Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Salah Asuhan di Zaman Millenial

26 Desember 2017   07:21 Diperbarui: 26 Desember 2017   12:40 14757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Salah Asuhan RCTI (kredit foto: media.iyaa.com)

Pada Sabtu (23/12), sinetron "Salah Asuhan" diputar perdana di sebuah stasiun televisi swasta. Cerita yang diadaptasi dari novel klasik karya Abdul Moeis ini seperti tak lekang dimakan zaman. Pada 1972 juga pernah diangkat ke layar lebar dengan bintang Dicky Zulkarnaen dan Rima Melati disesuaikan dengan kondisi masa itu. 

Begitu juga dengan "Salah Asuhan" versi sinetron RCTI 2017-2018 (kalau berlanjut) disesuaikan dengan era Millenial.  Bagi saya menarik, karena banyak perbedaan mendasar antara era 1920-an dengan era 2000-an. 

Pertama, pada era 1920-an hubungan antar ras yaitu tokohnya Hanafi dengan budaya Minang atau Timur dengan Corry (Belanda) suatu hal sulit.  

Perbedaan terlalu besar (jomplang) terutama dari gaya hidup.  Membaca sejumlah karya Abdul Moeis mulai dari "Surapati",  "Robert Anak Surapati" dan "Salah Asuhan" , jelas keberpihakan Moeis terhadap Indonesia secara halus. 

Dalam "Surapati", walau sudah punya anak bernama Robert dari perempuan Belanda bernama Suzanne, Surapati memilih Raden Gusik menjadi pasangan hidupnya dan melawan VOC memang diadaptasi dari sejarah.  Tetapi Moeis memilih menuliskannya lagi karena sikap dia.

Begitu juga dalam "Salah Asuhan",  Moeis mengungkapkan bahwa sikap Hanafi memilih meninggalkan Rapiah dan berpaling pada Corry yang dikenalnya waktu sekolah di HBS di Batavia adalah salah. Hubungan mereka berakhir tragis dengan kematian keduanya. 

Dia juga mengingkari balas jasa mamaknya yang membiayai dia ke HBS, menceraikan Rapiah anak mamaknya, padahal ia sudah punya anak bernama Syafei.  Sekalipun pernikahannya dengan Rapiah karena balas jasa (dan adat).

Nah, dalam versi sinetron ini  produser, penulis skenario akan dihadapkan dengan keniscayaannya era masa kini pasangan antar ras sudah menjadi keniscayaan. 

Berapa banyak pasangan laki-laki Indonesia dengan perempuan dari negara Eropa, Amerika, Australia, Jepang , tetap langgeng. Begitu juga sebaliknya berapa banyak perempuan Indonesia dengan pria berkebangsaan lain 

Bahkan banyak pasangan berbeda agama (sebetulnya saat ini di Indonesia satu-satunya masalah hubungan cinta berat yang menghambat, bukan saja antar ras tetapi juga sesama Indonesia).    

Sekalipun ada masalah, yang buat gaduh adalah orang-orang sekitarnya, seperti keluarga, kerabat, handai taulan, dan mereka yang mengaku "teman-teman" dari pihak Indonesia.  Sementara yang dari pihak yang Eropa atau Amerika kebanyakan tidak mau mengurusi hal-hal yang seperti itu.

Mungkin karena keluarga dalam konsep timur begitu luas bukan saja keluarga batih (ayah, ibu, anak), tetapi juga paman, bibi dan lain-lain, apalagi orang Indonesia itu dari daerah yang punya sistem marga.

Saya sendiri menerima hubungan antar bangsa sebagai suatu keniscayaan, asalkan hubungan itu karena kesetaraan, saling jaruh cinta karena satu sekolah, satu pandangan atau visi hidup, bukan karena pengakuan di bawah sadar terhadap "superioritas ras", yang lebih banyak karena pencitraan daripada kenyataan.  

Versi Sinetron

Dalam versi sinetron Corry (Wendy Wilson) dan Hanafi (Dimas Aditya) sudah saling kenal di Solok.  Mereka kawan satu sekolah. Ayah Corry dari Eropa (Pierre Gruno) beribu orang Minang menentang hubungan mereka.  

Itu mengingat pengalaman pahit Sang Ayah,  pernikahan tidak direstui keluarga Sang Ibu.  Sehingga ketika ibu Corry meninggal, tidak ada yang menziarahi. Sang ibu seperti dibuang dari keluarga.

