Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Depok, Kota "Pelayan" Jakarta atau Kota Mandiri?

11 Desember 2017   14:25 Diperbarui: 14 Desember 2017   21:54 2618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Sejarah Depok/Foto: Irvan Sjafari.

Arsip kolonial Jakatrasche Bovenlanden menyebutkan pada 15 Oktober 1695 Residen Cirebon Lucas Van de Meur memperoleh sebidang tanah di wilayah selatan yang jauhnya satu hari perjalanan dari Batavia. Belum genap setahun pada 18 Mei 1696 tanah itu dijual lagi kepada Cornelis Chastelein seharga 300 Rijksdaalders.

Pada 1705 Chastelein membawa keluarganya dan sekitar 200 budak yang berasal dari Bali, Sulawesi dan Timor mengembangkan perkebunan lada, kakao, jeruk sitrun, sirsak, belimbing. Sekitar 120 dari 200 budak itu memeluk Kristen dan dibebaskan dari budak.

Sementara 80 orang lain menolak, tidak diperbolehkan tinggal di Depok dan memilih tinggal di kampung-kampung sekitar tanah partikelir itu. Jauh sebelum keberadaan tanah partikelir sudah ada warga kampung. Namun ada juga dari 120 itu tidak diperbolehkan tinggal di Depok karena berbuat onar. 

Keturunan 120 orang itu asal usul Belanda Depok karena mereka mempertahankan gaya hidup Belanda, termasuk berbahasa Belanda, walau sebetulnya mereka bukan orang Belanda.

Pada Oktober 1945 Depok menjadi sasaran tindakan kriminal dan kekerasan dengan sasaran orang Belanda, Indo Belanda dan orang yang disebut Belanda Depok ini. Sepuluh warga Depok tewas, gelandangan menjarah gudang pangan dan orang Belanda Depok diusir dan sebagian ditawan. Pada 1948 mereka kembali ke Depok dan mendapatkan rumahnya dalam keadaan berantakan.

Status Depok sebagai tanah partikelir berubah pada 8 April 1949 dengan adanya keputusan pemerintah menghapus tanah partikelir. Pada waktu itu Depok masih berstatus sebuah kecamatan menaungi 21 desa.

Jadi sebetulnya hingga 1949 ada tiga golongan orang Depok. Pertama, Belanda Depok masyarakat yang awalnya tinggal di tanah partikelir yang disebut depokkers. Kedua, orang kampung didominasi etnis Sunda, Betawi Ora (pinggiran), serta Jawa. Mereka petani menggarap sawah, pekerja kasar dan orang yang bekerja di Keluarga Depokkers ini. Ketiga, golongan pendatang, Eropa, Indo Eropa, China, serta orang dari Manado, Ambon.

Sesudah pengakuan kedaulatan jumlah pendatang ini semakin bertambah. Namun jumlah pendatang menjadi siginifikan setelah Perumnas mulai dibangun pada 1976 dan mulai dihuni pada 1978. Pembangunan Perumnas ini tidak lepas dari kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena tidak lagi menyediakan pemukiman.

Begitu banyak orang yang datang ke Jakarta karena motif ekonomi, sementara lahan semakin terbatas. Hanya dalam tiga tahun penduduk Depok dari 113.678 pada 1978 bertambah menjadi 215.577 pada 1981.

Sayangnya Depok hanya dirancang untuk kepentingan orang Jakarta. Pergantian kereta api menjadi KRL pada 1976 untuk kenyamanan transportasi orang yang bekerja di Jakarta.  

Pemprov DKI Jakarta belajar dari kegagalan Kebayoran Baru menjadi kota satelit pada 1950, malah menjadi beban Kota Jakarta, Di antaranya begitu banyak kendaraan lalu lalang dari Kebayoran ke pusat kota. Selain itu ternyata Kebayoran Baru tidak bisa menampung julah pegawai negeri. Perlu daerah lain dan Depok adalah yang paling strategis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun