Pada 14 Oktober 1962 Presiden Soekarno akhirnya memerintahkan untuk menggabungkan kedua lembaga ini. Lewat Instruksi Perperti No. 8/1962 Soekarno beranggapan fusi kantor berita nasional yang kuat dan lengkap sebagai media dalam rangka keseluruhan alat revolusi (Soebagijo, 1987: 206).
Pers di era Demokrasi Liberal di satu sisi memang menyuarakan kepentingan golongan yang berada di belakang media itu. Abadi jelas merupakan corong dari Partai Masyumi, Suluh Indonesia, Merdeka lebih ke PNI, Harian Rakjat ke PKI dan Duta Masyarakat ke NU adalah contohnya. Tetapi di sisi lain tetap ada surat kabar yang bersifat independent seperti Indonesia Raya, mengkritisi pemerintah dengan cara yang elegan.
Sayangnya sejumlah besar surat kabar tidak pernah mementingkan fakta, melainkan berupaya menggembar-gemborkan ideologi partai dan memuat tajuk rencana yang retoris. Gaya pemberitaan seperti ini dianggap sebagai manifestasi prinsip kebebasan pers. Kalangan seperti tentara menganggapnya sebagai provokatif, pemecah-belah, sensaionalis dan bermotif politik (Sundhaussen, 1986: 232).
Meskipun demikian pers pada 1950-an benar-benar menjadi pilar keempat demokrasi di tengah kabinet yang berumur pendek dan pertengkaran antar fraksi dalam parlemen yang terlalu berlarut-larut dalam soal dasar negara, hingga kerap mengabaikan bahwa persoalan perekonomian. Di tingkat provinsi Jawa Barat Pikiran Rakjat agaknya cukup menunjukan independensinya dalam memberitakan masalah yang menyangkut Darul Islam, Masyumi, PKI hingga masalah menyangkut Tionghoa.
Munculnya Wartawan Gadungan
Sayangnya surat kabar yang memelihara integritasnya adalah surat kabar yang memang didirikan oleh wartawan-wartawan yang sudah berkecimpung sejak masa pergerakan hingga kemerdekaan. Wartawan-wartawan ini mempunyai visi pegerakan nasional terlepas dari aliran yang dianutnya. Namun pada generasi berikutnya tidak demikian.
Munculnya kursus-kursus wartawan pada paruh akhir 1950-an bak jamur di musim hujan begitu mudah memberikan kartu pers kepada perserta kursus yang membayar. Ini fenomena menarik menjelang dan ketika pendirian FDP Unpad.
Munculnya wartawan-wartawan gadungan membuat sulit wartawan yang bekerja di surat kabar dan kantor berita resmi, terutama ketika mereka meliput daerah konflik. Laporan Sjurmani D dari Majalah Merdeka pada Juni 1960 ketika meninjau daerah yang masih diganggu gerombolan bersenjata di Tasikmalaya dan Ciamis menyebutkan:
Beberapa wartawan yang bekerja untuk beberapa surat kabar dan kantor berita di Jakarta dan Bandung mengalami kesulitan dalam pekerdjaannja. Ini semua disebabkan banjaknja wartawan gadungan dengan press card jang didapatnja dari kursus wartawan jang dewasa ini tumbuhnja seperti Tjendawan. Karena perbuatan jang memalukan dari “wartawan kursus” dan jang kurang menjenangkan masjarakat maupun pemerintahan setempat, wartawan2 jang benar2 bekerdja turut merasakan akibatnja. Masjarakat Tasik pada umumnja tak dapat membedakan kartu pers dari surat kabar dan kantor ebrita dengan kartu pers dari kursus[15].
Sayangnya dalam laporan dari Sjurmani itu tidak disebutkan keuntungan apa yang didapat wartawan gadungan itu. Apakah hanya ingin advonturir menikmati makan dan penginapan gratis? Atau juga meminta uang saku dari instansi pemerintahan daerah maupun penduduk? Terlepas daripada itu golongan wartawan gadungan untuk pertama kali muncul dalam sejarah Indonesia dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Secara nasional pendirian FDP adalah terobosan baru dan sekali lagi Bandung adalah tempat terjadinya terobosan itu.