Masih masuk akal. Tetapi juga menimbulkan tanda tanya, masa anaknya juga dimusuhi oleh keluarga besar ibu.  Solok itu kotanya seberapa besar ya? Corry versi millenial punya nasionalisme sebagai Orang Minang (Orang Indonesia).  Dia menentang ajakan ayahnya melanjutkan sekolah ke Eropa.

"Siapa yang akan menziarahi makam ibu?" cetus Corry.

Dari pihak Hanafi masih seperti pakemnya. Ayah Hanafi meninggal sebagai abdi negara menyelamatkan daerah itu dari bahaya banjir.  Hanafi dibiayai ibunya yang kerja menjahit. Hanya saja Hanafi diceritakan pandai Bahasa Inggris karena bantuan Corry. 

Sekolah di HBS, diganti beasiswa ke Amerika Serikat. Biaya awalnya tetap ditanggung mamaknya (Piet Pagau)seperti dalam ceritanya. Imbalannya Hanafi dijodohkan dengan Rapiah (Dinda Surbakti) anak Mamaknya, Angku panggilan dalam budaya Minang. 

Catatan lain tentang tokoh Hanafi dalam "Salah Asuhan" mencerminkan etos Minang pergi ke merantau. Bagi budaya Minang orag disebut laki-laki itu jika tinggal di surau ketika sudah akil balik dan pergi merantau ketika dewasa.

Setting pada 2007, Hanafi jadi ke Boston, Amerika Serikat. Gagap budaya, kebingungan mencari arah kibat, hingga makanan halal.  Untuk berhubungan dengan keluarganya, ia berkirim surat.  Loh, zaman itu sudah ada internet, mengapa tidak pakai imel? 

Hanafi kepada teman se asramanya berkata: "Solok belum banyak yang masuk listrik dan internet masih jarang".  Kenyataan yang masih masuk akal, begitu menyayat hati malah tidak semua orang Indonesia hingga saat ini bisa menikmati listrik, apalagi internet.

Facebook? Harusnya iya. Tapi dalam sinetron ini pihak Corry yang  malas membuka media sosial karena di inboksnya banyak "secret admirer" punya niat mesum.  Lagi-lagi kenyatana pahit era millenial, media sosial bukan lagi media silaturahmi, tetapi hal-hal lain.

Jadi surat jalan satu-satunya.  Ke ibunya lancar, tetapi surat ke Corry ditahan ayahnya. Seolah-olah Hanafi sudah melupakan Corry. Sikap yang berbahaya sebetulnya, begitu tahu apa yang terjadi sebenarnya anak millenial bisa lebih nekad.

Dari pihak Hanafi, hubungan Rapiah dan Hanafi, ditentang Sang Ibu, suami angkunya. Alasannya Rapiah lebih pantas dijodohkan dengan keluarga Sultan (gelar bangsawan yang tinggi dalam budaya Minang). Berapa banyak anak "zaman now" mau diatur seperti itu?

Yang ada berapa banyak berita tentang cewek yang lari dengan teman Facebook-nya, sekalipun kebanyakan berakhir tragis. Justru mereka inilah yang "Salah Asuhan" pada era sekarang, lebih percaya pada apa yang ada di gadget daripada memeriksanya di dunia nyata?

Dalam tayangan perdana Corry dan Rapiah berteman. Mereka kenal dalam suatu insiden. Ceritanya Corry diganggu tiga anak  nakal. Rapiah menolong, tetapi keduanya tidak mampu menghadapi tiga anak itu. Muncul seorang pemuda (saya kira hal yang baru dalam adaptasi ini) menolong  mereka. Entah apa peranannya.   

Hal yang aneh, ialah sosok Mamak atau Angku selalu berpakaian adat. Apa iya masih ada? Saya juga dari keluarga yang dominan Minang, dari pihak ibu maupun ayah tidak ada Angku-angku atau mamak yang berpakaian adat sehari-hari, kecuali di Hari Raya dan perjodohan, pernikahan.

Mungkin karena itu di Solok, ya?  Saya tidak pernah menginjak Sumatera Barat dan "budaya" saya lebih dekat dengan Jakarta atau Sunda, Jawa Barat.

Apakah Semua Pengaruh Barat Salah?

Pada episode kedua Hanafi kehidupan Amerika akhirnya mempengaruhi Hanafi. Setting kira-kira 2010-an, dia sudah meraih gelar master. Tidak jelas Hanafi  bidang apa yang digeluti Hanafi. Dia mulai kenal toast minuman anggur. Hanafi juga sudah kenal smartphone.

Ketika pulang ke Solok awalnya ia senang.  Namun kemudian ia mengetahi bahwa ia sebetulnya sudah diikat perjanjian dengan mamaknya. Dia mulai berani menentang adatnya. Seperti soal hutang budi dengan mamaknya: "Saya akan lunasi hutang Ibu kepada Angku Sutan Batuah!"

Sampai episode kedua saya tidak merasa ada yang salah dengan sikap Hanafi. Memang dia salah, berani membantah ibunya (karena bagi orang Amerika hal biasa berbeda pendapat dengan orangtua). Cuma mungkin caranya tetap harus timur. Tetapi dalam suatu adegan dia minta maaf pada ibunya.

Saya suka dialognya dengan dua mantan teman waktu dia kanak-kanak yang melecehkan Corrie sebagai perempuan yang enaknya hanya dipacari tetapi tidak dinikahi.  Kedua temannnya sudah menikah dan hanya kerja di pabrik. Mereka membanggakan kawannya yang dua kali menikah.

"Sadar orang primitif. Kalian tidak akan maju!" makinya.  

Dalam sebuah percakapan Rapiah, ketika Hanafi tahu ia kuliah di IKIP,  dia mengkritik dengan tajam: "Rapiah mengapa kalau engkau bicara selalu menunduk. Pandanglah ke depan. Perempuan juga harus mengikuti perkembangan zaman!"

Pada puncak kejengkelananya, ketika ia diterima bekerja di Jakarta, Hanafi berseru" Solok bukan tempatku lagi. Semua orang ikut campur urusan orang lain!"  Bagi orang yang terdidik secara Barat hal itu terasa aneh. Apalagi kalau sampai membeli masa depan, karena hutang budi.

Di sisi lain Rapiah sebetulnya tertarik pada seorang pria yang pada episode sebelumnya menolong dia dan Corrie dari para preman.  Dia kini relawan mendidik anak Dhuafa.  Rapiah ikut membantu karena sebagai orang yang kuliah di bidang pendidikan kesempatan membaktikan ilmunya.

Sayang Sang Ayah menentang, karena menganggu status sosial keluarganya. Sang Ayah tetap berkeras Rapiah harus berjodoh dengan Hanafi.  Walau pun angkuh, tetapi ia menolak Rapiah dijodohan dengan anak bangsawan lebih tinggi yang punya hotel di Jakarta.

"Sultan Malelo punya tiga anak perempuan. Tak lama lagi habis itu harta!" Kata-kata Datuk Patuah pimpinan Nagari tidak salah juga. Dalam budaya Minang anak perempuan punya hak lebih baik dibanding budaya lain dalam warisan.  Apakah masih berlaku sampai sekarang?

Lalu apa iya, masih ada perempuan Minang terdidik seperti Rapiah menunduk kalau bicara sama pria walau itu di Solok? Lalu mengapa Rapiah era milenial tidak berhijab sekalian? Bukankah sudah lazim? Lalu kok Rapiah tidak akrab dengan media sosial dan ponsel cerdas. Astaga. Begitu konservatifnya keluarga Rapiah?

Saya juga tak habis pikir senjata orangtua Minang kalau berdebat dengan anaknya selalu dikaitkan dengan: "Ingin jadi Malin Kundang kau!" Bukannya mengkaji apa yang menjadi masalah dengan seksama. 

Sosok Corrie justru menjadi tokoh favoroti saya. Dia mencintai Solok daripada Eropa. "Right or wrong is my country". Apakah ini gambaran Corrie era millenial? Bergaya Barat oke, tetapi tidak dengan nasionalisme.

Saya menunggu kelanjutannya. Lepas dari banyak pertanyaan di atas, kehadiran "Salah Asuhan" era milenial adalah hal yang menarik.   Mudah-mudahan sampai ending dan tidak putus di tengah jalan karena masalah rating.  Suatu hal yang saya tidak suka pada sinetron Indonesia.

Irvan Syafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun