Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1963, Gerakan Mahasiswa Pasca Peristiwa 10 Mei

20 Februari 2019   11:14 Diperbarui: 26 Mei 2019   22:23 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peristiwa 10 Mei 1963-Kliping berita Pikiran Rakjat, repro: Irvan Sjafari.

Kerusuhan rasial  pada 10 Mei 1963 di kota Bandung,  diikuti kerusuhan lain  di Sumedang  pada 11 Mei  1963, Bogor pada15 Mei 1963, serta Sukabumi pada18 dan 19 Mei 1963 dan juga terjadi di Cianjur, Garut (17 Mei) dan  Tasikmalaya merupakan peristiwa penting sepanjang  sejarah  kota Bandung.

Kerusuhan rasial 10  Mei 1963 dimulai dengan perkelahian di kampus ITB dan akhirnya menjalar menjadi keursuhan massa. Sekitar 500 toko dan rumah mengalami kerusakan. Selain 65  buah mobil, 54 sepeda motor, 5 mesin jahit dan sejumlah barang elektronik, seperti radio, televisi, lemari es dibakar atau rusak.  

Di antara mobil-mobil yang terbakar terdapat tiga buah Mercedes, sebuah Impala dan tujuh buah Fiat, pada masa itu tergolong mobil mewah.  Di antara sepeda motor yang menjadi rongsokan tergolong mahal seperti Suzuki, Honda, Vespa dan BMW.  Peristiwa 10 Mei 1963 sudah pernah saya tulis di Kompasiana dan linknya ada di bawah tulisan.

Timbul  tanda tanya  mengapa kerusuhan begitu besar dan menjalar ke berbagai kota yang sebetulnya penyebabnya bisa  diraba, tidak diantisipasi oleh pemerintah dan aparat keamanan. 

Padahal sudah  ada  kerusuhan pendahuluan pada Rabu, 27 Maret 1963  di Cirebon,di mana jelas disebutkan  perkelahian berdarah  antara  dua rombongan  pemuda  yang umumnya pelajar. 

Perkelahian itu menyebabkan dua orang  luka berat dan dua luka ringan.  Kerusakan berupa tiga mobil  dan sejumlah toko dan rumah milik orang Tionghoa di Lemahwungkuk dan berapa  tempat lainnya.

Dandim 0614,  Kepala Kepolisian kota Cirebon, hingga Wali Kota Cirebon mengumumkan penyesalannya. Bahkan Wagub Astrawinata mengeluarkan pernyataan ketika berkunjung ke Cirebon: angin panas yang menyakitkan telah bertukar  dengan angin yang sejak," ujar Astrawinata dikutip Pikiran Rakjat, 9 April 1963.   

Sekalipun Astrawinata bisa jadi benar ketika menyatakan pemisahan golongan Tionghoa dan WNI  akibat kebijakan kolonialisme Belanda dulu.    

Namun sebetulnya pemicu lain  adalah tekanan hidup yang  dirasakan sebagian besar masyarakat  masa itu.  Pada akhir Maret 1963 menurut  Pikiran Rakjat  edisi 30 Maret biaya hidup  begitu tinggi, untuk menutupi ongkos  hidup seorang buruh dengan  seorang istri dan dua anak harus  berpenghasilan Rp12.263 per bulan.  Hal yang mustahil terpenuhi. 

Profesi lainnya juga mengajukan keluhannya.  Pada akhir April 1963 sekitar lima ribu guru di Kotapraja Bandung melalui juru bicaranya Basjumi mendesak pemerintah  menurunkan harga beras. Namun kenyataannya harga beras tetap tinggi bahkan hingga September 1963 menyentuh Rp90-100 per kilogram. Bahkan Bandung tidak lagi menerima beras pada bulan itu.  

Kejadian di Cianjur pada  19 Mei 1963 mulai siang hingga malam merupakan kawasan terakhir yang dilanda kerusuhan rasial.  Padahal Cianjur berdekatan dengan Sukabumi.  Efek domino ini tidak diantisipasi dengan baik. Puluhan toko-toko dan kendaraan milik golongan  Tionghoa di Cianjur  menjadi sasaran.

Penduduk golongan Tionghoa di Sukabumi ditampung di kantor Kabupaten, Gubernur Mashudi telah memerintahkan mendrop beras kepada mereka. Sementara Keluarga Mahasiswa Garut dan  PPMI Konsulat  Bandung ikut memberikan bantuan ke Garut  berupa10 kilogram makanan kaleng, satu peti corned beef, setengah bal beras, 2 blek Dumex.  Sementara  CHTH  dan Baperki mengirim ikan basah  180 kg, tepung beras25  kg, satu ton beras, garam, kecap hingga pakaian bekas .       

Di  Tasikmalaya sejumlah sekolah masih ditutup hingga beberapa minggu  pasa kerusuhan. Para pelajar diminta  tetap di rumah.  Gubernur Mashudi pada 20 Mei 1963 mengeluarkan instruksi agar di tiap ibu  kota kewedanaan  diadakan   COP Sipil yang  tugasnya, rakyat di tiap kewedanaan tetap pada pekerjaan masing-masing dan dicegah atau dilarang masuk ke kota-kota bagi  mereka yang tidak punya tujuan berniaga.

Cukup mengherankan pemerintah daerah  dan aparat tidak menyadari potensi keresahan ketika 10 ribu  pemuda, pelajar hingga mahasiswa mengadakan rapat umum di Tasikmalaya pada  22 April 1963.  Jumlah yang  besar. 

Pemerintah  pusat  disibukan dengan bencana meletusnya Gunung Agung, penyerahan Irian Barat pada 1 Mei 1963,  Deklarasi Ekonomi hingga  konfrontasi dengan Malaysia.  Sementara pemerintah Jawa Barat juga abai bahwa masalah kesenjangan sosial di bawah dengan tekanan hidup yang makin besar  menjadi bom waktu yang siap meledak  dan  akhirnya meledak.

Ada dua hal yang menonjol di Jawa Barat, khususnya Bandung di mana sumbu yang sudah tersulut sejak kerusuhan di Cirebon pada Maret 1963  dan meledak pada 10 Mei 1963.  Pertama, golongan Tionghoa dituding  hanya  mementingkan golongannya sendiri,  bahkan dalam  soal kewarganegaraan.  Kedua,  kehidupan banyak mahasiswa dan pelajar  yang di bawah standar,  bukan saja biaya kuliah, buku-buku, bahkan  untuk makan sehari-hari.  

Pengurus  Cabang PNI Cirebon Ny Wachiono dihadapan catur tunggal kota itu pada pertengahan April 1963 mengatakan, para  pejabat pemeirntah jangan menyelahkan orangtua atau wlai murid pada peristiwa 27 Maret 1963.  "Meletusnya peristiwa itu karena harga diri dari pemuda dan pelajar Cirebon tersinggung," ujar Wachiono.

Menteri  PTIP  Thoyib  Hadiwijaya pada pernyataannya berupaya untuk   menenangkan mahasiswa Senin 14   Mei 1963, mahasiswa  harus  ingat pada  Panca Dharma Bhakti  terkait  bahwa  mahasiswa  taat kepada  Negara  Kesatuan  RI ,  Pacasila,  tidak lupa juga pada Manipol  Usdek.

Sementara Presiden  Soekarno dalam pernyataannya Minggu, 19 Mei  1963 menyebut kekaauan rasialisme dijalankan oleh kaum kontra revolusioner,  seperti orang PSI, Masyumi, PRRI/Permesta dan  golongan suberversi asing.     

Gubernur Jawa barat Mashudi  dalam pernyataannya Jumat  17 Mei, menyerukan golongan Tionghoa mengubah sikapnya  dan  menyertakan dirinya dalam arus revolusi bangsa, bukan hanya peduli menghadapi persoalan ekonominya sendiri dan bukan seluruh bangsanya.

Ketua PNI/Wakil Ketua DPRD GR Jabar Kosasih dalam ceramahnya di  muka WNI Keturunan Tionghoa di Cirebon  pada Senin, 3 Juni 1963 bahwa kita hanya mengenal dua kewarganegaraan saja, yaitu WNI atau WNA.

Pada 21 Juni 1963 Wali Kota Cirebon BSA Prabowo menginstruksikan papan nama WNI yang dipasang di rumah-rumah penduduk keturunan Tionghoa  ditinggalkan  dan  tidak usah dipasang lagi.  "Pemasangan itu justru menunjukkan sikap eksklusif," ujar Wali Kota pada LPKB setempat.

Hal yang senada sebetulnya sudah diungkapkan Presiden Sukarno pada pembukaan Kongres Baperki ke VIII di Istora Senayan, Maret 1963 bahwa WNI Keturunan Tionghoa tidak perlu mengganti nama. Yang penting justru kesungguhan mereka menjadi manusia Indonesia.

Sementara   dari kalangan mahasiswa memberikan beberapa tanggapan terhadap  insiden rasial di Bandung, Mei 1963.   Di antaranya konsulat PPMI (Perserikatan Perhimpunan mahasiswa)   Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin yang semakin dalam.

Sejumlah refrensi  menyebutkan bahwa kerusuhan rasial 10 Mei 1963  itu digerakan oleh tokoh-tokoh mahasiswa ,  seperti Siswono Yudohusodo (mahasiswa ITB/juga aktivis  GMNI), Dedi Khrisna (mahasiswa Teknik Kimia ITB dan aktivis Persatuan Mahasiswa Bandung (PMB),   Muslimin Nasution (Mesin ITB),  Parlin  Mangunsong (Unpad), Soeripto (mahasiswa Unpad/aktivis Gemsos), serta Rahman Tolleng.

Aparat  bertindak beberapa minggu setelah kejadian.  Sebanyak sembilan orang  yang terlibat Gerakan 10 Mei 1963 telah ditangkap di Jakarta. Menurut Kepala  Komisariat Jakarta Raya  Brigjen Polisi Subud pada Sabtu 6 juli 1963,sembilan orang itu dari kalangan pelajar, mahasiswa, swasta  bahkan pejabat.

Kehidupan Mahasiswa Bandung Dapat Perhatian

Pangdam VI Siliwangi  Ibrahim Adjie dalam ceramahnya  di depan mahasiswa ITB pada Sabtu,  25 Mei 1963  meminta mahasiswa agar spontanitas daripada mahasiswa haruslah diikuti oleh kewaspadaan dan bukan api emosi.  Adjie mengakui adanya pengacau ekonomi, namun meminta mahasiswa melawan dengan ilmu.      

Pasca 10 Mei 1963  akhirnya perhatian berbagai pihak kepada kehidupan mahasiswa meningkat. Misalnya saja, Pikiran Rakjat edisi 29 Mei 1963 mengungkapkan, Departemen Kesejaterahan  DMUP Biro Sandang  Pangan menyediakan tekstil dari Tiongkok, Jepang dan Meksiko untuk mahasiswa Unpad.  Mereka yang membutuhkan menghubungi senat mahasiswa masing-masing.

Sebetulnya ada beberapa kisah menarik dalam peristiwa 10 Mei 1963, yang menunjukkan tidak selalu hubungan antar dua golongan itu bersitegang.  Ketika kampus ITB porak poranda, di mana sejumlah motor dan skuter dirusak dan dibakar,  kampus Farmasi ITB tetap tenteram dan damai. Seorang  mahasiswa bernama Ong Yue Sen sudah lama membantu teman-temannya yang kesulitan memperolah buku dan diktat kuliah, yang waktu itu sulit didapat.

Ong mengetik ulang buku yang dipinjam, kemudian memperbanyak dengan cara stensil. Stensilan itu dijual murah. Selain itu, dia juga berusaha mendatangkan buku-buku terbaru mengenai farmasi terbitan luar negeri.  Dengan cara itu Ong memupuk persaudaraan sekaligus memupus prasangka antarkelompok etnis di kampus itu. Ong kemudian dikenal dengan nama Eddie Lembong.

