu sering memangsa anjing kami. Anjing dari koloni cepat mencium musuh, dia kerap berlari lebih dulu dari manusia. Tetapi Bolo juga penciuman tajam.  Dia malah mengejar anjing. 

Sejumlah 737 ekor anjing gugur melawan Bolo dan kebanyakan melindungi manusia atau ternak. Tercatat di tembok pos perbatasan, bersama dengan jumlah manusia yang meninggal separuh dari jumlah anjing itu.  Itu baru di perbatasan utara.  Tetapi ada juga anjing yang bisa membunuh beberapa bolo.  Bolo umumnya ditewaskan dengan senjata high voltase kami atau pelontar api. Lebih dari seribu mahluk itu sudah kami tewaskan.

Populasi hewan anjing yang menurut cerita nenek moyang teman manusia  hanya tinggal berapa puluh ekor. Itu pun dipelihara kebanyakan untuk hobi.

Ada belasan ekor anjing  untuk mencari jejak dipelihara oleh tentara kalau ada kasus warga hilang diperbatasan  yang tidak bisa dilakukan anjing robot. Tetapi untuk petarung anjing robot lebih cocok melawan bolo. Kami juga punya kucing yang sebagian dilepas liar agar manusia masih ingat kehidupan nenek moyangnya waktu di Bumi.  Tapi populasinya tidak terlalu banyak, lebih banyak dipelihara untuk hobi.

                                                                                                                     ****

Habis salat subuh kami berangkat ke perbatasan dengan kendaraan militer sesuai protokol.  Badai menunggu dengan setia. Komandan patroli itu Sersan Reda Fahrudin sudah akrab dengan saya, karena sering menamani kalau berpergian dengan Abah, kalau bawa saya.

Dia bawa delapan serdadu dengan senjata high voltase.  Kami memakai jaket dan celana panjang, serta sepatu khusus agar terhindari dari mahluk berbisa atau semacam serangga penggigit yang rasanya gatal.

Akhirnya kami tiba di lokasi di mana pohon buah merah itu banyak tumbuh. Para tentara menyebar karena meyakini lokasi itu aman dan ada Badai dengan peralatan radarnya mendeteksi kalau ada mahluk di luar manusia mendekat. Dia baru saja membunuh mahluk seukuran telapak tangan dengan capit dan mulut lebar bergerigi ingin menggigit sepatuku tanpa aku sadar. Badai sudah menginjaknya hingga remuk.

"Tipox, mahluk asli planet ini. Gigitannya berbisa buat radang selama berapa hari walau tidak mematikan," kataku.

Bagus pun mengangguk dan dia menginjak seekor Tipox yang menjalar di depan kakinya.  Kemudian kami mengamati sebuah pohon.

Bagus asyik meneliti buah merah sebesar dua kepalan tangan berbentuk serupa alpukat. Dia memetik satu dan membela buah itu ada daging buahnya yang agak keras. Tapi belum ada yang memakanannya, karena belum diketahui efeknya.

Bagus mencoleku menunjuk sebuah pohon berbuah merah menyala.  Daun-daunnya berwarna kuning membuatnya menarik.

"Wah, aku belum pernah melihatnya euuy..." sahutku.

Aku memanjat pohon dan memetik berapa buah. Satu jatuh dan seekor ciput memakannya dengan lahap.

"Sepertinya Ciput menyukainya, aman," kataku,

Aku membela buah merah menyala itu dan isinya berwarna oranye lalu mencicipi di lidah manis. Entah mengapa aku memakannya. Rasanya menyegarkan.

"Nggak bahaya Guru," kata Bagus mengingatkan.

"Nggak Ciput saja memakannya."

Aku memakan habis buah itu dan memakan lagi. Bagus kemudian membawanya ke dalam tasnya. Dia mendapat bahan baru spesies baru, tetapi masih satu family.

Kami pulang tepat dua jam.  Lalu kembali ke pos dijamu makan oleh Sersan Reda.

"Hutan ini sudah aman sampai tiga kilometer ke dalam. Tidak ada bolo lagi ditemui, hanya mahluk-mahluk penggigit. Tetapi tetap tidak aman untuk warga tanpa pakaian pengaman," katanya.

Pukul dua belas kami tiba di rumah.  Mandi, makan dan salat Zuhur, kemudian tidur karena dua jam berkeliling di daerah menanjak cukup melelahkan.

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun