Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung 1960 | Berdirinya Fakultas Djurnalistik dan Publisitas Unpad di Tengah Tekanan pada Pers

19 Juni 2017   08:52 Diperbarui: 19 Juni 2017   09:20 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan pers yang menjadi Ratu Dunia, melainkan opini publik itu Ratu Dunia,”  Adinegoro dalam peresmian Fakultas Djurnalistik dan Publisitas Universitas Padjajaran, Panti Karya, 18 September 1960.

***

Hanya dalam waktu tiga tahun sejak berdirinya pada 24 September 1957 hingga pertengahan 1960, Universitas Padjadjaran sudah mempunyai sembilan fakultas.  Dalam sejarah Republik Indonesia bahkan sejak zaman Hindia Belanda  baru pertama kalinya sebuah perguruan tinggi dalam waktu yang relatif singkat mampu mendirikan fakultas sebanyak itu.

Sembilan fakultas itu masing-masing, Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas  Hukum dan Pengetahuan Masyarakat,  Fakultas Administrasi Negara dan Niaga (kemudian menjadi Fakultas Sosial Politik), Fakultas Sastra, Fakultas Pertanian dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan [1]

Pekan Olahraga Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang diikuti ke sembilan fakultas itu pada pertengahan Mei 1960 menjadi sebuah pretise. Pembukaan digelar di Stadion  Siliwangi pada 16 Mei 1960 bukan saja dihadiri oleh  para petinggi, seperti Presiden Unpad Iwa Kusumasumantri, tetapi juga Pangdam Siliwangi Kosasih [2]

Progresif lainnya untuk pertama kalinya pada Senin 1 Februari 1960 Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran dilantik di dalam sebuah upacara di Gedung Panti Karya. Pelantikan Dewan Mahasiswa ini menjadi istimewa ketika  dihadiri bukan saja oleh Presiden Unpad Iwa Kusumasumantri, para dosen, tetapi juga para pejabat militer dan kepolisian.

Para personilnya terdiri dari Ketua Dewan Mahasiswa Unpad Muhammad Djen Amar, Sekretaris Umum Danny N. Sanger, Ketua I  dijabat oleh Saburi Mulia, Sekretaris I dan II masing-masing oleh  Sanusi Kurnaen Rasidi dan  Jusuf A Mam’mim, Bendahara oleh Imansjah Poeraatmadjadibantu oleh Safijudin Sastrawidjaja dan Adang Djuandi Kartajamena [3].

Namun hingga pertengahan 1960 belum ada  kiprah yang berarti dari Dewan Mahasiswa ini yang saya temui. Kecuali sebuah pernyataan Dewan Mahasiswa Unpad menyatakan bahwa 7835 mahasiswa Unpad langkah pemerintah untuk perjuangan merebut Irian Barat pada Mei.

Pada  Dies Natalis Unpad ke III pada 6 Oktober 1960 diumumkan bahwa  jumlah mahasisa mencapai 8500. Jumlah ini jauh meningkat dibandingkan pada 1957 dengan 4 fakultas 2500 mahasiswa.  Selama 3 tahun sebanyak 35 sarjana dan 200 sarjana muda sudah dihasilkan .

Angka itu menarik jika ditambah dengan mahasiswa dari ITB dalam upacara pembagian ijazah kepada 252 sarjana baru pada 9 November 1960 diumumkan jumlah mereka yang menajdi mahasiswa  sekitar 4000 orang [4].  Itu artinya hanya dengan Unpad dan ITB saja jumlah mahasiswa di Bandung di atas 10 ribu orang.  

Jika ditambah Universitas Parahyangan, Universitas Islam Bandung, Universitas Pasundan, Universitas Sariwegading, Universitas NU, Universitas Setyabudhi Bandung  hingga beberapa sekolah tinggi seperti Telkom dan Pariwisata jumlah keseluruhan mahasiswa yang ada di Bandung diperkirakan sekitar 15-20 ribuan.  Jumlah ini  setara dengan satu setengah hingga dua persen dari populasi penduduk Kota Bandung waktu itu.  Ironinya sejumlah 139. 917 ribu warga Bandung atau  sekitar 14 persen populasi buta huruf [5].

Awal Februari itu juga Universitas Padjadjaran dilengkapi dua lembaga baru yaitu Lembaga Pendidikan Jasmani dan Lembaga Pendidikan Kesenian.  Lembaga yang kedua ini dipimpin RTA Sunarja dan wakilnya Drs. Barli Sasmitawinata. Lembaga ini didirikan juga dengan tujuan membendung pengaruh kebudayaan asing dan mengadakan percobaan kreasi baru [6].

Perkembangan baru yang menarik ialah pendirian Fakultas Djurnalistik dan Publisitas yang membuatnya berbeda dengan pendirian fakultas lain di Unpad.  Untuk pertama kali dalam sejarah  Indonesia dibentuk  sebuah institusi pendidikan wartawan secara akademik dalam sebuah fakultas.  

Para pendirinya juga berlatar belakang wartawan dan pers dan yang terpenting berdiri justru ketika situasi ekonomi dan politik Indonesia memanas dan tidak terlalu bersahabat dengan pers.  Naiknya harga kertas membuat kehidupan surat kabar berada dalam tekanan, termasuk dua koran terkemuka di Kota Bandung seperti Sipatahoean dan Pikiran Rakjat.

Awal pembentukannya dimulai pada akhir Februari 1960 ketika Presiden Unpad   Iwa Kusumasumantri menunjuk Brigen Profesor Dr. Moestopo,  untuk mengetuai sebuah delegasi. Ikut terlibat dalam delegasi itu Ketua Persatuan PWI Jawa Bara AK Jacoby dan R. Roekomy (Wakil Kepala Jawatan Penerangan Jawa Barat), AZ Palindih seorang jurnalis dan pengurus Serikat Perusahaan Surat Kabar menjadi bendahara, Azhari Sulaeman, Djamal Ali [7]. 

Latar belakang AZ Palindih sebetulnya dari Sumatera Barat, tetapi dia sudah malang melintang ke-Indonesiaan pada masa Kolonial. Kiprahnya di dunia pers yang bisa terlacak adalah redaktur suratkabar Pewarta Timor dan Obor Masjarakat pada 1936 (Klinken, 2015:135). AZ Palindih ini ikut membidani pendirian Pikiran Rakjat pada 1 Juni 1950 bersama Djamal Ali.

Djamal Ali, Kelahiran Yogyakarta, 24 Desember 1914 menjadi jurnalis sejak masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Pada masa Perang Kemerdekaan memimpin surat kabar Boeroeh di Yogyakarta (Suwirta, 1999:310-311).

Awal Juni 1960 pendirian Fakultas Jurnalistik dan Publisitas sudah bisa dipastikan untuk tahun kuliah 1960/1961. Syarat masuk seperti fakultas lain ialah mereka yang lulus ijazah SMAN A, B mau pun C dan sederajat.  Namun ada tambahan lain, yaitu siapa pun yang punya pengalaman kerja di bidang jurnalistik dan publitistik dan memenuhi syarat pertimbangan Dewan Dosen dapat juga menjadi mahasiswa.  

Pendaftaran dimulai pada 7 Juni hingga 1 September 1960 pukul 09.00 hingga 12.00 di Sekretariat Panitya Pendirian Fakultas Jurnalistik dan Publisitas Yayasan Unpad dan Balai Wartawan.  Pada waktu wartawan Bandung sudah punya markas baru di Jalan Asia Afrika (bekas Gedung GIA). Uang pangkalnya Rp300 dibayarkan ketika diterima. Lama pendidikan untuk tingkat sarjana muda selama tiga tahun dan sarjana selama dua tahun setelah tamat sarjana muda [8].    

Outwall Student untuk Pertama Kali                                                      

Terobosan cara mengajar untuk  mahasiswa golongan kedua ini terbilang baru dalam sejarah perguruan tinggi di Indonesia waktu itu. Rapat antara pengurus Yayasan Universitas Negeri Padjadjaran dan panitya pendiri Fakultas Djurnalistik dan Publisitas  yang dilangsungkan pada Rabu, 29 Juni 1960 memutuskan untuk membuka dan menerima “Outwall Students”.  

Cara kuliahnya ialah korespondensi atau melalui pos yang disebut post graduate course. Penerimaan mahasiswa “Outwall Students” ini dimaksudkan guna memberikan kesempatan kepada para wartawan dan pejabat yang berkerja (bersinggungan) dengan bidang jurnalistik dan publisitas, seperti pegawai Departemen Penerangan, Press Officer, Public relation (humas) di instansi pemerintahan maupun swasta.

Selain itu petugas militer di bidang pers di seluruh Indonesia dapat melanjutkan studi mereka setara dengan pendidikan universitas. Itu artinya para perwira yang berada di daerah yang tidak ada universitasnya bisa menambah kemampuan intelektual mereka di bidang penerangan bahkan wawasan.

Para “outwall Students” ini tidak usah menghadiri kuliah yang diberikan dosen, tetapi materinya dikirimkan lewat pos. Tetapi ketika dilangsungkannya ujian, mereka harus datang ke Bandung untuk menempuhnya.  Untuk pelasana Outwall Students, Iwa Kusumasumantri menunjuk  Ashari Sulaeman [9]

Dalam rapat selanjutnya awal Agustus 1960 diputuskan bahwa pembukaan dilakukan pada 17 September 1960. Kuliah direncanakan berlngsung pada pukul 16.00 hingga 20.00 di Gedung Unpad Dipati Ukur [10].  Para pengajarnya antara lain:

  • Adinegoro (Pengantar Ilmu Jurnalistik dan Publisitas)
  • Mr. Drs Ultrecth (Pengantar Ilmu Hukum)
  • Drs. Darjono (Sosiologi)
  • Drs. Lie Hian Jeng (Ekonomi Umum)
  • Poerwo, Msc (Statistik)
  • Mr. Boeshar Moehamad (Ilmu Tata Negara)
  • Drs. WA Gerungan (Pengantar Ilmu Jiwa)
  • Drs. Harsojo (Ilmu Kebudayaan)
  • Ny.Purwo (Bahasa Inggris)
  • Drs. Ukun Sutisna (Bahasa Indonesia)
  • Prof. Jahja Kadirun (Filsafat)
  • Moestopo (Studium  General)

Pada 1960 Adinegoro adalah Direktur Persbiro Indonesia (PIA) dikenal sebagai wartawan professional dan pelopor jurnalistik. 

Kelahiran Talawi, Sumatera Barat 14 Agustus 1960 dengan nama Djamaludin menempuh pendidikannya di STOVIA, namun minatnya tidak menjadikannya sebagai dokter, tetapi jurnalis. Adinegoro  menulis pertama kali di Tjahaja Hindia pada masa Hindia Belanda.   Kemudian dia menulis di sejumlah media seperti  Pandji Poestaka, Pewarta Deli dan Bintang Timoer.  

Sepanjang masa Hindia Belanda walaupun tulisannya tajam, tetapi ia selalu lolos dari perangkap presbreidel-ordonatie berkat kepandaiannya memilih kata-kata. Kelebihan Adinegoro ialah bisa menulis sarat pengetahuan umum tetapi dengan bahasa p opular yang bisa dimengerti orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi  (Soebagijo, 1987,halaman 36-46).

Peresmian

Fakultas Djurnalistik dan Publisitas Unpad dibuka secara resmi Minggu malam, 18 September 1960 dalam sebuah upacara di Gedung PBKA Panti Karya, Jalan Merdeka, Bandung.  Hadir dalam upacara pembukaan Presiden Unpad Iwa Kusumasumantri, Djusar Kartasubrata mewakili Menteri PPK, Kepala Penerangan Militer Siliwangi Letkol Nawawi Latif, Ketua PWI Pusat T. Sjahril, para dosen dan mahasiswa.

Peresmian pembukaan PDP Unpad ini dilakukan oleh R.S Suradiradja, Wakil Ketua Jajasan Pembina Unpad setelah pidato penyerahan PDP oleh Djamal Ali dari Panitia Pendiri PDP.  Dilakukan pula pelantikan senat sementara mahasiswa PDP Unpad oleh Dekan PDP Brigdjen Prof. Dr. Mustopo kepada Mochamad Djen Amar, Ketua Dema Unpad.

Dekan Fakultas FDP Brigjen Prof. Dr. Moestopo dalam  sambutannya menyebutkan kewartawanan adalah alat penggerak revolusi. Pendidikan yang diberikan bukan hanya teori tetapi juga praktik yang diberikan pada tahun ketiga, kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi. Moestopo menjanjikan akan mendirikan pers building , di mana dapat dilakukan riset pers dan pendapat umum, hasilnya bisa menjadi masukan kepada pemerintah.  

Presiden Soekarno dalam amanat tertulisnya yang disampaikan Moestopo menyebutkan wartawan adalah patriot komplit.  Soekarno meminta wartawan ikut serta dalam perjuangan menyelesaikan revolusi nasional dan menciptakan sosialisme Indonesia.  

Menteri PPK Prof. Dr. Prijono yang dibicakan Djusar Kartasubrata mengharapkan FDP menjadi tempat menggembleng mental sesuai dengan manifesto politik dan usdek. Prijono menyrakan agar istilah publisitas diganti publisistik .

Hal senada juga diungkapkan Menteri Penerangan Maladi dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Direktorat Daerah dan Publisitet Depatemen Penerangan Sudono bahwa pers nasional pengabdi cita-cita bangsa dan bertugas menyelesaikan revolusi nasional. Pendidikan pers diperlukan untuk menampung perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Pada malam itu juga Adinegoro menyampaikan kuliah umumnya yang pertama.  Dia mengupas hal yang elementer dari mulai dari pemandangan (reportase sekarang) hingga pojok (tajuk rencana). Selain itu gambar (foto), film,  yang digunakan untuk menyampaikan pernyataan bersifat umum untuk mempengaruhi perilaku  termasuk dalam lapangan penyelidikan ilmu publitistik.

Adinegoro juga mengingatkan publitistik menyelidiki dasar berita ada bertujuan murni atau merupakan penerangan bahkan propaganda.  Ada berita yang bersifat pendidikan, hiburan.  “Bukan pers yang menjadi Ratu Dunia, melainkan opini publik itu Ratu Dunia,”  cetus Adinegoro dalam kuliah umumnya [11]. 

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Tekanan pada Kehidupan Pers

Pendirian PDP  berada dalam situasi yang bertentangan. Di satu sisi pemerintah tampaknya mendukung pendidikan wartawan secara profesional, tetapi di sisi lain pemerintah menginginkan pers mendukung kebijakannya.  Ada kemungkinan pemerintah menginginkan mencetak wartawan yang dididik dengan garis kebijakan Manipol dan Usdek hingga  bisa membuat pers relatif lebih bisa dikendalikan dibandingkan era Demokrasi Liberal.

Pada Juli 1960 Presiden Soekarno membentuk Badan Pembina dan Pengendalian Pers  yang langsung berada di bawah Presiden sendiri selaku penguasa perang tertinggi (Peperti).

Badan ini diketuai oleh PDS Kepala Peperti Kolonel Basuki Rachmat dengan anggota-anggotanya Menteri Luar Negeri Subandrio, Menteri/Jaksa Agung Gunawan.  Badan Pembina dan Pengendalian Pers telah diputuskan dalam Sidang ke IV Musyawarah pembentukan Peperti di Istana Merdeka pada 7 Juli 1960. Sidang itu langsung dipimpin Soekarno dan dihadiri oleh Mr. Leimena selaku Wakil Peperti, serta Menteri Keamanan Nasional Jenderal Nasution [12]

Menteri Penerangan Maladi  dalam pernyataan persnya menuturkan bahwa dalam masa 1945-1950 pers nasional adalah salah satu alat perjuangan . Namun sejak 1950 fungsi itu sudah hilang. Pers tidak lepas dari pengaruh aliran atau golongan yang kadang-kadang bertentangan. Meskipun Maladi mengungkapkan bahwa bergantung tulisan dan tajuknya, surat kabar yang tidak membantu pelaksanaan dan tujuan Usdek sebagai haluan negara akan dicabut izin penerbitannya . 

Kalangan wartawan tentu saja mempertanyakan apa maskud kebijakan Presiden ini. Pengurus PWI Pusat menyatakan kegelisahannya terhadap perkembangan pers Indonesia dengan adanya keputusan Presiden. [13].

Pada pertengahan Oktober 1960 Teks lengkap dan Penjelasan Peraturan peperti No. 10 Tentang Izin Terbit-Penerbitan Surat Kabar dan Majalah sudah diumumkan media massa. Pd Presiden/Panglima Tertinggi Djuanda telah mengeluarkan pedoman bahwa surat kabar atau majalah yang tidak memenuhi seluruhnya atau sebagian dari ketentuan-ketentuan yang dikandung dalam pedoman tersebut  tidak luput dari sanksi.

Menurut penjelasan itu juga sanksi itu pada kemungkinan pencabutan perizinan atau tidak diberikan perizinan terhadap penerbitan atau pemakaian kertas.  Pada waktu itu kertas masih banyak diimpor dan alokasinya dikontrol pemerintah.  Hasilnya sama saja dengan membunuh media massa.

Ada pun isi dari Peperti yang membelenggu kebebasan pers itu, antara lain:

Pasal I

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan  yang dimaksud dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 3 dan No. 5 Tahun 1960 melarang penerbitan surat kabar atau majalah tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Penguasa Keadaan Bahaya Daerah yang dalam hal pelaksanaannya dijalankan oleh Kepala Seksi Keamanan/Pertahanan Staf Penguasa Keadaan Bahaya Daerah.

Pada pasal dua pelanggaran ketentuan itu disebutkan adalah hukuman kurangan selama satu tahun atau denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah. Dalam penjelasan disebutkan perizinan hanya diberikan kepada penerbit yang menyanggupi pedoman yang diberikan Panglima Tertinggi.

Pasal 4

Surat kabar atau majalah yang diterbitkan tanpa izin sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1 Peraturan ini sejak mulai berlakunya Peraturan ini dapat dirampas/dimusnahkan.

Disebutkan bahwa peraturan ini dimulai pada 1 November 1960 [14].

Pendeknya  dalam dekrit yang dikeluarkan Soekarno pada 12 Oktober 1960 Presiden Soekarno dalam kapasitasnya sebagai Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) bahwa setiap penerbitan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Surat Izin Terbit (SIT). Namun untuk memenuhi persyaratan teknis tertentu harus loyal kepada Manifesto Politik Soekarno, menentang kolonialisme, imrealisme, federalisme dan separatisme. 

Setiap penerbit dan pimpinan redaksi menandatangani dokumen 19 pasal yang berkaitan dengan janji loyalitas pada manipol dan Soekarno sendiri. Tokoh pers yang vokal waktu itu yang menentang aturan yang dibuat Soekarno seperti Mochtar Lubis mengalami penahanan. Sementara Rosihan Anwar menandatangani dokumen agar Pedoman yang dipimpinnya tetap terbit. Ironisnya pada Januari 1960 Pedoman dilarang terbit karena orientasinya pada PSI (Semma, 2008, hal 105-106).

Perkembangan lain ialah, sebetulnya hingga 1962 sebetulnya ada dua kantor berita Indonesia selain LKBN Antara terdapat apa yang disebut Persbiro Indonesia (PIA).  Lembaga yang terakhir ini selalu menjadi rebutan antara PNI dan Masyumi karena begitu strategisnya sebuah biro pers.

Pada 14 Oktober 1962 Presiden Soekarno akhirnya memerintahkan untuk menggabungkan kedua lembaga ini. Lewat Instruksi Perperti No. 8/1962 Soekarno beranggapan fusi kantor berita nasional yang kuat dan lengkap sebagai media dalam rangka keseluruhan alat revolusi (Soebagijo, 1987: 206).

 Pers di era Demokrasi Liberal di satu sisi memang menyuarakan kepentingan golongan yang berada di belakang media itu. Abadi jelas merupakan corong dari Partai Masyumi, Suluh Indonesia, Merdeka  lebih ke PNI, Harian Rakjat ke PKI dan Duta Masyarakat ke NU adalah contohnya.  Tetapi di sisi lain tetap ada surat kabar yang bersifat independent seperti Indonesia Raya, mengkritisi pemerintah dengan cara yang elegan.

Sayangnya sejumlah besar surat kabar tidak pernah mementingkan fakta, melainkan berupaya menggembar-gemborkan ideologi partai dan memuat tajuk rencana yang retoris. Gaya pemberitaan seperti ini dianggap sebagai manifestasi prinsip kebebasan pers. Kalangan seperti tentara menganggapnya sebagai provokatif, pemecah-belah, sensaionalis dan bermotif politik (Sundhaussen, 1986: 232).   

Meskipun demikian  pers pada 1950-an benar-benar menjadi pilar keempat demokrasi di tengah kabinet yang berumur pendek dan pertengkaran antar fraksi dalam parlemen yang terlalu berlarut-larut dalam soal dasar negara, hingga kerap mengabaikan bahwa persoalan perekonomian.  Di tingkat provinsi Jawa Barat Pikiran Rakjat agaknya cukup menunjukan independensinya dalam memberitakan masalah yang menyangkut Darul Islam, Masyumi, PKI hingga masalah menyangkut Tionghoa.   

Munculnya Wartawan Gadungan

Sayangnya surat kabar yang memelihara integritasnya adalah surat kabar yang memang didirikan oleh wartawan-wartawan yang sudah berkecimpung sejak  masa pergerakan hingga kemerdekaan. Wartawan-wartawan ini mempunyai visi pegerakan nasional terlepas dari aliran yang dianutnya.  Namun pada generasi berikutnya  tidak demikian. 

Munculnya kursus-kursus wartawan  pada paruh akhir 1950-an bak jamur di musim hujan begitu mudah memberikan kartu pers kepada perserta kursus yang membayar. Ini  fenomena menarik menjelang dan ketika pendirian FDP Unpad.

Munculnya wartawan-wartawan gadungan membuat sulit wartawan yang bekerja di surat kabar dan kantor berita resmi, terutama ketika mereka meliput daerah konflik.  Laporan Sjurmani D dari Majalah Merdeka pada Juni 1960  ketika meninjau daerah yang masih diganggu gerombolan bersenjata di Tasikmalaya dan Ciamis menyebutkan:

Beberapa wartawan yang bekerja untuk beberapa surat kabar dan kantor berita di Jakarta dan Bandung mengalami kesulitan dalam pekerdjaannja.  Ini semua disebabkan banjaknja wartawan gadungan dengan press card jang didapatnja dari kursus wartawan jang dewasa ini tumbuhnja seperti Tjendawan. Karena perbuatan jang memalukan dari “wartawan kursus” dan jang kurang menjenangkan masjarakat maupun pemerintahan setempat, wartawan2 jang benar2 bekerdja turut merasakan akibatnja.  Masjarakat Tasik pada umumnja tak dapat membedakan kartu pers dari surat kabar dan kantor ebrita dengan kartu pers dari kursus[15].

Sayangnya dalam laporan dari Sjurmani itu tidak disebutkan keuntungan apa yang didapat wartawan gadungan itu. Apakah hanya ingin advonturir menikmati makan dan penginapan gratis? Atau juga meminta uang saku dari instansi pemerintahan daerah maupun penduduk?  Terlepas daripada itu golongan wartawan gadungan untuk pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Secara nasional pendirian FDP adalah terobosan baru dan sekali lagi Bandung adalah tempat terjadinya terobosan itu.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  • Pada Agustus 1960 Kementerian PP dan K menjadikan Jurusan Administrasi Niaga dan negara termasuk Fakultas Sospol menjadi negeri dalam lingkungan Unpad bersama Fakultas Sastra, Pikiran Rakjat, 20 Agustus 1960.
  • Pikiran Rakjat, 17 Mei 1960
  • Pikiran Rakjat,3 Februari 1960
  • Pikiran Rakjat, 14 Mei 1960. Lihat juga Pikiran Rakjat, 7 Oktober 1960, Pikiran Rakjat, 10 November 1960.
  • Pikiran Rakjat,5 September 1960
  • Pikiran Rakjat,4 Februari 1960
  • Pikiran Rakjat,1 Maret 1960
  • Pikiran Rakjat, 2 Juni 1960
  • 9.    Pikiran Rakjat, 1 Juli 1960
  • 10.    Pikiran Rakjat,2 Agustus 1960
  • 11.  Pikiran Rakjat,19 September 1960, Berita Antara, 19 September 1960.
  • 12.   Pikiran Rakjat, 8 Juli 1960
  • 13.  Ibid.Lihat juga Pikiran Rakjat, 14 Juli 1960, Pikiran Rakjat, 30 September 1960.
  • 14.  Pikiran Rakjat, 14 Oktober 1960
  • 15. Sjurmani D “Gunung Tjupu: Pusat Gerombolan dalam Majalah Merdeka No, 26 Juni 1960.

Referensi Pendukung:

Anwar, Rosihan dalam tulisan  “Selamat Ulang Tahun Intisari” dimuat dalam  http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/08/selamat-ulang-tahun-intisari

I.N, Soebagijo, Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia, Jakarta: CV Haji Masgung, 1987

Klinken, Garry Van, The Making of Middle Indonesia: KelasMenengah di Kota Kupang 1930-an-1980-an, Jakarta: KITLV, 2015

Semma, Mansyur, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008

Sundhausse, Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1986

Suwirta,”Wacana Kritik Media” dalam Wacana Volume 1, Nomor 2, Oktober 1999

Foto-foto: Repro Pikiran Rakjat oleh Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun