Penduduk golongan Tionghoa di Sukabumi ditampung di kantor Kabupaten, Gubernur Mashudi telah memerintahkan mendrop beras kepada mereka. Sementara Keluarga Mahasiswa Garut dan  PPMI Konsulat  Bandung ikut memberikan bantuan ke Garut  berupa10 kilogram makanan kaleng, satu peti corned beef, setengah bal beras, 2 blek Dumex.  Sementara  CHTH  dan Baperki mengirim ikan basah  180 kg, tepung beras25  kg, satu ton beras, garam, kecap hingga pakaian bekas .    Â
Di  Tasikmalaya sejumlah sekolah masih ditutup hingga beberapa minggu  pasa kerusuhan. Para pelajar diminta  tetap di rumah.  Gubernur Mashudi pada 20 Mei 1963 mengeluarkan instruksi agar di tiap ibu  kota kewedanaan  diadakan  COP Sipil yang  tugasnya, rakyat di tiap kewedanaan tetap pada pekerjaan masing-masing dan dicegah atau dilarang masuk ke kota-kota bagi  mereka yang tidak punya tujuan berniaga.
Cukup mengherankan pemerintah daerah  dan aparat tidak menyadari potensi keresahan ketika 10 ribu  pemuda, pelajar hingga mahasiswa mengadakan rapat umum di Tasikmalaya pada  22 April 1963.  Jumlah yang  besar.Â
Pemerintah  pusat  disibukan dengan bencana meletusnya Gunung Agung, penyerahan Irian Barat pada 1 Mei 1963,  Deklarasi Ekonomi hingga  konfrontasi dengan Malaysia.  Sementara pemerintah Jawa Barat juga abai bahwa masalah kesenjangan sosial di bawah dengan tekanan hidup yang makin besar  menjadi bom waktu yang siap meledak  dan  akhirnya meledak.
Ada dua hal yang menonjol di Jawa Barat, khususnya Bandung di mana sumbu yang sudah tersulut sejak kerusuhan di Cirebon pada Maret 1963  dan meledak pada 10 Mei 1963.  Pertama, golongan Tionghoa dituding  hanya  mementingkan golongannya sendiri,  bahkan dalam  soal kewarganegaraan.  Kedua,  kehidupan banyak mahasiswa dan pelajar  yang di bawah standar,  bukan saja biaya kuliah, buku-buku, bahkan  untuk makan sehari-hari. Â
Pengurus  Cabang PNI Cirebon Ny Wachiono dihadapan catur tunggal kota itu pada pertengahan April 1963 mengatakan, para  pejabat pemeirntah jangan menyelahkan orangtua atau wlai murid pada peristiwa 27 Maret 1963.  "Meletusnya peristiwa itu karena harga diri dari pemuda dan pelajar Cirebon tersinggung," ujar Wachiono.
Menteri  PTIP  Thoyib  Hadiwijaya pada pernyataannya berupaya untuk  menenangkan mahasiswa Senin 14  Mei 1963, mahasiswa  harus  ingat pada  Panca Dharma Bhakti  terkait  bahwa  mahasiswa  taat kepada  Negara  Kesatuan  RI ,  Pacasila,  tidak lupa juga pada Manipol  Usdek.
Sementara Presiden  Soekarno dalam pernyataannya Minggu, 19 Mei  1963 menyebut kekaauan rasialisme dijalankan oleh kaum kontra revolusioner,  seperti orang PSI, Masyumi, PRRI/Permesta dan  golongan suberversi asing.   Â
Gubernur Jawa barat Mashudi  dalam pernyataannya Jumat  17 Mei, menyerukan golongan Tionghoa mengubah sikapnya  dan  menyertakan dirinya dalam arus revolusi bangsa, bukan hanya peduli menghadapi persoalan ekonominya sendiri dan bukan seluruh bangsanya.
Ketua PNI/Wakil Ketua DPRD GR Jabar Kosasih dalam ceramahnya di  muka WNI Keturunan Tionghoa di Cirebon  pada Senin, 3 Juni 1963 bahwa kita hanya mengenal dua kewarganegaraan saja, yaitu WNI atau WNA.
Pada 21 Juni 1963 Wali Kota Cirebon BSA Prabowo menginstruksikan papan nama WNI yang dipasang di rumah-rumah penduduk keturunan Tionghoa  ditinggalkan  dan  tidak usah dipasang lagi.  "Pemasangan itu justru menunjukkan sikap eksklusif," ujar Wali Kota pada LPKB setempat.