Pada Sabtu 1 Juni 1963 Tim Pusat Pertahanan  Sipil dan  Wampa Bidang  Ekonomi Bidang Keamanan dan Pertahanan yang diketuai Kompol Drs Legito bersama  lima anggota mengadakan kunjungan ke Unpad guna menelaah kehidupan mahasiswa.   Gubernur Jabar Mashudi juga menyatakan Pemprov Jabar akan memperhatikan kehidupan mahasiswa.

Dalam pertemuan  di Aula  Unpad  Presiden Unpad Soeria Soemantri menyatakan belasungkawa atas meninggalnya  mahasiswa Fakultas Ekonomi  Unpad Eddy  Manail Simatupang  sebagaikorban kecelakaan  dalam peristiwa 10 Mei 1963.

Dia menyatakan atas  nama 12  ribu mahasiswa menyatakan terima kasih atas perhatian pada kehidupan mahasiswa.  Jumlah mahasiswa Unpad bertambah ketika acara Dies Natalis ke VI digelar pada Oktober 1963  menjadi 14 ribu. Unpad sudah menghasilkan 699 sarjana.   

Jumlah mahasiswa  di Bandung  diprediksi sudah sekitar  30 ribu dengan jumlah lebih dari sepuluh  perguruan tinggi negeri dan swasta  atau sama dengan 3 persen populasi kota. Sementara jumlah mahasiswa  Indonesia pada 1963 mencapai 135 ribu orang dan disebutkan tidak sampai satu persen dari populasi . Itu menurut laporan yang ditulis  

Majalah Merdeka  Nomor 30, 27 Juli 1963. Dengan demikian, maka sekitar seperempat jumlah mahasiswa Indonesia berada di Kota Bandung.  Angka  Partisipasi  Pendidikan Tinggi di Bandung menjadi lebih tinggi dari nasional.

Sebetulnya mahasiswa Bandung lewat Badan Aksi-nya mengadakan demonstrasi pada 2 April 1963 di  Universitas  Padjadjaran  mendukung Deklarasi Ekonomi Presiden Sukarno.  Demonstrasi yang diikuti oleh sekitar dua ribu mahasiswa itu   mendukung kebijakan   Menteri  PTIP Thojib Hadiwijaya.

Aktivitas Seni dan Budaya  Mahasiswa Bandung

Sekalipun kehidupan sebagian besar mahasiswa dalam keadaan tertekan, beberapa organisasi senat mahasiswa  berhasil menyelanggarakan kegiatan prestisus.  Senat Mahasiswa  Fakultas Publististik di Unpad berhasil menggelar festival Film Amerika Serikat pada Maret 1963  bekerja sama dengan USIS. 

Festival itu dibuka dengan hidangan dan hiburan berupa lagu-lagu rakyat square dancing dan lagu klasik oleh delapan warga Amerika yang tinggal di Jakarta.  Acara itu dihadiri oleh Atase Kebudayaan AS  FHF Schmeidman.  Dia mengatakan, film Amerika tidak dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang  kehidupan Amerika,  tetapi bagaimana industri  film  memberikan pernyataan kepada gagasan yang  menjadi perhatian kami.

"Seluruh film di samping mempunyai tujuan menghibur adalah suatu  bentuk kesenian,"  kata dia dalam sambutannya di Aula Unpad di Jalan Dipati Ukur.

Awal Agustus 1963 Dewan  Mahasiswa  Universitas Pasundan  menggelar  apa  yang disebut sebagai "Malam Robinhood" (Kisah Robinhood Jenaka) di Gelora Saparua.   Pertunjukan hiburan ini drama lawak yang melibatkan  sejumlah pelawak seperti Us-us dan Deddy Damhudi.  Juga dimeriahkan oleh  Band Aneka Nada  dan pertunjukan reog. Tiket  dijual secara profesional di Hotel Sahara, mellaui Harian Pikiran Rakjat hingga Rumah Makan Wangsa.   

Liga Film ITB juga  menggelar aara  pemutaran film dari sejumlah negara, seperti Kuba, AS, Yugoslavia,  jerman, jepang, Republik Persatuan Arab, Mesiko, Chekoslowakia. Acara itu digelar sejak pertengahan Oktober hingga November 1963.   Dalam waktu bersamaan Dies Natalis Universitas Padjadjaran juga menggelar festival film Prancis dan pertunjukansandiwara bertajuk "Jerat", karya Patrick Hamilton.

Sekitar Agustus-September 1963 organisasi ekstra mahasiswa merekrut anggota baru.  Dalam rangka menyambut  masa perkenalan CGMI Cabang Bandung  menyelenggarakan Pekan Film Rumania pada 8 hingga 9   September 1963.  Sejumlah film diputar, seperti  "Three Rumanian Folk Dances", "Home Sapiens",  serta "Bom was stolen''.  

 

Fragmentasi Pergerakan  Mahasiswa Bandung:  Thoyib-Moestopo  dan  Prijono

Pada pertengahan Mei 1963  sepuluh  organisasi  Pemuda/Pelajar/Mahasiswa di Bandung   menyampaikan peryataan tertulis yang dikiri kepada redaksi Pikiran Rakjat, isinya antara lain mendesak kepada Presiden sebagai Mandataris  MPRS agar meretool Menteri PDK Prof Dr Prijono dan menyokong  serta  mempertahankan  Menteri PTIP Prof Dr Thoyib Hadiwijaya.

Sepuluh  organisasi itu menolak anjuran Menteri  PDK tentang pengintegrasian pelajar-pelajar ke  dalam organisasi pelajar tertentu, karena hal ini bertentangan dengan keputusan Kongres Pemuda Seluruh Inonesia tahun 1960. Sepuluh  organisasi  tersebut adalah   IPPI '45', P3IB, PII, IPNU, HMI, PMII, Pemuda Muhammadyah, Pemuda  Muslimin, Gerakan Pemuda Anshor, Gerakan Pemuda Islam Indonesia.

 Ada empat alasan membuat mahasiswa  meminta Prijono  segera diretool:

  1. Tidak memperhatikan tuntutan masyarakat untuk melaksanakan pendidikan agama dengan demikian ternyata beliau (Prijono)  tidak konsekuen melaksanakan Pancasila
  2. Tidak serius dalam menghadapi kesulitan ekonomi  pelajar-pelajar dan guru
  3. Menyalahgunakan  dan mengaburkan jabatan  dan  wewenang dengan menganjurkan pengintegrasian pelajar-pelajar  ke organisasi pelajar tertentu dan mengadakan usaha dualisme dalam bidang  pendidikan  (IPG dan Akademi  Pendidikan  Teknik  Negeri), serta berusaha      menanguhkan pelaksanaan  Keputusan Presiden No 1 Tahun 1963
  4. Tidak menggambarkan  politik bebas aktif Pemeirntah dalam pertukaran  Kebudayaan dengan luar Negeri

Sementara Pembantu Khusus Menteri PTIP Prof Dr Moestopo menuding pihak yang ingin meretool  Menteri PTIP Prof Dr Thojib Hadiwijaya dengan alasan kedatangan Korps Perdamaian  Amerika Serikat, padahal alasan sesungguhnya dimaksudkan  dimasukkannya pelajaran  agama pada perguruan tinggi.

"Bukan suatuhal kebetulan pihak itu juga sebaliknya mempertahankan kedudukan Menteri PDK Prijono karena tidak memasukan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib ke dalam pendidikan dasar," ujar Moestopo.

Moestopo menyebut kedatangan  Korps Perdamaian AS sudah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno dan dijalankan  melalui saluran Departemen  Luar Negeri, yang sudah mempertimbangkan masak-masak konsekuensi  menerima  segala bantuan dari Korps Perdamaian tersebut.  

Pikiran Rakjat, 8 Juli 1963 mengungkapkan bahwa Pemerintah  AS menyiapkan dana 10 juta dolar pada tahun fiskal  1963-1964 dan melibatkan 13 ribu relawan.  Di antara programnya menjadi guru  pada400 sekolah di negara berkembang.

Pernyataan Moestopo dan sepuluh  organisasi  tersebut  bertentangan dengan pernyataan 15 organisasi Pemuda/Pelajar/Mahasiswa mendukung  Menteri PDK Prijono menolak kedatangan Peace Corps  di antaranya DPP GMRI, IPPI, DPP GEMA 45,  CGMI,  PP API, PABRI,  PGTI, dan PP LPN.  Ke 15 organisasi itu menuding  Peace Corps atau Korps Perdamaian AS sebagai  alat neo kolonialisme  dan  panestrasi kebudayaan imprealisme dalam pendidikan Indonesia.

Sikap Moestopo  mendukung  Thoyib baik dalam soal pendidikan agama maupun peace corps  membuat dia mendapatkan dari aktivis mahasiswa golongan kiri. Ketika ia berkunjung ke Surabaya, Moestopo diprotes CGMI dengan tuduhan anti manipol.   

Tudingan itu mendapatkan reaksi keras dari Bandung, tempat Moestopo mendapat dukungan luas mahasiswa.  Pada 8  Agustus 1963 Senat Mahasiswa Fakultas Publitistik Unpad  menyatakan protes yang diajukan  CGMI atas  pernyatan yang diajukan CGMI  di Surabaya.  Pernyataan itu bersifat provokatif dan mengadu domba  Prof Dr Moestopo dengan Presiden Sukarno.

"Senat Mahasiswa Publististik tidak meragukan kesetiaan Pak Moes,"  cetus SM  Fakultas Publitistik.

Perbedaan latar belakang antara dua pejabat  pendidikan, yaitu Prof Dr Prijono yang merupakan tokoh penting Partai  Murba  yang menjabat Menteri PPDK  dan Thojib Hadiwijaya yang menjabat Menteri pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan,  bukan datang dari  politisi, tetapi murni orang ilmuwan dan orang kampus.  

Itu sebab keduanya berbeda dalam soal korps perdamaian  AS dan penanganan terhadap   mahasiswa.  Thojib juga pertama kali mencetus Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menjadi tujuan perguruan tinggi  pada 1961.   Begitu juga dengan Moestopo, sekalipun punya latar belakang  militer  dan berkiprah dalam Perang Kemerdekaan, Moestopo juga seorang dokter gigi. 

Selain memberikan kontribusi  terhadap pendirian beberapa fakultas di Universitas Padjajaran, dia menggagas berdirinya Dr. Moestopo Dental College pada 1958 yang kemudian berkembang menjadi perguruan tinggi pada 15 Februari 1961. Kampusnya kelak diberi nama Universitas Prof. Dr. Moestopo, terletak di Jalan Hang Lekir, Jakarta Pusat.

Moestopo juga ikut membentuk Tim  Indoktrinasi Pancasila dan Manipol RI di Unpad,  yang terdiri dari 25 orang  pada Rabu 17 Juli 1963. Dalam pelantikan Rektor  Unpad Prof Dr  Soeria Soemantri mengungkapkan bahwa universitas  telah dijadikan alat oleh golongan tertentu.     

Pada pernyataanya di gedung Universitas NU Bandung pada peringatan Maulid Nabi pada 10 Agustus 1963 oestopo mmenyranakankonsekuensi setiap warga negara yang mengakui Pancasila sebagai dasar negara harus beragama.

"Namun masih  ada  yang mengingkarinya.. Kita wajib mengikis habis sampai ke akarnya," ucap Moestopo.

Moestopo bahkan menyebut kelompok yang dimaksud adalah orang-orang  komunis sebagai mempercayai historis materealis.  Segalanya diarahkan kepada kebendaan.

"Tugas kita sebagai umat Islam menginsyafkan mereka yang tidak bertuhan dengan pandangan historis-religius.  Apa yang dilakukan Nabi Muhammad dulu juga tergolong [progresif revolusioner, " ujar Moestopo, menyindir jargon progresif revolusioner yang kerap diklaim hanya dimiliki kelompok kiri.        

Fragentasi Gerakan Mahasiswa Makin Melebar

Friksi  antar gerakan mahasiswa sudah terasa  pada akhir Maret 1963  ketika Pimpinan PMII Bandung Tubagus Abbas Saleh menuding  adanya golongan tertentu untuk kepentingannya  menuduh siapa saja yang tidak disenanginya dengan julukan anti manipol.    

Awal Juli 1963  organisasi ekstra kurikuler mahasiswa di Bandung pecah, ketika Sidang Presedium PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa indonesia) Konsulat Bandung memutuskan untuk  sementara  membekukan gerakan itu.

Langkah  ini  merupakan perintahdari  pimpinan pusat PPMI di Jakarta, Bambang Kusnohadi yang juga adalah Ketua Umum GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), membekukan PPMI Konsulat Bandung,   yang sebetulnya akibat dari Peristiwa 10 Mei 1963.

Sebanyak 11 organisasi mahasiswa di Bandung, di antaranya Gerakan Mahasiswa Bandung, Ikatan  Mahasiswa Bandung (Imaba), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia dan Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), hingga Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos)  menolak keputusan itu.  Mereka berhadapan dengan GMNI, CGMI dan Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo). 

Pada waktu itu Presidium PPMI Konsulat  Bandung dengan  Ketua Umumnya Awan Karmawan Burhan  dan Sekum RFXM Djoko Soedibjo.  Dengan  pembekuan  ini sebetulnya, PPMI Konsulat Bandung tidak bisa dikuasai CGMI, GMNI, Perhimi dan Germindo.  

Mahasiswa Bandung ini kemudian  membentuk Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Indonesia atau Mapemi. Kelompok kemudian tidak saja menghimpunan mahasiswa ekstra kurikuler tetapi juga  intra kurikuler untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.  

Dalam pernyataannya pada 5 Agustus 1963 Mapemi menyatakan menuju persatuan mahasiswa Indonesia Komisariat Jabar dan tak lupa mencantumkan  persatuan mahasiswa yang progresif  dan revolusioner. 

Selain itu ada  perguruan tinggi yang menolak sama sama  sekali keberadaan sebuah organisasi  mahasiswa ekstra, misalnya menjelang pertengahan Juli 1963  Dewan Mahasiswa FKIP Bandung menyatakan tidak mengenal adanya CGMI Komisariat Besar  FKIP.

Presiden Soekarno melarang organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia  mulai Juli 1963, setelah 10 anggota organisasi tersebut terlibat dalam Peristiwa Cikini  pada1957 dan percobaan pembunuhan terhadap Soekarno pada Salat Idul Adha pada 1962. 

Meskipun organisasi  Islam tersudut dan tidak menyukai kebijakan pemerintah dalam berapa hal, mereka mau  memberikan dukungansebagian  kebijakan Sukarno.  HMI Cabang Bandung     misalnya dalam pernyatannyadi tengah   Mubes yang berlangsung pada 30 Juli hingga  1 Agustus 1963  mendukung Konfrontasi  terhadap   Malaysia.

Pada September 1963 Wampa/Menpen Ruslan Abdulgani  juga singgah di Bandung dan mengajak segenap  mahasiswa untuk menyatakan dukungan terhadap Pimpinan Besar Revolusi Indonesia Bung Karno  dan untuk mengganyang Malaysia, serta menghukum Tengku Abdurahman dan neo imprealismenya.

Di Jakarta situasi penggayangan Malaysia berubah  menjadi anarkis dengan pengerusakan terhadap rumah-rumah dan mobil milik orang Inggris bahkan terjadi serangan terhadap keduataan Inggris  pada 16 September 1963. Api  masih berkobar hingga pukul delapan malam. Sebanyak 300 warga negara Australia dan Inggris meninggalkan Indonesia, kebanyakan isteri dan anak-anak para pejabat kedutaan.  

Menjelang Akhir 1963   

Dalam Oktober 1963 sebanyak 10 organisasi Islam Jawa Barat seperti GPA Ansor, Pemuda Islam, Pemuda Muslimin, Pemuda Muhammadyah, PMII, HMI, IPNU, Germahii dan  sebagainya memprotes hasil musyawarah dari sebuah organisasi ferderasi lain,yaitu  Front  Pemuda Jawa Barat.  Mereka menuding  hasil musyawarah itu tidak mencerminkan potensi yang hadir dalam musyawarah itu, tetapi golongan tertentu saja.    

Front Pemuda Jabar juga mendapatkan protes  dari Dewan Mahasiswa Universitas Parahyangan karena tiba-tiba  saja  membatalkan kedatangan kunjungan mahasiswa Belanda  ke kapus Unpar.  Padahal kunjungan tersebut sudah dinanti oleh dosen dan mahasiswa, termasuk pengurus Dewan Mahasiswa.   Padahal sebelumnya rombongan mahasiswa Belanda sudah singgah di Atekad,  ITB dan Unpad pada pertengahan Agustus  1963.       

Menjelang akhir 1963 suhu politik di kampus-kampus Bandung  mulai memanas.  Keadaan ekonomi  Indonesia  juga tidak membaik. Namun  isu-isu kalah  menonjol  dengan isu Konfrontasi dengan Malaysia.     

Irvan Sjafari

Sumber Primer:

Aneka Amerika  No 166, 1963

Merdeka Nomor 30, 27 Juli 1963 (majalah)

Pikiran  Rakjat,  15 Maret 1963, 28 Maret 1963, 30  Maret  1963, 3 April  1963, 18 April 1963, 27 April 1963, 29 April 1963, 13 Mei1963, 14 Mei 1963, 16  Mei  1963, 18  Mei  1963, 20 Mei 1963, 23 Mei 1963, 1 Juni 1963, 4 Juni  1963, 21 Juni 1963, 3 Juli 1963, 8 Juli 1963,  17 Juli 1963, 18  Juli 1963,  1 Agustus 1963, 5 Agustus 1963,  6 Agustus 1963,  9 Agustus 1963, 12 Agustus  1963, 15 Agustus 1963, 6 September 196 , 12 September 1963,16 September 1963, 17  September 1963,  20 September 1963, 17 Oktober 1963, 19  Oktober 1963, 24 Oktober 1963

Sumber Sekunder  Buku dan Disertasi

Anwar, Rosihan, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965, Jakarta: Sinar Harapan, 1980         

Hidayat, Asep Ahmad, Kerusuhan Anti Cina di Kota Garut Tahun1963, disertasi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,  Universitas Indonesia, 2014

Lubis, Nina Herlina, Sejarah Tatar Sunda 2, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2003

Wilhem, Donald, Indonesia Bangkit, Jakarta: Universitas Indonesia, 1981

Artikel

Iwan Santosa dan Clara Westi, "Eddie Memperkuat Mata Rantai Persatuan" dalam https://nasional.kompas.com/read/2009/11/11/02395429/about.html#

Koesnadi Hardjasoemantri. "Peran Pemuda Pelajar Indonesia dalam Perjuangan Bangsa: Sebuah Refleksi Harapan",  dalam Jurnal Sejarah, Yayasan Obor, 2007 

https://tirto.id/kegilaan-dan-aksi-nyentrik-moestopo-demi-republik-c3yM  diakses 16 Februari 1963

http://pmbbandung.blogspot.com/p/sejarah-gerakan-mahasiswa-indonesia.html  diakses 16 Februari 1963

https://socio-politica.com/tag/peristiwa-10-mei-1963/  diakses 16 Februari 1963              

Tulisan terkait:

https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/5af44ea3ab12ae1b60255b64/kerusuhan-rasial-10-mei-1963-analisa-awal?page=all

https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/5ba9ce56c112fe3e155dc8a3/bandung-1962-mahasiswa-repot-nasi-rakyat-repot-mudik?page=all

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun